Jess Amartha, wanita berusia 24 tahun yang juga merupakan anak yatim-piatu. Terpaksa harus menerima tawaran pernikahan, dari donatur panti asuhan tempatnya bernaung selama ini.
Menolak? Jelas Jess tak mungkin bisa. Terutama jika sang ibu panti telah menyetujui lamaran dadakan tersebut, dengan senyum cerah di wajahnya yang mulai menua.
Pernikahan pun terjadi. Dua insan yang tak pernah mengenal, dipaksa keadaan untuk saling menerima satu sama lain.
Kent Rahardjo, pria berusia 30 tahun. Selain wajahnya yang rupawan, pria itu juga sangat mapan dalam segi finansial. Seorang CEO sebuah perusahaan IT terbesar kedua di Asia tenggara.
Pria arogan, dingin dan tak tersentuh. Membuat pernikahan mereka bagai berjalan diatas bongkahan es.
Sanggupkah Jess bertahan dalam pernikahan tak sehat, yang menjerat kebebasan jiwanya yang semakin rapuh? Akankah hati beku Kent mencair oleh ketulusan seorang Jess Amartha?
Kuy simak dan beri kritik yang membangun mental agar tak menjadi down🤗🙏😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qaeyra_S Antonio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Jangan lupa jejekin yah, favorit, komen n like 🙏🙏😘😘🥰🥰
👸👸👸👸👸👸👸👸👸👸👸👸👸👸👸👸
Eli berseru dengan nyaring. "Papa! Eli kangen papa, kenapa papa tidak pernah datang lagi ke Bandung. Papa bilang akan mengunjungi Eli, papa bohong!" Cecar gadis kecil itu pada sang ayah.
Kent menggendong tubuh mungil sang anak menuju ruang keluarga. Ekor matanya menatap liar ke setiap sudut rumah. Mencari keberadaan seseorang yang dia harapkan tak berada di sana. Namun harapannya terpatahkan. Jess kini terlihat tengah berkutat di dapur untuk membuatkan makanan.
Sejenak Kent menghentikan langkahnya, menatap punggung kecil sang istri dengan perasaan tak menentu.
"Pa? Kenpa papa malah ngeliatin bibik sih. Duduk yuk pa.." rengek Eli. Dan itu berhasil membuat Kent tercengang. Eli memanggil Jess sebagai seorang pelayan. Entah bagaimana pertemuan awal mereka tadi, hingga berakhir istrinya menjadi seorang pelayan di mata putrinya.
Melisa menunduk dalam, tak berani membalas tatapan tajam Kent terhadapnya. Dia tau pria itu pasti akan menyalakan dirinya. Namun itu urusan nanti, dia yakin Eli pasti bisa meluluhkan hati keras seorang Kent.
"Eli duduk di sini sebentar ya, papa mau cuci tangan dulu. Oke?" Meski cemberut, Eli hanya bisa mengangguk. Dia memahami jika ayahnya tak suka di bantah.
Kent berdiri di depan wastafel, namun pria itu berbicara dengan nada rendah pada Jess yang tengah memotong daging.
"Seharusnya kau bisa memperkenalkan diri mu sebagai adikku saja, kenapa harus mengaku sebagai seorang pelayan." Ujar Kent dengan nada rendah. Kedua tangannya sengaja dia basuh dengan aliran air keran sekecil mungkin.
"Adik ya? aku lupa memikirkannya, aku tak pernah memiliki seorang kakak sejak kecil. Jadi aku tak berpikir sejauh itu. Apa yang terlintas di benakku, itulah yang aku ucapkan. Bukankah kata-kata spontan biasanya mengandung unsur kejujuran di dalamnya?"
Kent mematung, dia lupa jika Jess adalah seorang kakak bagi banyak adik. Dan hatinya tersentil oleh kalimat sederhana tersebut.
"Bermainlah bersama putrimu, dia sudah sangat merindukan papanya. Aku akan menyiapkan makan malam untuk kalian sebelum kembali ke panti. Jadi kau bisa menikmati waktumu bersama istri juga anakmu, tanpa gangguan karena merasa canggung terhadapku." Usir Jess dengan kalimat halus.
Lagi-lagi kata-kata Jess menampar telak dirinya. Wanita itu terlihat begitu lapang dada menerima kenyataan pahit tersebut. Tak terlihat mata yang berembun, tak ada drama klasik dengan cecaran panjang penuh nada kemarahan. Tak terlihat ekspresi penuh kekecewaan. Hanya ada raut wajah datar dengan sedikit senyuman tipis yang tak dapat di jelaskan.
Meski benak Kent kini diliputi banyak rasa penasaran akan sikap tenang sang istri, Kent tak berani berkata apapun lagi apalagi bertanya perihal awal pertemuan keduanya tadi. Nyalinya tiba-tiba ciut seketika.
Dengan langkah gontai, Kent kembali ke ruang keluarga setelah Eli terus memanggilnya berulang kali. Jess tersenyum miris, mendengar suara cengkramaan bernada canda yang mengundang gelak tawa di ruang keluarga, tepat di belakangnya.
