Benjamin ditugaskan kakaknya, menjadi pengawal pribadi Hayaning Bstari Dewi Adhijokso, putri bungsu ketua Jaksa Agung yang kehidupannya selama ini tersembunyi dari dunia luar.
Sejak pertama bertemu, Haya tak bisa menepis pesona Ben. Ia juga dibantu nya diperkenalkan pada dunia baru yang asing untuknya. Perasaannya pun tumbuh pesat pada bodyguard-nya sendiri. Namun, ia sadar diri, bahwa ia sudah dijodohkan dengan putra sahabat ayahnya, dan tidak mungkin bagi dirinya dapat memilih pilihan hatinya sendiri.
Tetapi, segalanya berubah ketika calon suaminya menjebaknya dengan obat perangs*ng. Dalam keputusasaan Haya, akhirnya Ben datang menyelamatkan nya. Namun Haya yang tak mampu menahan gejolak aneh dalam tubuhnya meminta bantuan Ben untuk meredakan penderitaannya, sehingga malam penuh gairah pun terjadi diantara mereka, menghilangkan batas-batas yang seharusnya tidak pernah terjadi di malam itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Membawa nya Menuju Villa
...•••...
Hayaning kebingungan sendiri. Ia tidak tahu ingin apa, sebab sebelumnya ia tak pernah dibiarkan sebebas ini oleh Papanya. Bertahun-tahun hidupnya hanya berkutat di lingkungan rumah saja, sehingga kini ia merasa serba canggung dan tak tahu harus berbuat apa.
"Aku ingin ke tempat yang senyap, yang tak berisik, dan bisa membuatku tenang," ucapnya kepada Ben.
"Nona yakin?" tanya Ben, memastikan.
"Iya, tapi aku tidak tahu di mana tempat seperti itu. Aku tidak pernah kemana-mana," jawab Hayaning jujur.
Ben tertegun, tak menyangka bahwa seorang anak konglomerat berdarah biru seperti Hayaning hidupnya benar-benar dikurung bagaikan burung dalam sangkar emas.
"Baik, Nona. Saya akan membawa Nona ke tempat yang seperti Nona inginkan," ujar Ben dengan nada meyakinkan.
Hayaning menoleh, menatapnya dengan sorot mata ragu. "Tempat seperti apa?" tanyanya pelan.
"Tempat yang jauh dari keramaian, tenang, dan tidak ada orang yang akan mengganggu Nona, persis seperti yang Nona inginkan. Tapi sebelum itu, saya harus menghubungi Papa Nona lebih dulu," jelas Ben.
Hayaning mengangguk kecil. "Ya, silakan,"
Beberapa menit berlalu dalam ketegangan sunyi. Hayaning yang duduk di ruang tengah, jemarinya saling merem*s gelisah. Akhirnya, Ben kembali menghampirinya setelah menyelesaikan panggilan teleponnya.
"Nona, mari kita berangkat."
"Ben tunggu, maksudmu Papa mengizinkan?"
Ben menatap keraguan dalam sorot mata Haya, "mengapa Nona, bukankah pak Brata mengizinkan dan membebaskan Nona mengeksplorasi dunia luar, tapi kenapa Nona seperti ragu?"
"Ah tidak. Aku hanya masih tidak percaya bahwa Papa memberikan kebebasan padaku, padahal sebelumnya ia amat ketat padaku."
Ben menatap Hayaning sejenak sebelum akhirnya tersenyum tipis. "Bukankah alasannya karena mending ibu Nona?" ucapnya. "Jadi, ayo kita manfaatkan kesempatan ini."
Hayaning terdiam seperkian detik, ia mer*mas tangannya tanpa Ben sadari lalu akhirnya mengambil jeda untuk menarik napas dalam-dalam. "Baiklah, ayo kita pergi."
Ben segera membawanya keluar menuju mobil yang sudah disiapkan. Ia membukakan pintu untuk Hayaning, memastikan kenyamanannya sebelum masuk ke kursi kemudi.
Hayaning termenung sejenak, ia tak kunjung masuk kedalam mobil.
"Nona, ada apa?"
"Benji, mungkin aku terlalu keterlaluan, tapi apa boleh kita berangkat menggunakan kendaraan bermotor?"
Ben menarik sebelah alisnya. "Nona sangat ingin?"
Haya mengangguk pelan, "tapi ... Bolehkah itu motor gede mu, aku sangat ingin merasakan bagaimana naik motor besar mu itu Ben."
Bibir Ben tertarik membentuk senyum samar. "Nona sekali lagi, sungguh yakin? Angin di jalanan cukup kencang dan perjalanan kita akan cukup jauh."
Hayaning mengangguk mantap, sorot matanya penuh dengan antusias. "Aku ingin merasakannya, Ben. Aku ingin tahu bagaimana rasanya berada di jalan dengan angin menerpa wajahku, bukan hanya terkurung dalam mobil yang nyaman."
