Blurb :
Seseorang yang pernah hancur cenderung menyebabkan kehancuran pada orang lain.
Aku pernah mendengar kalimat itu, akan tetapi aku lupa pernah mendengarnya dari siapa. Yang jelas, aku tahu bahwa pepatah itu memang benar adanya. Aku yang pernah dihancurkan oleh rasa terhadap seseorang, kini telah menghancurkan rasa yang orang lain berikan terhadapku.
Aku sungguh menyesal karena telah membuat dia terluka. Oleh karena itu, aku menulis semua ini. Dengan harapan suatu saat dia akan membacanya dan mengetahui bahwa aku pun mempunyai perasaan yang sama.
Meskipun mungkin sudah sangat terlambat.
Hai, Lelaki yang Telah Kupatahkan Hatinya, tulisan ini untukmu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sri Ghina Fithri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Si Muka Badak dan Otak Yuppy
“Bang Rian sama Bang Bian mana?” Dia mulai mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan.
Aku membuat catatan bagaimana dia menanyakan soal keberadaan Bang Rian terlebih dahulu sebelum Bang Bian. Dia memastikan cowok yang sudah mengancamnya tidak tahu kalau dia ada di sini. “Bang Rian kerja, Juno juga lagi ada urusan.” Aku menjawab sekenanya.
“Terus siapa yang jagain kamu?”
“Ada, Mama. Lagi ke luar beli sesuatu." Ingin sekali rasanya tetap menutup mulut dan tidak berbicara sepatah kata pun pada pemuda yang duduk si kursi samping tempat tidurku itu, akan tetapi apalah daya. Aku juga tidak mau dikata-katai lagi kalau aku tidak menjawab pertanyaannya.
“Oh, gitu. Pacar kamu yang baru itu mana?”
Deg! Jantungku berdetak keras saat mendengar pertanyaan itu.
Aku tahu benar siapa yang dimaksud oleh Bang Che. Dia sedang mempertanyakan keberadaan Alex. Dia, entah bagaimana caranya, pernah mengirimkan foto kami berdua melalui e-mail padaku. Dan bisa ditebak itu bukanlah sebuah e-mail untuk menyampaikan ucapan selamat, akan tetapi di dalam surat elektronik tersebut dia menuduh Alex, yang notabenenya adalah orang asing baginya, dengan hal yang tidak-tidak. Aku hanya bisa bersyukur karena tidak pernah mengiakan permintaan untuk menjadi kekasih orang seperti Bang Che. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku kalau kami benar-benar sempat bersama. Membayangkannya saja membuat bulu kudukku berdiri. Perutku seketika menjadi tidak enak. Dang it. Dang him.
Aku mencoba menjawab dengan santai. Aku berdoa kepada Tuhan agar ekspresiku tidak mendustai diriku sendiri. “Alex lagi kerja juga sekarang, paling weekend nanti dia ke sini." Aku merasa perlu menambahkan detail itu. "Kenapa emangnya, Bang?”
Awalnya, aku berharap dengan berlagak everything is under control dapat membuat Bang Che sadar diri dan mengambil langkah mundur. Namun, sepertinya tidak ada yang bisa mencoreng muka tebal Bang Che. Dia malah semakin bersemangat untuk membenamkan tangannya ke dalam urusanku. “Gak ada, Kay. Mau tahu aja. Lagi pula, mumpung dia lagi enggak di sini kan aku bisa ketemu sama kamu," timpalnya. Aku tidaj menyangka Bang Che masih sempat terkekeh setelah mengatakan kalimat yang sungguh mencerminkan nilai karakter yang dimilikinya.
Nol. Nol besar.
Oh, my goodness, terbuat dari apa sih isi kepala manusia yang satu ini?
“Eh, Kay. By the way, aku boleh bilang sesuatu gak?” Dia mendekatkan dirinya seperti hendak membisikkan sesuatu yang sangat rahasia. “Dia enggak cocok sama kamu, Kay. Nanti yang ada pasti kamu disakitin lagi. Lihat aja tampangnya tipikal playboy gitu.”
What the fudge?!
Who the hell do he think he is? Who the hell is he to judge Alex?
Aku sudah benar-benar berniat untuk berteriak pada cowok bermuka badak dan berotak yuppy itu ketika Mama tiba-tiba saja masuk ke dalam ruangan. Beliau agak terkejut melihat ada seseorang di sampingku, akan tetapi segera menyembunyikan perasaan itu dengan senyuman. “Eh, Mama gak tahu kalau sedang ada teman kamu, Sayang. Mau Mama tinggal dulu?” tawar Mama sambil berjalan ke arah lemari untuk menyimpan barang-barang yang baru saja dibeli. Bang Che langsung berdiri dan agak membungkuk saat mengucapkan terima kasih atas Mama.
