Eri Aditya Pratama menata kembali hidup nya dengan papanya meskipun ia sangat membencinya tetapi takdir mengharuskan dengan papanya kembali
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Pembalasan Dinda
Di sebuah kontrakan kumuh di Jakarta, jauh dari rumahnya yang nyaman di Bandung, Dinda duduk membatu. Kontrakan ini, dengan dindingnya yang mengelupas dan atapnya yang bocor, menjadi saksi bisu dendamnya. Tempat pengasingan yang ia pilih sendiri untuk merencanakan pembalasan. Di dinding usang, yang dicat dengan warna pucat yang menyedihkan, tergantung sebuah foto Dea, putrinya. Senyumnya yang dulu menghiasi setiap sudut hidup Dinda, kini hanya menjadi pengingat abadi akan luka yang menganga, akan kebahagiaan yang direnggut paksa. Foto itu adalah satu-satunya barang berharga yang ia bawa dari rumah lamanya, satu-satunya koneksi yang tersisa dengan masa lalu yang bahagia. Setiap kali menatapnya, air mata tanpa sadar mengalir membasahi pipinya.
Henny dan Eri. Dua nama itu adalah sumber dari semua penderitaannya, dalang di balik tragedi yang menimpa Dea. Dinda tidak akan pernah bisa memaafkan mereka, tidak akan pernah bisa melupakan apa yang telah mereka lakukan. Mereka telah merenggut nyawa putrinya, masa depannya, dan seluruh kebahagiaannya.
"Mereka pikir bisa hidup tenang setelah merenggut segalanya dariku? Mereka pikir bisa berbahagia di atas penderitaanku? Tidak akan kubiarkan. Kematian Dea harus dibayar dengan penderitaan yang setimpal. Aku akan pastikan mereka merasakan neraka yang lebih pedih dari yang kurasakan. Aku akan membuat mereka menyesal telah dilahirkan," desis Dinda, suaranya serak, nyaris tak terdengar, namun sarat akan kebencian yang mengalir dalam setiap nadinya, menguasai setiap sel dalam tubuhnya, membutakan akal sehatnya. Kata-kata itu adalah mantra yang ia ulang-ulang setiap hari, setiap jam, setiap menit, untuk menjaga api dendamnya tetap menyala. Dendam itu telah menjadi bagian dari dirinya, menggerogoti jiwanya, dan mengubahnya menjadi sosok yang berbeda.
Dina, keponakannya yang polos, gadis muda yang baru saja memulai hidupnya di kota besar, kini menjadi pion dalam permainan mautnya. Dina adalah satu-satunya keluarga yang tersisa yang bisa ia percaya, satu-satunya orang yang bersedia mendengarkan keluh kesahnya, satu-satunya harapan untuk membalaskan dendamnya. Ia meraih ponselnya, sebuah ponsel butut yang ia beli dengan sisa uang terakhirnya, tangannya gemetar saat menekan tombol panggil. Setiap nada dering adalah pengingat akan misi yang harus dijalankan, tugas yang akan mengubah hidupnya selamanya, tugas yang akan menguji batas kemanusiaannya, tugas yang akan merenggut kepolosannya. Ia tahu bahwa ia telah menyeret Dina ke dalam kegelapan, tetapi ia merasa tidak punya pilihan lain.
"Halo, Dina? Bagaimana kabarmu di sana, Din? Apa kuliahnya berjalan lancar? Apa teman-temannya baik? Apa kamu sudah beradaptasi dengan lingkungan baru? Apa kamu baik-baik saja? Apa kamu sudah... siap?" tanya Dinda, berusaha menyembunyikan gejolak emosi di balik nada suara yang dibuat setenang mungkin, menyembunyikan kegelisahannya di balik topeng kepedulian, menyembunyikan kebenaran balik kata-kata manis. Ia berusaha terdengar seperti tante yang penyayang, bukan seorang wanita yang dipenuhi dendam. Ia ingin Dina merasa nyaman dan aman, meskipun ia tahu bahwa ia sedang membohonginya.
"Baik, Tante. Kuliahnya lumayan seru, teman-temannya juga baik. Tapi... aku tetap merindukan rumah, merindukan Tante dan masakan Tante. Aku juga... aku juga merasa bersalah. Aku merasa seperti orang jahat," jawab Dina, suaranya terdengar ragu dan bergetar. Dinda bisa merasakan bahwa keponakannya itu sedang berjuang dengan hati nuraninya. Ia tahu bahwa Dina adalah gadis yang baik dan jujur, dan ia merasa bersalah karena telah memanfaatkannya.
"Kenapa kamu merasa bersalah, Din? Kamu tidak melakukan kesalahan apa pun. Kamu hanya membantu Tante, membantu Dea. Kamu hanya ingin membalaskan dendamnya," kata Dinda, berusaha meyakinkan Dina bahwa apa yang mereka lakukan adalah benar. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia tidak melakukan kesalahan.