Ben menghela napas pelan, lalu mengangguk. "Baik, kalau itu yang Nona inginkan. Nona bisa tunggu saya disini sebab saya harus mengambil motor saya di paviliun belakang."
Hayaning mengangguk dengan senyum yang semakin lebar. "Aku akan menunggu, Ben," jawabnya dengan semangat yang tampak jelas.
Ben melangkah cepat menuju paviliun belakang. Dalam beberapa menit, suara mesin motor besar terdengar menderu, memecah kesunyian halaman rumah utama. Ben muncul kembali, mengendarai motor gedenya dan berhenti ketika sampai ditengah halaman.
Ia turun, lalu menyerahkannya helm lain pada Hayaning. "Silahkan dipakai, Nona,"
Hayaning menerima helm itu dan memakainya, namun tentu saja ia tak tahu cara memasangnya bagaimana.
"Biarkan saya yang bantu," kata Ben dengan nada lembut, sambil mendekat untuk membantu memasangkan helm dengan hati-hati di kepala Hayaning.
Hayaning menatap Ben sesaat, merasakan kehangatan dari sentuhan lembutnya saat helm dipasang dengan tepat. "Terima kasih, Ben," ucapnya, suaranya sedikit bergetar, meskipun ia berusaha terlihat tenang.
Ben hanya mengangguk, lalu memastikan helm terpasang dengan sempurna. "Sudah nyaman?"
"Iya, cukup nyaman."
"Kalau begitu, ayo kita berangkat."
Hayaning mengangguk pelan, mengikuti langkah Ben menuju motor besar yang sudah berada ditengah halaman. Begitu Ben duduk di atas motor, ia menoleh ke arah Hayaning yang masih berdiri ragu di sampingnya. "Nona, naiklah. Pegangan yang erat, oke?"
Sedikit ragu, Hayaning akhirnya menaiki motor dengan gerakan hati-hati. Begitu duduk di belakang Ben, ia menggenggam bagian belakang jok motor, merasa canggung untuk langsung memeluk t*buh pria itu.
Ben yang menyadari keraguan itu hanya tersenyum samar. "Jangan khawatir. Saya tidak akan ngebut."
"Ah—iya."
Ben menghela napas, lalu menyalakan mesin motor yang langsung meraung halus. "Santai saja. Nona akan menikmati perjalanan ini," katanya sebelum menarik gas perlahan dan mulai melaju meninggalkan halaman rumah.
Angin mulai menerpa wajah Hayaning, dan meskipun awalnya ia merasa gugup, perlahan ia mulai menikmati sensasi kebebasan yang selama ini tak pernah ia rasakan. Ketika sudah jauh dari area rumahnya ia mulai merapatkan diri dan memeluk pinggang Ben dengan sedikit ragu-ragu. Awalnya hanya sekadar menempel ringan, namun saat motor melewati jalanan yang sedikit bergelombang, genggamannya semakin erat.
"Baik-baik saja di belakang, Nona?" tanya Ben, suaranya terdengar melalui interkom di helm mereka.
Hayaning tersenyum, meskipun Ben tak bisa melihatnya. "Ya, aku baik-baik saja," jawabnya, suaranya terdengar lebih santai.
Ben hanya tersenyum tipis, sedikit mempercepat laju motor menuju tempat yang sudah ia pikirkan—tempat yang tenang dan jauh dari keramaian, persis seperti yang diinginkan Hayaning.
Haya tak dapat menahan bahagia ketika ia dapat merasakan hangat t"buh Benjamin.
Di sepanjang jalan, mata Hayaning enggan berkedip. Deretan pepohonan yang berlarian di sisi jalan, langit siang yang menggantung biru diliputi awan tebal dengan matahari yang tak terlalu terik, serta semilir angin yang mengusap wajahnya membawa sensasi yang begitu asing, namun mendebarkan untuk pertama kalinya.
Hayaning menyandarkan kepalanya perlahan dengan posisi menyamping ke kanan dipunggung Ben, tanpa ia sadari Kedua tangannya semakin erat memeluk perut Ben. Sang empu juga merasakan s*ntuhan berbeda dari Hayaning, namun ia tak memprotes. Membiarkan Haya menikmati keindahan yang baru pertama kali dirasakannya.
•••
Mereka sampai di sebuah vila yang tersembunyi di antara perbukitan hijau. Udara di sana terasa sejuk, dengan aroma pepohonan pinus yang khas memenuhi rongga pernapasan. Di kejauhan, suara gemuruh air terjun terdengar lembut, berpadu dengan kicauan burung yang berterbangan di sekitar.
