Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena ultimatum. Namun malam pertama membuka rahasia yang tak pernah mereka duga—bahwa gairah bisa menyalakan bara yang tak bisa padam.
Alaric Alviero—dingin, arogan, pewaris sah kekaisaran bisnis yang seluruh dunia takuti—dipaksa menikah untuk mempertahankan tahtanya. Syaratnya? Istri dalam 7 hari.
Dan pilihannya jatuh pada wanita paling tak terduga: Aluna Valtieri, aktris kontroversial dengan tubuh menawan dan lidah setajam silet yang terkena skandal pembunuhan sang mantan.
Setiap sentuhan adalah medan perang.
Setiap tatapan adalah tantangan.
Dan setiap malam menjadi pelarian dari aturan yang mereka buat sendiri.
Tapi apa jadinya jika yang awalnya hanya urusan tubuh, mulai merasuk ke hati?
Hanya hati Aluna saja karena hati Alaric hanya untuk adik sepupunya, Renzo Alverio.
Bisakah Aluna mendapatkan hati Alaric atau malah jijik dengan pria itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jadi Papa dan Suami
Langit masih abu-abu. Kabut tipis membalut kota. Di dalam apartemen, suara tangisan bayi pelan terdengar dari kamar kecil.
Callindra, dengan kemeja satin elegan dan celana bahan berwarna nude, membuka pintu apartemen sambil membawa tas besar berisi perlengkapan bayi.
Callindra tersenyum ramah, menyapa Aluna di dapur. “Mama datang… Mana Arshen? Bangun ya?”
Aluna yang masih mengenakan pakaian rumah dan sedang menyiapkan termos kecil berisi ASI, langsung menoleh dan tersenyum.
“Iya, baru bangun tadi. Makasih, Ma, sudah repot-repot ke sini.”
Dari balik ruang tengah, Alaric muncul dengan kaos rumah dan handuk di lehernya. Ia sedang mengeringkan rambut habis mandi, dan langsung memicingkan mata saat melihat mamanya.
“Kenapa Mama yang datang? Perusahaan, ‘kan, bukan cuma papan nama, Ma. Siapa yang urus coba?”
Callindra meletakkan tas di atas sofa, membuka jaket panjangnya lalu menanggapi dengan nada ringan tapi tajam.
“Papa kamu yang urus. Samudra itu bukan patung. Giliran cucu pertama, Mama yang pegang langsung. Nggak percaya sama baby sitter, tahu-tahu bisa jadi orang ketiga.”
Alaric menghela napas dan duduk di sandaran sofa. Ia mengusap wajahnya sejenak. “Kita bisa sewa profesional. Nggak usah repot-repot sendiri.”
Callindra menatap tajam. “Dan kamu mau orang asing tinggal bareng istrimu yang artis? Suami mana yang milih itu?”
Alaric tidak menjawab, hanya berdiri dan berjalan menuju meja makan, meneguk kopi yang sudah hampir dingin.
Sementara itu, Aluna sudah bersiap-siap. Ia mengenakan setelan casual rapi, tas sling di bahu, dan makeup natural yang menonjolkan matanya.
“Ma, makasih ya... Aku titip Arshen dulu. Syuting hari ini full scene.”
Callindra memeluk Aluna sebentar, membenarkan kerah bajunya. “Kerja yang bagus. Tapi ingat, jangan terlalu stres. ASI bisa seret.”
Lalu Callindra melirik Alaric yang masih diam menatap ke arah jendela. “Alaric, antar istrimu. Mobil sudah siap, ‘kan?”
Aluna langsung melambaikan tangan kecilnya. “Nggak perlu Ma, aku bareng Surya aja. Lagipula arah kami beda. Aku langsung ke studio setelah ini.”
Alaric tak berkata apa pun. Hanya meneguk kopi sekali lagi lalu berbalik ke dalam kamar. Langkahnya berat. Tapi ia tidak menoleh.
“Jadi Papa itu pasti sulit. Tapi yang paling sulit… mungkin jadi suami. Dan dia belum mau mencoba,” batin Aluna, memahami suaminya.
...***...
Keramaian tim produksi terlihat sibuk. Kru lalu-lalang, kamera bersiap, sutradara duduk dengan monitor di depannya.
Aluna sudah di posisi. Mengenakan seragam sekolah—rok lipit selutut dan blazer dengan dasi longgar. Rambutnya dikuncir dua seperti siswi jenaka. Ia berdiri di depan meja makan kantin sambil memegang nampan berisi makanan.
Sutradara dari belakang kamera berkata, “oke, Al. Jangan tahan ekspresi ya. Ini kunci komedinya.”
Aluna tersenyum cerah, lalu bersiap.
🎬 Camera… Rolling… Action!
Aluna melangkah penuh gaya sambil membawa nampan makanan. Lalu tiba-tiba—slap! Kakinya menginjak kulit pisang yang disiapkan properti. Nampannya terlempar ke depan. Properti ada matras dan tali dengan pengawasan pro. Artis pemeran harus aman.