"Tapi, Tante... apa benar cara ini yang terbaik? Apa Dea akan senang melihat kita melakukan ini?" tanya Dina, suaranya semakin lirih.
Dinda terdiam sejenak. Ia tahu bahwa Dina benar, tetapi ia tidak bisa mundur sekarang. Ia sudah terlalu jauh dalam rencana ini, ia tidak bisa membiarkan Henny dan Eri lolos begitu saja. Ia telah mengorbankan segalanya untuk membalaskan dendam putrinya, dan ia tidak akan berhenti sampai ia berhasil.
"Dina, dengarkan Tante. Dea tidak akan senang melihat kita menderita. Ia ingin kita bahagia, tetapi ia juga ingin keadilan. Ia ingin orang-orang yang telah menyakitinya membayar atas perbuatan mereka. Dan kita akan melakukan itu untuknya," kata Dinda, dengan nada suara yang lebih tegas dan meyakinkan.
"Tapi, Tante... aku takut. Aku takut kalau kita ketahuan. Aku takut kalau kita akan dipenjara," kata Dina, suaranya terdengar sangat ketakutan.
"Jangan takut. Tante akan melindungi kamu. Tante akan memastikan bahwa kita tidak akan ketahuan. Kita akan melakukan ini dengan hati-hati dan teliti. Kita akan membuat mereka membayar tanpa meninggalkan jejak," kata Dinda, berusaha menenangkan Dina. Ia tahu bahwa ia sedang berbohong, tetapi ia harus membuat Dina percaya padanya.
"Baiklah, Tante. Aku percaya pada Tante. Aku akan melakukan apa pun untuk membantu Tante dan Dea," kata Dina, suaranya terdengar lebih mantap.
"Bagus. Sekarang dengarkan Tante baik-baik. Tante punya rencana baru. Kamu harus mendekati Eri, kamu harus membuatnya jatuh cinta padamu. Setelah itu, kamu bisa menghancurkan hidupnya dari dalam," kata Dinda, dengan nada suara yang dingin dan penuh perhitungan.
"Apa? Tapi, Tante... aku tidak bisa. Aku tidak mungkin melakukan itu," kata Dina, suaranya terdengar sangat terkejut dan tidak setuju. Ia tidak pernah membayangkan bahwa tantenya akan memintanya untuk melakukan hal seperti ini.
"Kenapa tidak bisa? Kamu cantik, pintar, dan menarik. Kamu bisa membuat siapapun jatuh cinta padamu. Kamu hanya perlu menggunakan semua yang kamu punya untuk mencapai tujuan kita," kata Dinda, berusaha membujuk Dina. Ia tahu bahwa ia sedang memanfaatkan keponakannya, tetapi ia merasa tidak punya pilihan lain.
"Tapi, Tante... itu tidak benar. Aku tidak bisa mempermainkan perasaan orang lain. Aku tidak bisa menghancurkan hidup seseorang hanya untuk membalaskan dendam," kata Dina, suaranya terdengar sangat sedih dan kecewa.
"Dina, ini bukan tentang mempermainkan perasaan orang lain. Ini tentang keadilan. Ini tentang membalaskan dendam Dea. Kamu harus melakukan ini untuknya. Kamu harus melakukan ini untuk kita semua," kata Dinda, dengan nada suara yang memohon.
Dina terdiam sejenak. Ia tahu bahwa Dinda benar, tetapi ia juga tahu bahwa apa yang ia minta sangat sulit untuk dilakukan. Ia tidak tahu apakah ia sanggup melakukan semua ini. Ia merasa terjebak di antara kesetiaannya pada tantenya dan hati nuraninya sendiri.
"Baiklah, Tante. Aku akan melakukannya. Aku akan mendekati Eri dan menghancurkan hidupnya. Aku akan melakukan apa pun untuk Dea," kata Dina, akhirnya menyerah pada permintaan Dinda.
"Bagus. Tante tahu kamu tidak akan mengecewakan Tante. Sekarang, dengarkan Tante baik-baik. Ini adalah rencananya..." kata Dinda, mulai menjelaskan rencananya secara detail kepada Dina.
Di kontrakan kumuh itu, dua wanita merencanakan pembalasan dendam. Satu wanita dipenuhi dengan kebencian dan kemarahan, yang lainnya dipenuhi dengan ketakutan dan keraguan. Mereka berdua terikat oleh cinta dan kesetiaan pada Dea, tetapi mereka juga terancam oleh jalan kehancuran yang telah mereka pilih. Kegelapan telah menyelimuti mereka, dan mereka tidak tahu apakah mereka akan bisa keluar dari sana.
*************