Ryan merasa istrinya berubah setelah kepulangannya dari luar kota. Diana yang biasanya pendiam dan lugu, kini dia berubah menjadi sosok yang sedikit berani.
Ryan tidak tahu bahwa istrinya yang sesungguhnya telah meninggal dunia, di bunuh orang tuanya sendiri.
Lantas siapa sosok Diana palsu yang sengaja masuk ke dalam kehidupan Ryan? Dan apakah tujuannya berpura-pura menjadi istrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon meliani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Firasat
Bab 7
Prankkk!
Gelas terjatuh dari tangan Ryan dan pecah pada saat pria itu tengah meneguk minumannya.
“Kok bisa jatuh?” Ryan bergumam. Ah, bukan itu saja. Perasaannya juga mendadak tidak enak. Seperti ada yang aneh dalam hatinya, serupa orang yang baru saja kehilangan sesuatu. Tetapi Ryan tidak paham apa penyebabnya.
“Maaf, saya nggak sengaja,” ujarnya lagi menatap semua orang di sana dengan sangat tidak enak hati.
“Tidak apa-apa Pak Ryan. Hanya kecelakaan kecil. Biar saya panggilkan waiters untuk membersihkannya,” sahut klien yang duduk di depannya. Dan yang lain pun sangat memaklumi hal ini bisa saja terjadi—sebab mungkin, Ryan tidak berhati-hati saat memegang gagang gelasnya.
Perlu diketahui, Ryan dan beberapa orang tengah melakukan meeting bersama di suatu tempat, sehingga Ryan tidak membunyikan nada deringnya lantaran takut mengganggu jalannya acara.
“Untung bajunya nggak kena kopi, bisa malu saya.” Ryan mensyukuri keberuntungannya.
“Ya, ada yang bisa dibantu, Pak?” seorang waiters datang setelah dipanggil.
“Tolong bersihkan pecahan gelas ini. Berapa kerugiannya silakan di catat saja di bill, nanti kami bayar,” balas Ryan.
“Baik, Pak,” balasnya.
Beberapa menit setelah bersih, meeting pun di lanjutkan.
“Maaf atas ketidaknyamanannya, Pak.” Ryan mengatupkan tangannya kepada semua orang.
“Santai saja Pak Ryan. Baik, kita lanjutkan lagi. Tadi sampai di mana?” seseorang kembali membuka dokumen untuk melanjutkan permasalahan yang tadi mereka bahas. Sehingga saat pembahasan ini sudah final, mereka pun mengakhiri rapat dan membubarkan diri.
Ryan berencana ke Bali hari ini juga untuk mengunjungi lokasi proyek yang sedang mereka jalankan. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk terlebih dahulu pulang ke rumah untuk berpamitan, serta mengambil barang-barang yang dibutuhkan untuk menginap di sana beberapa hari.
Dan pada saat berhenti di lampu merah, Ryan menyempatkan diri untuk membuka ponselnya. Di layar, dia mendapati panggilan masuk dari Sang Istri, Diana. Sebanyak lima kali.
“Tumben siang-siang telepon. Biasanya enggak.”
Di dera rasa penasaran membuat Ryan segera menghubunginya kembali. Panggilan pertama memang nyambung, tetapi tidak kunjung di angkat. Panggilan ke dua pun dilakukan. Namun kali ini malah di reject, kemudian dimatikan ponselnya.
“Kenapa malah di reject, Di? Kamu ngambek gara-gara aku cuekin teleponnya, ya?”
Beberapa menit berlalu, akhirnya Ryan sampai di rumah. Tidak ada yang mencurigakan di sana kala itu. Semua yang terlihat baik-baik saja di matanya. Sampai akhirnya, dia bertemu dengan sang ibu yang menemuinya di ruang tamu.
“Tumben pulangnya cepet, Nak. Nggak terlalu sibukkah, hari ini?” tanya wanita tua itu merangkul anaknya masuk ke dalam.
“Justru itu, Bu. Aku mau berangkatke Bali sore ini, jadi Ryan buru-buru pulang untuk mengambil pakaian.”
“Lho, kok kedengarannya mendadak?” dia bertanya lagi.
“Iya, ada sedikit problem di sana. Jadi Ryan perlu cek,” jawab Ryan tak terlalu peduli karena dia mencari-cari Diana yang tak kunjung terlihat di depan matanya. “Diana mana, Bu? Di kamarnya?”
“Lho, memangnya nggak pamit sama kamu?” Nurul bertanya balik.
“Pamit?” Ryan terkejut mendengar pengaduan seperti itu. “Pamit ke mana?”
