Kamala Jayanti, gadis malang yang terlahir dengan tanda lahir merah menyala di kulit pipinya dan bekas luka di bawah mata, selalu menyembunyikan wajahnya di balik syal putih. Syal itu menjadi tembok penghalang antara dirinya dan dunia luar, membentengi dirinya dari tatapan penuh rasa iba dan cibiran.
Namun, takdir menghantarkan Kamala pada perjuangan yang lebih berat. Ia menjadi taruhan dalam permainan kartu yang brutal, dipertaruhkan oleh geng The Fornax, kelompok pria kaya raya yang haus akan kekuasaan dan kesenangan. Kalingga, anggota geng yang penuh teka-teki, menyatakan bahwa siapa yang kalah dalam permainan itu, dialah yang harus menikahi Kamala.
Nasib sial menimpa Ganesha, sang ketua geng yang bersikap dingin dan tak berperasaan. Ganesha yang kalah dalam permainan itu, terpaksa menikahi Kamala. Ia terpaksa menghadapi kenyataan bahwa ia harus menikahi gadis yang tak pernah ia kenal.
Titkok : Amaryllis zee
IG & FB : Amaryllis zee
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amaryllis zee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Satu-Satunya Sahabat
Jam kuliah terakhir, telah berakhir. Kamala merapikan buku-bukunya, mengeluarkannya dari tas, dan menata kembali dengan rapi di dalam rak. Ia memeriksa kembali, memastikan tidak ada yang tertinggal. Setelah yakin semua sudah beres, ia menutup tasnya dan beranjak dari duduknya. Kamala melangkah keluar kelas, menyeruput udara segar yang menyapa wajahnya.
Suasana kampus siang itu terasa ramai. Mahasiswa dari berbagai jurusan berlalu lalang, ada yang berkelompok, ada yang berjalan sendiri.
Saat baru keluar, sahabatnya, Tiara, yang mengambil jurusan berbeda dengannya, datang menghampirinya. Ia tersenyum di balik syalnya.
“Hai …, Kamala!” sapa Tiara sambil menaruh tangan kirinya di pundak Kamala. Senyumnya merekah, menampakkan gigi-gigi putihnya yang rapi.
Tiara adalah perempuan yang cantik. Ia pandai merawat diri dan wajahnya. Baginya, kecantikannya adalah segalanya. Karena, kan setiap perempuan selalu berusaha keras agar tampil cantik dan glowing.
“Hai juga,” seru Kamala. Walaupun Tiara sangat cantik, tapi dia tidak menghinanya. Dia tulus menyayanginya sebagai sahabat.
Mereka berjalan berdampingan, sambil mengobrol tentang hal-hal sepele, menikmati sisa-sisa sore di kampus yang mulai sepi. Tawa mereka bergema di antara hiruk pikuk mahasiswa yang berlalu lalang. Tiba-tiba, Tiara bertanya, "Lo dapat undangan dari Camelia, gak?"
"Dapat," jawab Kamala singkat. Ia tidak terlalu bergembira mendapatkan undangan tersebut. Sebenarnya, ia malas untuk pergi ke pesta Camelia.
"Gimana, kalau sekarang lo ke rumah gue dan nanti malam kita pergi sama-sama?" ajak Tiara semangat.
Kamala menggeleng pelan, matanya tertuju pada lantai. "Sorry, gue gak bisa ke rumah lo," jawabnya lirih.
Tiara merasakan kekecewaan menusuk hatinya. "Kenapa?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar.
"Gue gak mau ngerepotin lo," jawab Kamala, suaranya terdengar lesu. . "Lagian, gue gak mau pergi dengan penampilan seperti ini."
Tiara mengerutkan kening. Ia tahu apa yang dimaksud Kamala. Tanda lahir di wajahnya Kamala yang selalu ditutupi syal. "Kamu cantik, kok," kata Tiara lembut, berusaha meyakinkan temannya. "Lagian, gue bisa merias lo, biar gak perlu pakai syal."
Kamala menggeleng lagi, matanya berkaca-kaca. "Gak usah, Tiara. Gue gak mau ngerepotin lo."
Tiara menghela napas. Ia tidak mau memaksa Kamala, tapi hatinya terasa sesak. Ia ingin sekali Kamala bisa merasakan kebahagiaan seperti dirinya.
"Gimana kalau nanti malam gue jemput lo?" tawar Kamala, berusaha meringankan suasana.
"Boleh juga," jawab Tiara, meskipun hatinya masih terasa sedikit kecewa. Ia tidak mau memberatkan Kamala, dan berharap bisa mengajaknya ke pesta, meskipun dengan cara yang berbeda.
Di parkiran, mereka berdua berpisah. Tiara melajukan mobilnya dengan cepat, pikirannya masih dipenuhi dengan rencana untuk pesta malam nanti. Sementara Kamala melajukan mobilnya dengan pelan, pikirannya masih dipenuhi dengan rasa minder karena tanda lahirnya.
Mobil yang dikendarai Kamala memang bukan mobil baru, tapi ia bangga dengan mobil itu. Itu adalah hasil jerih payahnya menabung selama bertahun-tahun dan diam-diam, ia meminta tolong pada supir ibu angkatnya untuk mengantarkan mobil itu ke rumah Ganesha, tempat ia tinggal saat ini.
Mobil itu mungkin bekas, tapi terawat dengan baik. Catnya masih mengkilap dan interiornya bersih. Kamala mencintai mobil itu, karena mobil itu melambangkan kerja keras dan tekadnya untuk meraih mimpi. Ia bertekad untuk membuktikan bahwa ia bisa mencapai apapun yang ia inginkan, meskipun ia memiliki kekurangan.