Spaghetti melayang, dan—plak!—mendarat di kepala si cowok galak di kursi depan. Cowok itu diam, perlahan memutar kepala dengan tatapan horor.
Aluna terjatuh dramatis, duduk terhempas, lalu mendongak. Matanya membesar melihat situasi, lalu mulutnya refleks berseru.
“Ups. Sarapannya nempel. Bukan hatiku yang nempel di hati Abang!”
Semua kru di belakang kamera menahan tawa. Bahkan pemain cowok ikut ngikik sebelum akhirnya mereka tetap menahan ekspresi untuk menyelesaikan scene.
Cowok itu berdiri, spaghetti masih menggantung di rambutnya.
“Makanan itu buat dimakan, bukan buat dijadikan hair treatment, Bang!”
Aluna bangkit, menahan sakit di pantatnya, tapi tetap dengan ekspresi kocak. Ia berdiri, mencomot sosis dari rambut cowok itu, dan menggigitnya sambil berjalan mundur.
“Mmm… enak!”
“CUT! Hahaha! Gokil, Al! Perfect!”
Sutradara tepuk tangan. Kru tertawa.
Ada yang nyeletuk, “Ini sih bakal viral lagi di TikTok!”
Aluna hanya membungkuk sambil tertawa. Mukanya merah karena menahan geli dan rasa malu. Lebih memalukan dari syuting adegan plus-plus.
Aluna duduk di kursi lipat sambil mengipasi wajahnya dengan tangan. Rona wajahnya sedikit berkeringat, tapi senyum tak hilang dari bibirnya. Masih memakai kostum sekolah dari adegan tadi, namun kali ini sudah dilepas dasinya.
Surya, sang manajer, datang menghampiri sambil membawa botol air minum dan snack kecil. Ia menyodorkan botol ke Aluna.
“Minum dulu, Princess Al. Jangan pingsan di tengah tawa penonton.”
Aluna menerima dan langsung menenggak beberapa teguk. Ia menurunkan botol, lalu menarik napas dalam, tapi sedikit terlihat kaku.
Surya memperhatikan dengan mata menyipit. “Korsetnya nggak terlalu ketat, ‘kan? Kalau susah napas, bilang.”
Aluna tersenyum meyakinkan, menyandarkan punggung perlahan. “Masih aman, kok. Gue yang minta dikecilin. Biar maksimal."
Surya duduk di kursi sebelah, membuka kipas mini dan diarahkan ke wajah Aluna. “Aman sih aman, tapi jangan maksa. Lo udah cantik, lho. Korset bukan penyelamat hidup.”
Aluna tertawa kecil. Matanya menatap langit-langit tenda. “Gue mau perut ini balik kayak dulu. Nggak mau ntar casting ditolak karena postur.”
Surya menatapnya sebentar, lalu berdecak pelan. “Pihak casting mah ngelirik muka lo duluan, bukan perut. Tapi ya udah, yang penting sehat.”
“Gue janji bakal rajin olahraga. Jogging tiap pagi, yoga sore. Biar balik body goals. Gue harus bisa.”
Surya menyandarkan kepala ke sandaran kursi sambil bergumam. “Iya iya, ibu artis penuh ambisi.”
Aluna menyeringai. “Ambisi perut rata, Sur.”
Mereka tertawa ringan bersama, lalu terdengar teriakan dari kru. “Standby! Siap-siap take berikutnya!”
Aluna bangkit perlahan, mengangkat botol minum dan mengacungkannya ke Surya. “Dukung gue terus, ya!”
“Sampai kurus pun tetap gua yang jagain. Cus!”
...***...
Waktu sudah menunjukkan lewat jam istirahat. Lantai divisi pemasaran, Alvera Corp yang tadinya ramai kini mulai sunyi. Hanya terdengar suara AC yang berdengung pelan.
Renzo keluar dari ruang kerjanya sambil meregangkan leher dan memutar bahu. Dasi masih tergantung rapi di leher, tapi lengan kemejanya sudah digulung sampai siku. Pandangannya menelusuri ruangan kosong.
Ia berjalan pelan ke pantry kecil di ujung ruang. Mengambil cangkir, membuka toples kopi, lalu menuang air panas ke dalam gelas bening. Tangannya sempat gemetar sedikit, membuat air hampir meluber.
“Kalau tangan udah nggak stabil, itu artinya harus makan.”
Suara lembut dan tenang itu datang dari belakangnya. Renzo menoleh cepat.
Nadhifa, berdiri dengan senyum kecil dan aura menenangkan, mengenakan outer abu muda di atas blouse kerja putihnya.
Renzo sedikit kaget. “Lo belum makan?”
Nadhifa mendekat beberapa langkah, tangannya menyentuh tali tas selempang kecil yang menggantung di bahu. “Aku nunggu kamu.”
Renzo diam sebentar, lalu menoleh penuh. “Kenapa nunggu gue? Bisa aja makan bareng yang lain.”
Nadhifa masih tersenyum lembut. “Soalnya semua udah keluar. Cuma kamu yang belum. Takutnya kamu... ya... lupa makan lagi. Aku ingat kamu pernah tumbang karena usus buntu.”