Hayaning turun dari motor dengan mata berbinar, terpana oleh keindahan tempat itu. Vila bergaya klasik dengan dinding batu alam dan jendela besar yang menghadap langsung ke lembah, memberikan pemandangan yang begitu memanjakan mata.
"Ini... luar biasa, Ben," ucap Hayaning lirih, suaranya dipenuhi kekaguman.
Ben melepas helmnya dan tersenyum. "Selamat datang di tempat favorit saya, Nona. Di sini, tidak ada yang akan mengganggu Nona. Hanya ada ketenangan dan alam."
Hayaning berjalan pelan menuju pagar balkon vila, menatap air terjun yang jatuh dengan anggun ke dalam sungai kecil di bawahnya. Percikan air yang memantul ditimpa sinar matahari menciptakan pelangi tipis yang tampak begitu magis di matanya.
"Kamu sering ke sini?" tanyanya tanpa berpaling.
Ben mengangguk, melipat kedua tangannya di dada. "Ini adalah bekas peninggalan keluarga saya yang amat berharga." Jawabnya dengan suara yang terdengar berat oleh Hayaning.
Haya menoleh kearah Ben, angin lembut menerpa rambutnya, membuat beberapa helai berantakan di wajahnya. "Jadi begitu," Haya tak sangka ia akan dibawa ketempat favorit pria itu. "Aku suka tempat ini, Ben. Terima kasih sudah membawaku ke sini." Senyuman cantik terbit dari wajah Haya, membuat Ben tertegun dalam waktu lama.
Ia mendekat kearah Haya dengan langkah yang seakan terdorong dengan sendirinya, sebab bagaikan ada magnet yang menariknya.
"Cantik sekali, ini cantik sekali." Kata Haya berbinar-binar.
"Ya, cantik..." Tapi ia tak lepas menatap Haya.
Hayaning menoleh, ia mengernyit samar, menyadari tatapan Ben yang tak berpaling darinya. "Ben?" panggilnya pelan, suara lembutnya seakan menjadi angin yang membuyarkan lamunan pria itu.
Ben tersentak, menyadari ucapannya barusan. Ia mengalihkan pandangannya dengan cepat, berpura-pura menatap air terjun di depan mereka. "Cantik, ya cantik sekali air terjunnya."
Haya tak ingin salah mengira, memang benar air terjun ini amat cantik. Ben bukan memandangnya seperti yang Haya inginkan, dan Itu yang ia yakini.
"Aku sangat menyukainya, Benji. Terimakasih sudah membawaku kesini."
Ben meliriknya sekilas, lalu tersenyum tipis. "Kalau Nona menyukainya, kapan pun ingin ke sini, saya bisa membawa Nona kembali."
Hayaning tersenyum lebar, angin kembali menerbangkan beberapa helai rambut di wajahnya. "Ben," ia menoleh dengan tatapan berbinar. "Boleh aku turun lebih dekat ke air terjun?"
Ben menatap jalan setapak berbatu yang mengarah ke sungai kecil di bawah. Ia menghela napas sebelum akhirnya mengangguk. "Boleh, tapi hati-hati. Pegang tangan saya kalau perlu."
Tanpa ragu, Hayaning mengulurkan tangannya, dan Ben menyambutnya dengan erat. Mereka mulai menuruni jalan setapak dengan hati-hati.
Saat mereka semakin mendekat ke tepian sungai, percikan air menyentuh kulit mereka dengan lembut. Hayaning tersenyum kecil, matanya berbinar saat melihat betapa jernihnya air yang mengalir, memantulkan cahaya matahari yang menyusup di antara pepohonan.
"Ben, lihat ini..." katanya, suaranya penuh dengan kekaguman saat ia berjongkok hati-hati sambil merapatkan gaunnya agar tak kebasahan. Lalu mulai mencoba merendam ujung jarinya ke dalam air yang dingin. "Rasanya seperti... Kepalaku ringan."
"Bukan seperti itu, Nona." Ben ikut berjongkok, meraup air jernih ke dalam genggamannya, lalu membiarkannya menetes perlahan hingga tangannya basah. Ia mendekat, lalu dengan lembut mengusap wajah Hayaning dengan lembut.
"Bagaimana rasanya, Nona?"
Haya sedikit terkejut dengan gerakan tiba-tiba Ben yang menyentuh wajahnya, sebab ada sensasi aneh yang bergetar dalam t*buhnya. "Ah ya, sangat segar, kepalaku terasa ringan." Ucapnya dengan malu-malu. "Sepertinya aku ingin berendam, tetapi... aku tak membawa baju ganti. Lagipula... aku tidak bisa berenang." Lanjutnya sembari mengeluh.
Ben membantu Haya untuk berdiri seraya berkata. "Lagipula saya tidak mengizinkan Nona,"
Hayaning mengerutkan keningnya, "Mengapa?"