*****
Ganesha, CEO muda yang namanya selalu disebut dengan kekaguman dan sedikit rasa takut. Wajahnya yang tampan, dengan rahang tegas dan mata tajam, selalu memancarkan aura kepemimpinan yang kuat. Di kantornya, ia disegani oleh setiap karyawan, setiap kata-katanya menjadi hukum. Namun di balik aura kepemimpinannya yang kuat, tersembunyi sifat arogan dan kejam.
Ganesha tidak pernah ragu untuk menjatuhkan hukuman, bahkan pemecatan, kepada siapa pun yang berbuat salah. Tidak ada ampun, tidak ada kesempatan kedua. Bagi Ganesha, kesuksesan adalah segalanya, dan ia tidak akan membiarkan siapapun menghalangi jalannya.
Mata tajamnya selalu mengawasi setiap gerak-gerik karyawannya, mencari kesalahan sekecil apa pun. Ia tidak pernah menunjukkan kelembutan, bahkan kepada karyawan yang sudah bertahun-tahun bekerja dengannya. Bagi Ganesha, loyalitas dan dedikasi tidaklah cukup, hanya hasil yang berbicara. Ia adalah seorang pemimpin yang dingin dan tidak berperasaan, seorang raja yang memerintah dengan tangan besi.
Ganesha menunduk, matanya terpaku pada layar komputer. Jari-jarinya menari-nari di atas keyboard, memeriksa setiap detail dokumen dengan teliti. Namun, di tengah kesibukannya, bayangan wajah Kamala tiba-tiba muncul di benaknya. Wajah Kamala yang memerah, dengan mata yang berkaca-kaca, menyerbu pikirannya, mengganggu konsentrasinya.
"Kamala, sialan ...!" Ganesha mengumpat, suaranya bergetar menahan amarah. Tangannya menggebrak meja dengan keras, suara dentuman itu menggema di ruangan, menimbulkan getaran yang terasa hingga ke tulang.
Sandiga, asistennya, yang baru saja akan masuk ke ruangan, terkejut mendengar suara itu. Tangannya terangkat, menutupi dadanya yang berdebar kencang. Ia terdiam, menunggu beberapa saat sebelum berani mengintip ke dalam ruangan.
Tok. Tok. Tok.
Sandiga mengetuk pintu ruangan Ganesha dengan pelan, menunggu beberapa detik sebelum membuka pintu dan masuk. Ia sudah terbiasa dengan suasana ruangan ini, dengan meja kerja yang besar dan deretan buku-buku tebal di rak.
"Ganesha?" panggilnya, suaranya lembut.
Ganesha tidak menjawab, ia masih menunduk, wajahnya tersembunyi di balik meja, tangannya masih memukul-mukul meja dengan keras. "Sialan...!" gumamnya, suaranya terdengar putus asa.
Sandiga mengerutkan kening, ia merasa bingung melihat Ganesha yang tampak murung. "My Bos, tumben sekali kelihatan galau?" tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran.
Ganesha mendongak, wajahnya tampak tegang, matanya menatap Sandiga dengan tajam. "Mau apa lo!" ketusnya, suaranya terdengar kasar. Ia sangat tidak ingin diganggu oleh siapa pun saat ini.
"Sorry, kalau mengganggu. Gue cuma minta tanda tangan lo," ujar Sandiga, sambil menyerahkan berkas dokumen kepada Ganesha.
Tanpa banyak bicara, Ganesha langsung menandatangani berkas itu dengan cepat. "Sudah selesai, 'kan? Sekarang juga, lo keluar!" perintahnya, suaranya dingin dan tegas. Ia membutuhkan waktu untuk sendiri, untuk menenangkan pikirannya yang kacau.
Sandiga melangkah keluar, meninggalkan Ganesha yang masih menahan emosi yang membara. Ia sebenarnya ingin tahu masalah apa yang sedang menimpanya, tapi ia belum berani menanyakannya. Ganesha selalu seperti itu, menutup diri dan tidak mau berbagi masalahnya dengan siapa pun. Sandiga hanya bisa menghela nafas, mencoba memahami situasi yang sedang dihadapi sahabatnya itu. Ia tahu bahwa Ganesha sedang berjuang dengan sesuatu, dan ia hanya bisa menunggu saat yang tepat untuk menawarkan bantuannya.
Ganesha memijat jidatnya yang terasa berdenyut, jari-jarinya menekan dengan kuat, mencoba meredakan sakit kepala yang tiba-tiba muncul. Ia menatap kosong ke arah layar komputer yang masih menyala, tapi pikirannya melayang jauh.
"Bagaimana ke depannya?" gumamnya, suaranya terdengar lirih. "Apa gue sanggup melihat wajah Kamala setiap harinya?"
Pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya, menyiksanya dengan rasa tidak nyaman.
Ganesha menghela napas, merasakan beban berat di dadanya. Ia selalu berusaha untuk menjadi seorang pemimpin yang kuat, tidak pernah menunjukkan kelemahan, tapi saat ini, ia merasa rapuh dan tidak berdaya.
"Apa gue harus menyingkirkan dia?" gumamnya lagi, suaranya terdengar dingin dan kejam. Tapi di balik kata-kata itu, tersembunyi rasa ragu dan ketakutan.
Terimakasih sudah suka dengan cerita ini
kalo bisa 2 atau 3🙏
jangan lama lama up nya dan banyakin up nya pls😭