follow Ig : dhee.author
Mungkin ini tidak sepantasnya. Tapi apa daya kalau Mika terlanjur dibuat nyaman oleh kakak iparnya sendiri.
Sedangkan lelaki yang dia sebut suami, dia lebih mementingkan wanita lain ketimbang dirinya.
Nalurinya sebagai perempuan yang haus akan perhatian sudah terpenuhi oleh kakak iparnya, Gavin.
Hingga perlahan cinta itu tumbuh dan tak bisa dicegah lagi. Rasa ingin memiliki itu begitu kuat. Sekuat rintangan yang harus mereka lalui agar bisa bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhessy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 7
Sebuah buket coklat berada di atas meja Mikha. Mikha yang baru saja datang pun sudah diajak bermain teka-teki. Siapa yang menaruh coklat tersebut di atas mejanya?
(Pict dari pinterest)
Dari penggemar rahasia, ya? Ah, siapa gue sampai ada penggemar rahasia segala?
Terus siapa, dong? Karyawan di sini? Nggak ada yang kenal dekat.
Nggak mungkin juga ini dari Gilang.
Atau ini dari Kak_
"Kamu dah datang, Kha?"
Mikha menoleh saat mendengar suara Gavin. Dia datang membuyarkan lamunan Mikha yang sibuk memikirkan siapa pemberi coklat tersebut.
"Suka coklatnya nggak?"
"Hah? Oh, ini dari Kak Gavin?"
Gavin mengangguk mengiyakan. "Jadi adiknya temanku sedang mencoba membuka usaha dengan jasa pembuatan buket. Dan iseng cobain. Syukurlah kalau kamu suka."
Raut wajah Mikha yang semula sedikit senang berubah menjadi sedikit kesal. Dia letakkan kembali buket tersebut ke atas meja. "Oh, cuma iseng. Makasih, ya," ucapnya menahan kekesalan.
Tadinya dia sempat bahagia bisa mendapatkan coklat itu. Tapi tiba-tiba merasa kesal sendiri saat Gavin mengatakan kalau itu hanya iseng saja.
"Kenapa?"
Mikha menggeleng. "Enggak ada. Jadwal Kak Gavin jam sepuluh meeting dengan kolega dari Malaysia," ujar Mikha dengan memfokuskan pandangannya pada buku agenda yang sudah tertulis jadwal Gavin hingga satu bulan ke depan.
Gavin yang menyadari perubahan Mikha pun tersenyum kecil. Bukan dia tidak menyadari kesalahannya. Tapi baginya, melihat wajah Mikha yang terlihat kesal adalah hal yang menyenangkan. Mikha semakin terlihat menggemaskan dengan bibirnya yang cemberut. Serta ucapannya yang sedikit judes.
Ah, rupanya Gavin tak bisa melupakan kekagumannya pada gadis tapi istri orang itu. Usianya tujuh tahun dibawahnya. Tapi itu tak mengurangi rasa yang perlahan tumbuh di dalam hatinya.
"Kak Gavin masih ada yang mau dibicarakan? Kalau enggak mending kak Gavin pergi dari sini."
"Nggak sopan kamu ngusir yang punya kantor."
Mendengarnya, Mikha menghela napas dengan kasar. "Ya sudah. Terserah Kak Gavin mau di mana," ujarnya mengalah.
Gavin segera memposisikan diri. Duduk di kursi yang ada di depan meja Mikha. Dia menatap lekat Mikha yang Gavin tahu Mikha sedang berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaannya.
Buktinya, berkali-kali Mikha melirik Gavin dan akan salah tingkah jika pandangan mereka bertemu.
"Kak Gavin kalau kakak nggak mau balik ke ruangan kakak, mending aku aja yang duduk di kursi kakak. Kakak yang gantian di sini."
"Boleh. Silahkan. Siapa tau suatu saat nanti kursi itu akan jadi milik kamu juga."
Mikha terdiam. Tangannya berhenti menulis setelah mendengar ucapan Gavin yang terdengar ambigu.
"Oh, aamiin, deh. Semoga suatu saat aku bisa beli perusahaan ini terus duduk di kursi Kak Gavin itu, ya."
Gavin tertawa kecil. "Aamiin. Dan aamiin juga untuk semoga-semoga yang lain. Titip aamiinku untuk setiap doamu. Untuk setiap hal yang kamu semogakan," balasnya membuat Mikha semakin bingung.
"Dia ngomong apa, sih? Nggak jelas," ujar Mikha pelan saat Gavin sudah meninggalkan ruangan Mikha.
***
"Mikha?"
Mikha membelalakkan matanya melihat sosok yang berdiri di hadapannya. Hal ini tidak pernah dia pikirkan sebelumnya meskipun dia sudah menyiapkan serangkaian pertanyaan yang sudah pasti akan diberikan untuknya.
"Ma? H-hai, Mama. Apa kabar?" sapa Mikha dengan terbata. Jantungnya sudah berdegup kencang. Berusaha menyiapkan dengan rapi bait demi bait yang telah dia susun di dalam otaknya.
"Mama baik, Sayang. Kenapa ada di sini?"
Mikha tersenyum tipis. "Em, Mikha magang di sini, Ma?"
"Beneran?" Reaksi Yunita pun tak kalah terkejutnya.
Mikha mengangguk membenarkan.
"Kenapa di sini?"