“No, gak usah, Ma. Mama di sini aja. Bang Che udah mau pulang kok."
"Eh, ta-tapi aku–"
Tak kubiarkan Bang Che melanjutkan kalimatnya. "Tapi ... aku mau istirahat, Ma. Kepala Kayra udah mulai pusing.” Aku cepat-cepat memegang kepalaku dan mematikan televisi. “Abang boleh pulang sekarang.” Aku menatap cowok yang ternyata sudah lebih menatapku dengan dingin. Aku tidak peduli dengan apa yang ada di dalam pikirannya. Aku tak ingin dia berlama-lama di sini atau aku tidak tahu apa yang akan kulakukan padanya dan kata-kata sok tahunya itu.
“Ya udah, kalau gitu istirahat dulu ya, Nak. Ayo, temannya Kayra, Tante antar ke depan.” Mama kemudian mengajak Bang Che yang enggan untuk ke luar. Kalau Mama tahu dia itu siapa dan apa yang sudah dilakukannya padaku, mungkin Mama akan menjadi orang pertama yang mengusirnya saat baru melihat puncak hidungnya itu. Bahkan aku yakin Mama akan jadi orang pertama yang menyuruhnya untuk pindah negara, ke bagian yang paling jauh yang ada di bumi.
....
“Gimana cara menghadapinya, Lex? Aku bahkan gak tahu apakah aku udah siap atau belum untuk menghadapi masa lalu aku. Aku benar-benar merasa bodoh. Aku memang cewek yang paling bodoh yang ada di bumi ini.”
“Hey, hey, hey. Udah. Kamu gak boleh ngomong begitu karena aku tahu kamu bukan cewek yang paling bodoh di dunia ini. Malah, bagi aku, kamu itu sebaliknya."
"Ih, gombal!"
"Serius!"
"Thank you ya, Lex. Kamu selalu berhasil bikin perasaan aku jadi lebih baik."
"It's okay. Aku memang ingin membuat kamu merasa lebih baik. Kamu gak perlu stres mikirin soal itu lagi. Okay? Kita akan hadapi semuanya bersama. Pelan-pelan. Aku yakin nanti juga semuanya akan membaik.”
"Yeah?"
"Yeah."
“Kita akan menghadapinya bareng-bareng?”
“Iya. Bareng-bareng.”
....
Kamu sekarang ada di mana, Lex? Bang Che barusan ke sini. Tadi dia tanyain kamu. Dia bilang kalau kamu playboy, bakal nyakitin aku. Dia masih bilang kamu enggak pantas buat aku, sama kayak yang dia bilang di e-mail waktu itu. Sayang dia lagi-lagi asal ngebacot aja. Dia masih clueless, masih gak tahu kenyataannya, Lex. Padahal kenyataannya aku yang udah nyakitin kamu. Aku yang enggak pantas buat kamu.
Kedatangan Bang Che jelas saja membuka pandora box yang berisi kenangan-kenangan bersama Alex yang sudah berusaha kusimpan di sudut otak paling jauh dari jangkauan. Namun, ternyata, tidak ada tempat yang serupa itu. Lagi dan lagi, kenangan bersama cowok yang paling sempurna yang telah kusakiti itu mengambang di dalam pikiran.
....
“Udah lah, Kay. Jangan diambil hati. Itu cuma komen gak mutu dari mantan pacar kamu yang cemburu ngelihat kamu sekarang jalan sama cowok yang jauh, jauh, jauh lebih baik dari dia. Dan ... kalau dipikir-pikir lagi, dia juga bukan mantan kamu, kan? Jadi, dia apa dong? Hal itu seharusnya malah bikin keberadaan dia makin insignificant lagi di dalam hidup kamu.”
....
Tadi dia bilang kamu pacar aku, Lex.
Aku berusaha memejamkan mata, mencona mengusir bayang-bayang yang menari-nari di sana, akan tetapi tak satu pun dari bayangan dan kenangan-kenangan bersama Alex yang pergi. Mereka malah semakin berputar-putar di otakku. Aku bahkan bisa mengingat setiap detail situasinya saat ini.
Air mata tak dapat kuhindari. Kenapa seluruh panca indera rasanya menjadi lebih peka saat kita patah hati?
To be continued ....
terimakasih ya kak ❤️❤️❤️❤️