Renzo menatapnya lebih lama dari biasanya. Wajah Nadhifa memang kalem. Tapi bukan tipe yang canggung. Ada ketulusan di balik sikap tenangnya.
“Lo... ingat?”
Nadhifa tersenyum kecil. “Aku juga kerja di sini, Mas. Mana mungkin lupa. Itu pertama kalinya semua orang panik dan kamu digotong keluar ruangan.”
Renzo tertawa kecil, menurunkan cangkir kopinya ke meja. “Lo ngajak gue makan?”
Nadhifa mengangguk. “Yuk. Ke warung sebelah aja. Nggak fancy, tapi bisa bikin kamu berhenti minum kopi doang.”
Renzo mengambil jaket tipis di ruangannya. Lalu ia berjalan di samping Nadhifa yang kini memasang wajah penuh perhatian.
Saat pintu otomatis menutup di belakang mereka, hanya ada keheningan kantor yang tersisa.
...***...
Renzo dan Nadhifa duduk di meja pojok yang sedikit sepi. Di meja hanya ada dua piring nasi goreng spesial, dua gelas es teh dan satu toples kerupuk yang belum disentuh. Suara kipas angin tua berputar di atas mereka.
Nadhifa menyuap perlahan, matanya sempat melirik ke arah luar warung sebelum akhirnya membuka suara. “Aku sempat lihat beritanya… soal bayi Aluna. Lucu ya. Kayaknya gemesin banget.”
Renzo tersenyum tipis, menyeka sudut bibirnya dengan tisu. “Lucu banget. Waktu masih di inkubator aja semua orang rebutan pengen lihat. Sekarang malah makin lincah.”
“Tapi aku belum pernah lihat langsung. Ya… cuma dari media aja. Netizen cepat banget nyebarin foto.”
Renzo meletakkan sendoknya, lalu menyandarkan punggung ke kursi plastik. Suaranya tenang, tapi nadanya sedikit lebih hangat.
“Kalau penasaran, nanti gue ajak ke apartemen Aluna. Bisa lihat langsung. Bayinya juga nggak rewel.”
Nadhifa cepat-cepat geleng. “Nggak usah. Aku… aku bukan siapa-siapa, Mas.”
Renzo menatapnya serius. “Lo temen gue.”
Nadhifa menunduk. Jemarinya memutar sendok di piring. “Tapi kamu tahu aku siapa. Kalangan bawah. Cuma anak simpanan kakek kamu. Orang kayak aku... cukup tahu diri.”
Renzo diam. Lama. Matanya memandang Nadhifa seperti baru menyadari luka lama yang masih tersimpan. Lalu ia menghela napas.
“Nadhifa, kita hidup di dunia yang memang keras. Tapi lo kerja jujur. Lo pintar. Lo bertahan. Itu lebih dari cukup.”
Nadhifa tidak menjawab. Tapi sudut bibirnya menegang, mencoba tersenyum.
Renzo lalu melirik smartphone, lalu menaruhnya terbalik di meja. “Kalau suatu hari lo berubah pikiran, ajak gue duluan. Gue yang antar ke apartemen Aluna.”
Nadhifa menatapnya sejenak, lalu mengangguk perlahan.
Mereka melanjutkan makan, suasana antara nyaman dan canggung, tapi ada sesuatu yang berubah. Ada jarak yang semakin pendek. Bukan karena status. Tapi karena rasa hormat dan perhatian yang tulus.
...***...
Suara sepatu Renzo terdengar di lorong marmer yang sudah mulai sepi. Beberapa pegawai melintas cepat, menyapa seadanya. Ia keluar gedung, melongok ke arah mobil hitam mengkilap yang berhenti tepat di depan lobi.
Nadhifa, yang masih berdiri di dalam, menatap dari balik kaca lobi. Ia memberi lambaian kecil.
Renzo tersenyum ringan. “See you.”
Nadhifa mengangguk, menatap senyuman itu dengan pandangan samar, tapi sebelum bisa membalas, tatapan tajam Alaric dari dalam mobil langsung menusuk ke arahnya. Dingin. Menilai. Tidak suka.
Renzo masuk ke kursi penumpang tanpa berkata apa-apa. Mobil melaju halus, dikemudikan sopir pribadi.
Beberapa detik hanya ada suara AC dan desiran ban.
“Gue gak suka lo dekat-dekat sama dia,” ucap Alaric terus terang.
Renzo menoleh sekilas, lalu mengalihkan pandangan ke jendela. “Lo gak perlu khawatir. Gue tahu batasnya.”
Alaric menyipitkan mata, menoleh sekilas ke arah Renzo. “Batas? Kadang lo lupa. Apalagi kalau merasa bersalah.”
Renzo hanya mengangkat bahu. Lalu tangannya tanpa sadar menyentuh lengan jas Alaric—gerakan cepat, sekilas, ambigu. “Justru karena gue tahu lo selalu melihat.”
Alaric diam. Tidak menepis. Tidak menjawab. Hanya menatap ke depan.
Mobil terus melaju, membawa mereka ke rumah yang sama, tapi dengan pikiran yang tak selalu searah.