"Waktu itu kepepet, sih, Ma. Waktunya udah mepet buat cari tempat magang."
"Kan, ada kantor Gilang kalau memang kepepet."
Sekali lagi Mikha mengulas senyum canggung sekaligus gugup. "Kan, kemarin kita udah ngomong, Ma, kenapa aku nggak mau di tempat Gilang. Eh, maksudku Kak Gilang."
Yunita tertawa kecil dan menggelengkan kepalanya. "Sesekali juga nggak apa-apa, kan?"
"Kalau kak Gilang, sih, nggak bisa, Ma, kalau cuma sekali."
"Beneran?" Yunita membelalakkan matanya.
Rasanya Mikha ingin menampar bibirnya sendiri. Kalau bukan karena sandiwaranya agar berjalan sempurna, Mikha tidak akan mau mengatakan hal yang menurutnya memalukan itu.
Mikha mengangguk tegas. "Iya, Ma. Gitu, deh."
"Ya sudah. Tapi nyaman kerja di sini?"
"Oh, nyaman, Ma."
"Gavin baik?"
"Baik banget, Ma. Meskipun banyaknya kerjaan Kak Gavin suka bikin sesak napas."
"Ngomong apa kamu?"
Gavin keluar dari ruangannya dan langsung menyela ucapan Mikha.
"Eh, enggak, Kak. Nggak ngomong apa-apa."
"Balik kerja sana!"
"Iya, Kak. Ma, aku kerja lagi, ya. Bye Mama Sayang."
Mikha mencium pipi Yunita tanpa sungkan. Baginya, Yunita sama seperti mamanya sendiri. Tak perlu canggung dan sejak awal memang mudah mengakrabkan diri.
***
Yunita duduk dengan anggun di kursi yang berseberangan dengan Gavin. Wanita berusia lima puluh tahun itu menatap anaknya lekat. Tanpa suara sejak dia mulai mendudukkan dirinya di atas kursi.
Meskipun sudah lima menit berlalu, keduanya masih saling diam tanpa sepatah kata pun terucap.
"Apa maksud kamu menerima Mikha di sini?" Yunita membuka suara.
"Dia yang datang sendiri ke sini," balas Gavin tanpa ekspresi.
"Kamu bisa menolaknya."
Gavin diam. Ya, benar. Gavin memang bisa menolaknya. Tapi Gavin tidak mau melakukannya karena memang Gavin ingin dekat dengan Mikha. Membiarkan Mikha berada dalam satu rumah dengan Gilang saja sudah membuat Gavin kepikiran siang dan malam. Mendapatkan kesempatan untuk lebih dekat dengan Mikha, tentu tidak akan dia sia-siakan.
"Kamu masih mencintainya?"
Lagi-lagi Gavin hanya diam. Tidak membenarkan ucapan Yunita, juga tidak menyangkalnya. Tanpa bertanya dan menantu jawaban dari Gavin pun sebenarnya Yunita sudah tahu apa yang ada di dalam hati Gavin. Diam-diam Gavin masih mencintai Mikha.
Gavin jatuh cinta pada Mikha saat pertama kalinya Mikha dan keluarganya datang ke rumah Anton. Sekitar delapan bulan yang lalu.
Tapi Gavin harus memendam perasaannya karena Gilang akan segera menjadi suami dari Mikha.
Saat itu, Gavin tak datang di pernikahan Mikha dan Gilang. Gavin lebih memilih menyibukkan dirinya di kantor tanpa peduli ada acara apa yang sedang digelar kedua orangtuanya.
Ketika malam harinya, Yunita masuk ke kamar Gavin dan menemukan Gavin tengah tertidur lelap dengan foto Mikha di tangannya.
Yunita kecewa, tapi tak bisa berbuat apa-apa selain meminta Gavin untuk berhenti mencintai Mikha karena Mikha adalah istri dari Gilang, adik Gavin sendiri.
"Sudah Mama bilang, Gavin. Berhenti mencintai Mikha. Dia istri adik kamu. Dan kamu sudah lihat, kan, betapa keduanya saling mencintai?"
Gavin tersenyum sinis. Menertawakan dalam hati apa yang baru saja diucapkan oleh Yunita. Tidak tahu saja kalau kemarin Mikha nangis-nangis di pelukan Gavin meminta Gavin untuk membantu Mikha berpisah dengan Gilang.
"Mama serius, Vin. Lupakan Mikha. Jangan berharap untuk bisa merebut Mikha dari Gilang."
"Kalau seandainya aku merebut Mikha dari Gilang, itu nggak akan sebanding dengan apa yang sudah Gilang renggut dari kehidupanku, Ma."
Hati Yunita bagai tertusuk pisau. Sakit rasanya melihat Gavin yang masih saja memendam lukanya sampai sekarang. "Kamu masih belum bisa melupakannya, Gavin?"
"Aku nggak akan pernah lupa, Ma."
Gavin berusaha untuk mengembalikan fokusnya dalam bekerja. Tapi kedatangan Yunita membuat moodnya hari ini berantakan. Bukan Yunita yang dia benci. Tapi pembahasan yang Yunita buka yang membuat Gavin tidak menghendaki kedatangan Yunita kali ini.
🌹🌹🌹
Pengennya sih lebih panjang dari ini, ya .. tapi idenya di bagi-bagi dulu. besok lagi insyaaallah.