"Apa kamu sudah menemukan informasi tentangnya, Jackson?"
"Sudah, Kak. Aku yakin dia adalah dady kita."
Dua bocah laki-laki berusia 7 tahun itu kini menatap ke arah layar komputer mereka bersama-sama. Mereka melihat foto seorang Pria dengan tatapan datar dan dingin. Namun, dia memiliki wajah yang sangat tampan rupawan.
"Jarret, Jackson apa yang kalian lakukan?" Tiba-tiba suara seseorang membuat kedua bocah itu tersentak kaget.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon emmarisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7. Giani Resign
Keberangkatan Giani ke Sidney sudah tiba. Besok pukul 8 pagi waktu Australia, Giani akan berangkat lewat jalur darat. Meskipun berkali-kali papanya memaksa untuk naik pesawat. Giani lagi-lagi berhasil meyakinkan papanya. Dia ingin menikmati waktu perjalanannya hingga tiba ke Sidney dan seperti biasanya, Gilbert akan selalu kalah dengan putrinya yang keras kepala itu.
"Kau jadi mengantar surat resignmu?"
"Tentu saja, Pah. Aku akan ke Laboratorium SOS nanti agak siang."
"Baiklah, papa harap kamu selalu waspada pada orang baru. Kau jarang bersosialisasi, papa khawatir kau akan mengalami kesulitan di sana."
"Trust me, Dad. Aku lebih dari bisa menjaga diriku sendiri." Giani tersenyum lembut ke arah papanya. Jangan sampai dia menunjukkan wajah sedihnya pada sang papa. Atau pria itu akan semakin menahannya.
Gilbert berangkat lebih dulu ke laboratorium. Giani hari ini berniat memeriksakan kehamilannya. Dia ingin melihat makhluk seperti apa yang saat ini bertumbuh di dalam rahimnya. Perlahan Giani mengusap perutnya yang menyembul. Dia merasa aneh, karena menurut buku yang dia baca seharusnya perutnya tak sebesar sekarang ini.
"Semoga kau baik-baik saja. Mulai hari ini mari kita berteman. Aku akan berusaha menjadi ibu yang baik untukmu dan aku harap kelak kau juga baik padaku. Karena hanya kau dan papa keluargaku," ujar Giani sembari menatap ke arah perutnya seakan janin yang tumbuh di perutnya dapat mendengar ucapannya.
Giani mendatangi sebuah rumah sakit, dia sudah membuat janji dengan seorang dokter kandungan. Perempuan itu langsung masuk setelah kembali mengkonfirmasi janji temunya.
"Halo, selamat pagi, Nona. Apa ada yang bisa ku bantu?"
"Aku ingin memeriksakan kandunganku, Dokter."
"Oh, Baiklah. Silahkan berbaring dulu."
"Apa sebelumnya nona pernah memeriksakan kandungannya?"
"Belum dokter, ini baru pertama kali."
Ok, baiklah," kata dokter itu dengan lembut.
"Lihat, ini janin anda. Wah ada dua rupanya. Pantas saja perutnya sebesar ini."
"Apa nona ingat hari pertama menstruasi terakhir kali?"
"Ingat, Dokter. Sekitar tanggal 18 bulan Maret."
"Berati ini usia kandungan anda sudah menginjak 14 minggu 4 hari."
Giani hanya mengangguk. Entah harus senang atau sedih? Kini dalam tubuhnya tumbuh dua nyawa sekaligus. Giani tak tahu harus berbagi pada siapa untuk mengabarkan kehamilan kembar anaknya.
"Dokter, besok saya akan melakukan perjalanan jalur darat ke Sidney. Apakah tidak masalah?"
"Tentu tidak masalah, tapi kalau untuk perjalanan jalur udara, sebaiknya menunggu usia kandungan 4 bulan lebih, apalagi anda hamil bayi kembar."
"Oh, baiklah. Terima kasih, Dokter."
"Aku akan meresepkan beberapa vitamin untuk mendukung perkembangan kedua bayimu." Giani mengangguk tiap mendengar penuturan dokter Samantha. Dokter yang mungkin usianya hampir sama dengan papa Giani.
Usai dari dokter, Giani segera menuju ke Laboratorium SOS. Tempat di mana Giani mencari uang selama 2 tahun terakhir ini.
Beruntung selama ini Giani jarang memakai uang gajinya sehingga Giani yakin jika dirinya pasti bisa menghidupi kedua anaknya.
Giani langsung menuju ruangan Ramos. Saat itu asisten Ben itu sedang memanggil salah seorang pekerja yang kedapatan berlaku curang. Giani mengetuk pintu ruangan Ramos yang tak tertutup sempurna, tapi tiba-tiba tubuhnya ditarik dari belakang oleh seseorang.
