NovelToon NovelToon
Di Ujung Cakrawala

Di Ujung Cakrawala

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Anak Genius / Anak Yatim Piatu / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Transmigrasi ke Dalam Novel
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: kaka_21

"Jangan pergi."
Suara itu terdengar lirih, hampir tenggelam oleh tiupan angin perbatasan. Tapi Cakra mendengarnya jelas. Shifa berdiri di hadapannya, mengenakan jaket lapangan yang kebesaran dan wajah yang tidak bisa menyembunyikan kecemasan.

"Aku harus."
Cakra menunduk, memeriksa ulang peluru cadangan di kantongnya. Tangannya gemetar sedikit. Tapi dia tetap berdiri tegak.

Shifa maju selangkah, menatap matanya.
"Kenapa harus kamu? Ada banyak tim. Kenapa kamu yang selalu minta maju paling depan?"

"Karena itu tugasku."
Cakra tidak mengangkat wajahnya.

"Bukan. Itu karena kamu terus ngejar bayangan ayahmu. Kamu pikir kalau kamu mati di sini, kamu bakal jadi pahlawan seperti dia?"

Diam.

"Aku bukan ibumu, Cakra. Aku nggak mau mengantar orang yang aku cintai ke pemakaman. Aku nggak sekuat Bu Dita."
Suara Shifa mulai naik.

Cakra akhirnya menatapnya. "Ini bukan soal jadi pahlawan. Ini soal pilihan. Dan aku sudah memilih jalan ini, jauh sebelum aku kenal kamu."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kaka_21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7: Hari Pengumuman

Pagi itu, langit di atas kompleks akademi tampak bersih tanpa awan. Udara terasa hangat namun tidak menyengat, dan sinar matahari jatuh lembut di halaman aula yang ramai oleh para peserta seleksi dan keluarga mereka. Suasana penuh harap memenuhi setiap sudut: bisik-bisik antusias, langkah kaki yang terburu-buru, suara clipboard ditepuk-tepuk, dan para pelatih yang berseragam rapi berdiri dengan wibawa di barisan depan.

Cakra berdiri di antara kerumunan itu, di sisi seorang wanita bersahaja yang mengenakan kebaya sederhana berwarna abu lembut. Ibunya. Meski raut wajah wanita itu tampak tegas, matanya tak bisa menyembunyikan getar kebanggaan yang pelan-pelan muncul. Tangannya menggenggam dompet kecil, seakan berusaha menyalurkan semua rasa cemas dan bangga lewat benda itu.

“Anaknya Pak Rangga, ya?”

Seorang pelatih pria menghampiri dengan senyum singkat namun penuh arti.

“Wah, darah pejuang emang nggak jauh jatuhnya…” “Dulu ibunya dokter yang hebat dan tangguh. Saya masih ingat beliau waktu di daerah operasi. Luar biasa.”

Ibu Cakra mengangguk pelan, membalas sapaan itu dengan senyum tipis yang mengandung kesopanan sekaligus kenangan. Cakra melirik ibunya dari sudut mata. Ada kehangatan yang menggumpal di dadanya. Sekilas, ia teringat pada foto-foto lama Rangga di lemari—seragam loreng, senyum lebar, dan tatapan penuh tekad. Kini, ia berdiri di tempat yang sama, membawa nama itu di pundaknya.

Di kursi tak jauh dari mereka, Laras duduk sambil memeluk tas kecil di pangkuannya. Wajahnya menunjukkan ketegangan, tapi juga ada cahaya harapan di sana. Sesekali matanya mencari-cari Cakra, memastikan laki-laki itu masih kuat berdiri. Tak ada kata yang terucap dari mulut mereka berempat saat itu. Namun keheningan pagi itu terasa seperti perjanjian diam-diam—bahwa apa pun hasilnya nanti, mereka sudah berjalan sejauh ini bersama-sama.

Aula besar mulai hening ketika seorang panitia naik ke podium. Kertas di tangannya tampak berat—bukan karena bobotnya, tapi karena beban harapan yang tertulis di dalamnya. “Kami akan mulai menyebutkan nama-nama peserta yang dinyatakan lulus seleksi akhir akademi tahun ini,” ucapnya tegas. Suasana perlahan berubah menjadi tegang. Jantung para peserta seolah berdetak di luar dada. Suara pelatih memecah keheningan:

“Rahman Aditya...”