“Mana Ibu tahu. Diana Cuma bilang pergi sebentar sama Yuni. Tapi sampai sekarang herannya belum balik lagi. Ibu pikir istrimu udah pamit sama kamu, Nak. Dia itu kebiasaan kalau siang suka kelayapan!”
“Kelayapan?” Ryan setengah tak percaya dengan aduan semacam itu. Ia tahu istrinya adalah anak rumahan dan tidak begitu tahu dunia luar. Jadi, mana mungkin? Begitu pikirnya. “Tadi Diana sempat nelepon, tapi nggak kuangkat karena lagi meeting,” sambungnya lagi.
“Oh ....” wajah kepura-puraan wanita tua itu sebenarnya tampak jelas, namun Ryan tak menyadarinya karena sedang memandang ke arah lain.
“Padahal aku mau berangkat sekarang.” Terang saja Ryan gelisah. Dia tidak bisa pergi jauh tanpa melihat istrinya terlebih dahulu. Terlebih saat ini, dia akan pergi ke luar pulau. Bahkan sudah dipastikan akan menginap. Mungkin tiga atau sampai empat hari lamanya.
“Coba kamu telepon dia,” kata Nurul menyarankan demikian. Padahal kini ponsel Diana ada padanya. Dia sembunyikan di suatu tempat dan dia buang nomornya ke tong sampah.
“Tadi di jalan Ryan udah sempat nelepon Diana juga, tapi nggak aktif,” jawab Ryan.
“Coba kamu telepon lagi!”
Ryan menggelengkan kepalanya saat dia berhenti menghentikan panggilan. Sebab hasilnya sama seperti tadi. Tidak aktif.
“Apa perlu Ibu suruh Pak Erik buat nyari istrimu?”
“Mau nyari ke mana? Emangnya Pak Erik tahu Diana lagi pergi ke mana, Bu?” kata Ryan tak habis pikir. Memangnya kota Jakarta itu hanya selebar daun kelor?
“Ya, barangkali mereka lagi shopping di Mall. Kan, bisa aja.”
“Diana itu nggak suka belanja,” tegas Ryan berlalu ke kamarnya sendiri. Hatinya kacau tak karuan. Sungguh, sebenarnya dia tidak bisa pergi dalam keadaan begini rupa.
“Semarah itukah kamu gara-gara aku nggak sempat angkat teleponmu, Di?” batin Ryan bertanya-tanya. “Masalahnya sekarang aku mau pergi ....”
Ryan terduduk di atas ranjang dalam kebingungan. Hembusan napas kasar terdengar dari hidung pria itu. Tanpa semangat, pria itu memasukkan baju-bajunya ke dalam koper, lalu menuliskan sesuatu di kertas dan dia tinggalkan untuk istrinya.
Sayang ....
Saat kamu baca surat ini, mungkin aku sudah berada di pesawat. Aku terbang ke Bali karena ada urusan penting yang harus aku selesaikan. Ini urgent. Maaf kalau aku pergi secara mendadak begini dan nggak bisa nungguin sampai kamu pulang. Tiket udah dipesan dan nggak bisa dibatalin.
Lagian kamu sih, pakai acara ngambek segala. Ya, mungkin kamu marah karena aku nggak sempat ngangkat teleponmu. Tadi aku lagi meeting, Sayang. Jadi aku matiin nada deringnya supaya nggak mengganggu konsentrasi kami. Soalnya hp aku suka berisik.
Tapi biarpun kamu lagi dalam mode ngambek, aku tetep cinta, kok.
Nanti kamu hubungi aku, ya. Biar aku tahu kapan kamu pulang. I love you, Di.
Demikian yang Ryan tulis sebelum akhirnya mengudara ke Pulau Bali. Bersama kerabat-kerabatnya.
Pria itu tidak tahu bahwa istrinya sedang berada di penghujung hidupnya. Sendiri di suatu tempat, kedinginan dan kesakitan.
“Allahuakbar, Allahuakbar ...” bibir itu berulang kali mengucap asma Allah dengan bibir gemetar. Di tengah-tengah sungai besar yang mengalir deras. “Ya Allah, jika ini adalah akhir hidupku, aku mohon berilah akhir yang baik.”
Napas Diana semakin sesak. Dia sudah tak sanggup lagi berjuang untuk berenang ke tepian. Tenaganya sudah habis terkuras. Pun dengan tubuhnya yang sudah banyak kehilangan darah karena terdapat luka di beberapa bagian. Masih teringat dalam benaknya betapa kedua manusia laknat itu berusaha menghabisi nyawanya—berapa kali pun dia memohon ampun.
Air semakin banyak masuk ke dalam hidungnya. Perlahan Diana memejamkan mata. Memasrahkan semuanya pada Sang Kuasa apa yang sudah menjadi takdir hidupnya. Jika memang dia harus selesai sampai di sini.