Giani mendongak dan terkejut. "Tu-tuan Ben.".
"Apa yang kau lakukan di sini. Apa kau mata-mata?" Ben memandangi wajah Giani yang tampak sedikit berisi. Namun, bukannya membuat gadis itu tampak aneh, tapi Giani semakin terlihat cantik di mata pria itu.
"Tidak, bukan begitu. A-aku hanya ingin mengantar surat resignku. Maaf aku tidak ada niatan untuk mengintip ruangan tuan Ramos.
"Resign?"
"Ya, Tuan. Saya ingin melanjutkan pendidikan saya di Sidney."
"Sidney?" Giani hanya mengangguk. Jantungnya mulai berdebar tak karuan. Hembusan hangat napas Ben menerpa kulit wajah Giani. Tubuh mereka hampir merapat. Namun, tangan Giani menahan dada atasannya itu. Jangan sampai kedua janinnya terhimpit karena Ben terus merangsek mendekati Giani.
"Berikan surat resignmu padaku." Giani segera mengambil surat resignnya dan menyerahkannya pada Ben. Ben tersenyum tipis menatap Giani. Tinggi Giani hanya sebatas dagu Ben. Ben dapat mencium aroma lembut shampoo yang menguar dari rambut Giani. Ingatannya kembali terlempar pada kejadian 3 bulan yang lalu.
"Sial." Rutuk Ben saat merasa inti tubuhnya menegang karena mengingat kejadian malam itu.
"Ya, Tuan. Anda mengatakan sesuatu?"
"Tidak. Jika sudah tidak ada keperluan pergilah. Nanti gaji terakhirmu akan dikirim ke rekeningmu."
"Baik, Tuan. Terima kasih."
Giani segera pergi dari hadapan Ben. Pria itu sempat tersenyum sekilas. Namun, setelah Giani menghilang dari pandangan Ben. Senyum pria itu sirna berganti dengan wajah evilnya. Dia masuk ke ruangan Ramos dan mengunci pintu ruangan asistennya. Tak lama setelah Ben masuk ruangan Ramos. terdengar suara pekikan seseorang yang begitu menyayat hati.
Ben duduk di sofa sementara 3 orang anak buahnya sedang membereskan kekacauan yang dibuat oleh atasannya itu.
"Lain kali tutup pintumu rapat-rapat. Jangan ceroboh."
"Maaf, Tuan," ucap Ramos.
Ben menyerahkan surat resign Giani pada Ramos. "Kau urus dia. Berikan juga kompensasi padanya atas apa yang telah terjadi 3 bulan yang lalu."
"Ya, Tuan."
Ben sebenarnya masih penasaran, apa sebegitu buruknya benih milihnya, sampai-sampai benih yang dia tanam tak menghasilkan bibit apa-apa.
Berkali-kali Ben mendesah berat. Ramos melirik atasannya lewat ekor matanya. Entah apa yang sedang atasannya pikirkan. Sejak kejadian malam 3 bulan yang lalu, tuannya sedikit aneh menurut Ramos.
"Saya harus memberinya berapa, Tuan?"
"Kirimkan saja 1juta dollar."
"Apa anda serius? Bagaimana kalau nona Giani curiga."
"Biarkan saja. Toh dia tidak akan kemari hanya sekedar untuk menanyakan perihal uang itu." tutur Ben sembari memijat pelipisnya.
Ramos kembali mengetik sesuatu lewat laptopnya, Sementara Ben sepertinya terlelap di sofa milik asistennya itu. Ramos hanya membiarkan saja apa yang dilakukan oleh atasannya itu. Dia tahu betul bagaimana Atasannya itu telah bekerja keras selama ini. Terlebih beberapa hari belakangan ada sekelompok mafia baru, yang berniat menghancurkan Ben.
"Ramos, tuan Rodrigues meminta senjata baru. Dia sudah mengirim pesan beberapa hari yang lalu, tapi aku belum memberikan feedback. Aku ingin memproduksi massal senjata itu tapi aku khawatir banyak yang akan menyalahgunakan senjata itu. Kita tidak tahu dengan siapa tuan Rodrigues bekerja sama. Bisa saja dia mengembangkan lagi senjata yang telah kita buat."
Ramos hanya diam, Dia tahu saat ini Ben sebenarnya dilema. Mungkin jika pemesannya adalah para petinggi militer, Dia tidak akan terlalu berpikiran buruk, tapi pelanggan yang bernama Rodrigues itu ternyata memiliki pabrik senjata ilegal dan malangnya hal itu baru ketahuan belakangan ini."