"Inilah kenapa tidak semua wanita mampu untuk di duakan. Tak ada hati yang benar-benar ikhlas berbagi kemesraan apalagi tubuh yang sama pada wanita lain." Gumam Jess terkekeh ngilu. Dia merasa lucu sendiri dengan pikirannya.
Jess masuk ke dalam kamar sempit berukuran 3x2 meter di belakang dapur. Saat dia akan naik ke kamarnya tadi, rupanya Melisa begitu murah hati. Sehingga wanita itu memindahkan semua barang-barangnya, ke kamar pembantu tanpa di minta. Sungguh wanita yang baik dan rajin. Jess sampai tak tau harus menangis sedih atau terharu atas perbuatan mulia tersebut.
Dia di usir dari kamarnya bagai sepah. Sungguh tak masalah. Hanya saja dia masih belum terbiasa satu rumah dengan orang yang lancang seperti Melisa.
Setelah membersihkan diri di toilet di samping gudang, yang memang di khususkan untuk para ART. Jess kembali ke ruang makan, setelah menghidangkan makanan Jess berniat kembali ke panti sekaligus akan menginap di sana selama beberapa hari.
Hatinya butuh pengalihan.
Namun Kent menahannya untuk makan malam bersama. Jess tak dapat menolak terlebih Kent jadi sedikit pemaksa senja itu. Pria itu memaksa Jess duduk di kursi yang tadinya di duduki oleh Melisa.
Meski harus mendapati tatapan tak suka dari wanita siluman itu, Jess tetap menghabiskan makan malamnya dengan tenang. Dia tak ingin di pandang sebagai wanita patah hati karena mengetahui fakta, sang suami telah memiliki kehidupan yang bahagia.
Selesai makan malam, Jess membersihkan semua sisa makanan dan piring kotor. Melisa bagai ratu, duduk menikmati tontonan bersama sang anak dengan santai di ruang keluarga.
Kent terus memperhatikan apa yang Jess lakukan tanpa menoleh sedikitpun. Ada rasa tak tega, ketika benar-benar melihat bagaimana istrinya harus melayani orang lain selain dirinya.
Melihat Jess kembali ke kamar belakang, Kent beranjak meski Melisa terus memanggilnya.
Kent berhasil masuk sesaat Jess akan menutup pintu kamar barunya.
Meski jengah dengan kehadiran Kent yang semakin membuatnya muak. Jess tak berkata apapun. Wanita itu duduk di sisi ranjang kayu sembari memainkan ponselnya tanpa menghiraukan keberadaan Kent di sana.
Jess tak suka situasi canggung seperti saat ini. Itu kenapa dia lebih suka Kent tinggal di entah berantah selama dua bulan ini. Dia bebas menjadi dirinya sendiri, tanpa tersiksa oleh rasa hormat yang terpaksa dia lakukan demi menghargai sang suami, yang tak layak untuk di hargai.
"Kembalilah ke kamar atas, aku akan meminta Melisa mengeluarkan barang-barang Eli dari kamarmu." Titah Kent lembut.
"Tak perlu. Aku tak masalah tidur di manapun. Di panti kami terbiasa tidur di karpet lantai tanpa kasur yang empuk. Kamar ini cukup bahkan sangat nyaman. Jangan membuat hati putrimu sedih, karena merasa terusir di dalam rumah ayahnya sendiri. Keluarlah Kent, aku tak ingin istrimu salah paham. Aku juga sedikit lelah" usir Jess sehalus mungkin.
Meski kecewa dengan penolakan Jess, Kent tak dapat memaksakan kehendaknya. Di tatapnya wanita di hadapannya itu sedalam mungkin. Kent ingin nenyelami isi hatinya. Dan semakin di tatap, perasaannya semakin kacau.
Jess melirik ujung kaki Kent yang masih belum bergerak pergi. Tubuh dan pikirannya amat sangat lelah. Dan dia ingin kembali menangis untuk meluapkan rasa sesak di hatinya saat ini.
Kent masih bergeming, hingga akhirnya pria itu keluar dengan langkah gontai dari kamar sempit tersebut.
Jess merasa sangat lega, air mata yang coba dia tahan kini meluncur bebas tanpa hambatan.
kent menatap ruang keluarga yang sepi. Pria itu yakin Melisa pasti membuat ulah baru, dengan menempati kamar utama miliknya.
Semua pasti dengan alasan anak, agar dirinya tak mampu menolak.
Setibanya di kamar utama di lantai dua, terlihat Melisa tengah bercanda dengan sang anak.
"Aku ingin bicara denganmu, pindahkan Eli ke kamar sebelah." Titah Kent menatap tajam ke arah Melisa.
Melisa menghentikan candaannya pada sang anak. Wanita itu menatap tak suka atas perintah Kent.
"Eli ingin tidur bersama kita Kent. Tidakkah kau merindukan nya? Kenapa kau berubah pada kami seperti ini? Apa salah kami Kent?" Isak Melisa memeluk tubuh mungil sang anak. Bagian inilah yang paling Kent benci.
TBC
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Apakah ada drama peluk memeluk untuk menenangkan Melisa yang tengah menangis dramatis? semoga saja tidak ya guys, sungguh othor tak sudi🤭
Jahat banget yak, othor nya😁😁
lope lope para kesayangan buna Qaya 🥰🥰🥰🥰