“...tidak lulus.”

Seorang pemuda di baris tengah menunduk, bahunya bergetar.

“Salsabila Nuraini...”

“...lulus.”

Sorak sorai kecil, pelukan, dan tangis bahagia. Cakra berdiri tegap, walau kakinya sedikit bergetar. Ia mencengkeram jemari ibunya yang hangat, dan sesekali melirik Laras yang masih menunduk sambil memeluk tasnya.

Lalu...

“Cakrawala Pradipta Yudha!”

Hening. Waktu seolah berhenti sesaat. Cakra menahan napas. Ia menatap ke depan, ke podium, ke wajah para pelatih mencari isyarat. “Lulus,” lanjut pelatih, datar namun jelas.

Cakra tertegun. Dunia seolah kabur sejenak, sampai lututnya melemas. Ia bersujud syukur di lantai aula, air mata tumpah begitu saja.

Ibunya menunduk, menyentuh bahu anaknya dengan lembut.

Cakra bangkit, memeluk ibunya erat. Suaranya parau, tersendat oleh tangis:

“Aku lulus, Bu...”

Ibunya membalas pelukan itu dengan genggaman kuat, seakan semua luka masa lalu mereka sembuh seketika.

“Ayah kamu pasti bangga.”

Laras yang duduk di kejauhan mengusap air matanya pelan. Ia tidak berkata apa-apa, namun senyumnya merekah—sebuah kebahagiaan yang tulus, datang dari tempat paling dalam.

Tak lama kemudian, pelatih kembali menyebut nama selanjutnya:

“Airlangga Putra!”

Beberapa peserta menoleh—dan benar saja, Arlan langsung melompat dari bangkunya.

“YEEEESSS!! AKHIRNYA, MEN!!” teriaknya kencang, menggema di seluruh aula.

Dengan semangat berlebihan, Arlan berlari-lari kecil sambil menirukan selebrasi Cristiano Ronaldo, lengkap dengan gerakan tangan dan teriakan "SIUUU!"

Beberapa pelatih menggeleng-gelengkan kepala, setengah pasrah namun tak bisa menahan senyum geli.

seorang pelatih  berbisik kepada rekannya “Kita bakal pusing ngatur bocah ini nanti.” Tanpa menunggu lama, Arlan keluar dari aula, menyambar ponselnya dan menekan tombol speed dial. Ia berjalan mondar-mandir di halaman depan. “MOM! DAD! I DID IT! I’M IN!” serunya penuh semangat. “Yup! Akademi! Beneran! Gak bercanda!”

Di dalam aula, ia kembali masuk dan langsung memeluk Cakra dengan bangga, diikuti ucapan selamat dari para peserta lain yang sudah mulai bersorak dan berpelukan. Hari itu, dua sahabat, dua cerita, dan satu tujuan—berhasil menembus gerbang pertama menuju masa depan mereka.

1
Siyantin Soebianto
ceritanya jadi penisirin gini ya😇
Nanang
SEMANGAT Thor berkarya nya ya 😇
kaka_21: siap kakak,terimakasih udah mampir
total 1 replies
piyo lika pelicia
semangat ☺️
perhatikan lagi huruf kapital di awal paragraf
kaka_21: baik kak, terimakasih
total 1 replies
piyo lika pelicia
Assalamualaikum, paman pulang! waduh ... makan apa nih?"
piyo lika pelicia
Tiba-tiba pintu terbuka
piyo lika pelicia
Rama
piyo lika pelicia
"Ee.. kamu mau kemana" pake nanya. Virza tertawa kecil. "Aku mau
piyo lika pelicia
"Terimakasih, sepertinya tidak pernah."
piyo lika pelicia
ibu dan juga bapaknya kemana
piyo lika pelicia
"Ma, dengarkan aku
piyo lika pelicia
tidak boleh berkata kasar pada anak mu sendiri 😒
kaka_21: sabar kak, sabar
total 1 replies
piyo lika pelicia
"Ma, dengarkan aku
piyo lika pelicia
iklan untuk kakak ☺️
piyo lika pelicia
dasar ibu yang buruk
piyo lika pelicia
adik yang baik ☺️
piyo lika pelicia
"Eh, Riz. Ada apa?"
Inumaki Toge
Ayatnya enak dibaca,lanjut semangat ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!