"Air terjun ini dalam sekali sebenarnya. Lebih baik kita nikmati pemandangan nya dari atas saja."
Hayaning paham, maka ia menurut saja.
Sampai diatas, Ben membawanya menuju kedalaman vila, ketika ia membuka pintu suasana nostalgia kembali menghampiri isi kepala Ben, namun tak berselang lama sebab bukan gayanya larut pada yang lalu.
"Apa ada orang yang membersihkannya setiap hari?" Tanya Haya, karena sangat tak mungkin akan sebersih sekelihatnya jika tak ada yang merawat.
"Ada, saya memperkerjakan seseorang untuk membersihkan vila ini." Jawab Ben.
"Pantas saja," gumam Hayaning.
"Duduklah Nona, saya buatkan sesuatu,"
"Eh, juga ada bahan-bahan makanan?" Hayaning kembali speechless.
Ben tersenyum tipis, "Sebelum kemari, saya meminta seseorang untuk mengisi persediaan di sini. Jadi, semuanya sudah siap."
Hayaning mengangguk paham, lalu duduk di kursi kayu dekat jendela besar yang menghadap ke arah air terjun.
Sementara Ben melangkah menuju dapur yang terbuka, suara langkahnya terdengar ringan di lantai kayu yang dipoles rapi. "Nona mau teh atau kopi?" tanyanya sambil membuka lemari dapur.
"Teh saja, yang hangat," jawab Hayaning.
Ben mengangguk dan mulai menyiapkan teh dengan gerakan yang terampil.
"How do you feel, Nona?" suara Ben menyadarkannya dari lamunannya. Ia berjalan mendekat dengan secangkir teh di tangannya, menyodorkannya pada Hayaning.
Hayaning tersenyum tipis saat menerima cangkir itu, uap hangatnya menyentuh wajahnya dengan lembut. "Lebih baik, sangat tenang," katanya, sembari menyesap teh perlahan.
ZRASH...
Suara petir tiba-tiba menggelegar, memecah keheningan yang sebelumnya begitu menenangkan. Hayaning terlonjak kaget, cangkir di tangannya bergoyang dan teh hangat pun tumpah mengenai jemarinya.
"Ah!" serunya lirih, menahan panas yang meny*ntuh kulitnya.
Ben yang tengah duduk di seberang segera berdiri dan menghampirinya dengan ekspresi khawatir. "Nona baik-baik saja?" Tanpa menunggu jawaban, ia meraih tangan Hayaning dengan lembut, memeriksanya dengan seksama.
"Aku... aku hanya terkejut," jawab Haya pelan.
Ben menarik napas lega, lalu mengambil serbet bersih dari meja dan dengan hati-hati mengeringkan sisa teh di tangan Hayaning. "Nona harus lebih berhati-hati. Hujan mungkin akan segera turun," ujarnya sambil melirik ke luar jendela, di mana awan kelabu mulai menggantung berat di langit.
Hayaning menatap jendela dengan perasaan campur aduk. "Aku tidak menyangka cuaca bisa berubah secepat ini. Tadi masih cerah."
Ben mengangguk, masih menggenggam tangannya tanpa sadar. "Di sini memang seperti itu. Cepat berubah, sepertinya kita akan pulang terlambat Nona."
Hayaning tak masalah, selama itu bersama Ben, maka ia tak mempermasalahkan.
"Aku tak berkeinginan untuk pulang cepat, disini terlalu nyaman jadi...apa boleh menginap satu hari saja?"
Ben menatap Hayaning dengan sorot mata yang sulit ditebak. Hening sesaat, hanya suara rintik hujan yang menjadi latar belakang percakapan mereka.
"Nona yakin ingin menginap di sini?" tanyanya akhirnya.
Hayaning mengangguk pelan, tatapannya kembali beralih ke luar jendela. "Aku jarang sekali merasakan ketenangan seperti ini, Ben. Rasanya... menyenangkan," ucapnya lirih. "Aku ingin menikmatinya lebih lama."
Ben menghela napas pelan, lalu mengangguk. "Baiklah, Nona. Saya akan memberi tahu Pak Brata mengenai hal ini."
Hayaning tersenyum tipis, senang karena Ben tidak menolak permintaannya. "Terima kasih, Ben."
"Saya akan menyiapkan kamar untuk Nona," ujar Ben sebelum berbalik untuk beranjak, tetapi suara lembut Hayaning menghentikan langkahnya.
"Ben..."
Pria itu menoleh, menatapnya dengan sabar.
"Terimakasih,"
Ben tersenyum samar. "Sama-sama Nona."
Hayaning tersenyum lega, sementara Ben tidak berkata banyak lagi, hanya melanjutkan langkahnya menuju salah satu kamar di vila yang selalu ia siapkan untuk dirinya sendiri.