Dua keluarga yang terlibat permusuhan karena kesalahpahaman mengungkap misteri dan rahasia besar didalamnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MagerNulisCerita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kecemasan Alfian
Pagi Hari di Kediaman Alfian
Aldi terbangun dengan kepala berdenyut hebat. Pusingnya seolah memukul dari dalam, sisa dari terlalu banyak menenggak minuman beralkohol semalam. Ia meringis sambil memijat pelipis, tubuhnya masih limbung.
Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka.
Glek…
“Eh, udah bangun, Sayang? Badannya gimana? Udah enakan?” Ratri masuk dengan nada lembut, meski ada kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan.
Aldi mengusap wajah. “Udah mendingan, Mah… Papah udah berangkat?”
Ratri menggeleng. “Belum. Papah masih nunggu kamu di bawah. Ada yang mau disampaikan, tapi…” Ia mendekat, menurunkan suara. “Saran Mamah, jangan banyak ngejawab, ya. Papah masih marah banget sama kelakuan kamu tadi malam. Mamah turun duluan, kamu nyusul.”
“Oke, Mah,” gumam Aldi pasrah.
Saat Ratri keluar, Aldi mengambil ponselnya di atas nakas dan membuka grup chat yang berisi dirinya, Arga, dan Vanes. Dengan wajah kesal, ia langsung mengetik.
Aldi:
“Lu berdua sialan ya, nj*ng…”*
“Kenapa lu pada bawa gue pulang ke rumah? Gue babak belur digebukin bokap!”
“Gara-gara lu, semua fasilitas gue disita! Entah sampai kapan!”
Tidak lama kemudian, balasan pun masuk.
Arga:
“Sorry bro, apart gue ada adik nginep. Jadi semalam nggak bisa gue bawa lu.”
Vanes:
“Sorry juga, Al. Apart gue nyokap dateng. Gue takut ketauan bawa orang mabuk.”
Aldi mengetik cepat, penuh emosi.
Aldi:
“Bang**t lu berdua.”
Ia melempar ponsel ke kasur, lalu bergegas mandi sebelum menghadapi ayahnya di meja makan.
Kediaman Wijaya — Pagi yang Mendadak Tegang
Di rumah besar keluarga Wijaya, hampir semua anggota keluarga sudah duduk menikmati sarapan. Hanya Tiara dan Kakek yang belum turun. Suasananya hangat, penuh canda kecil.
Namun itu berubah seketika saat suara dering pesan masuk terdengar dari ponsel Hendra.
Ia membuka layar. Pengirimnya: Alvaro, orang kepercayaannya.
Alvaro:
“Pak, saya sudah mendapatkan rekaman CCTV sebelum Tuan Muda Arnold mengalami kecelakaan.”
Hendra berhenti mengunyah.
Pesan berikut masuk.
“Dari semua titik CCTV yang dilewati Tuan Arnold, kami menemukan rekaman yang mendukung dugaan bahwa ada pihak yang menyabotase mobil beliau.”
Lalu satu pesan lagi:
“Berikut videonya, Pak.”
Sebuah file video terlampir.
Wajah Hendra mengeras. Tangannya menggenggam ponsel begitu kuat hingga buku jarinya memutih. Amarah itu naik perlahan—ia bahkan belum menonton videonya, namun cukup mengetahui bahwa hal yang ia curigai selama ini mungkin benar adanya.
Ia segera membalas.
“Lanjutkan penyelidikan. Periksa juga rekaman setelah pelaku melakukan aksinya hari itu.”
Alvaro:
“Siap, Tuan. Akan kami telusuri secepatnya.”
Setelah membaca pesan itu, hati Hendra terasa dingin—sekaligus terbakar.
Anindita, yang duduk di sampingnya, menyadari perubahan tiba-tiba di wajah suaminya.
“Ada apa, Pah?” tanyanya pelan. “Papa kok kayak ngelamun?”
Hendra tersentak kecil. “Eh, iya Mah. Papa kepikiran sesuatu. Nggak apa-apa. Yuk makan lagi.”
Nathan langsung menimpali dengan candanya yang khas. “Ih Pah, Kak Micha aja udah habis tiga piring! Papa masih bengong.”
Padahal piring yang dimaksud itu piring Nathan sendiri, tapi ia pura-pura lupa. Micha melotot tajam ke arahnya, membuat Nathan bergidik.
Sifat Nathan memang mirip Kakeknya—tengil, cerewet, tapi sangat penakut pada kemarahan sang kakak. Semua tertawa kecil melihat tingkahnya.
Micha lalu berkata sambil menyeruput jus, “Pah, Mah, nanti siang jadi kan nyusul Tia ke villa?”
Hendra mengangguk. “Iya, jadi. Tia sudah lama minta quality time sama keluarga. Kasihan, selalu nggak pas waktunya. Mumpung sekarang kita senggang.”
Anindita mengangguk setuju, sementara Micha tersenyum senang.
Sarapan kembali hangat, namun hanya Hendra yang menyimpan badai di kepalanya.
Sebuah Gubuk di Pedesaan Bogor
Di tempat lain, jauh dari kenyamanan rumah-rumah mewah, sebuah keluarga kecil tinggal di sebuah gubuk reyot. Wanita itu—Sella—bersama kedua anaknya menjalani hari-hari dalam kemiskinan.
Anak laki-lakinya mengalami gangguan mental, sementara anak perempuannya yang masih duduk di kelas 12 SMA mencoba bertahan dengan keterbatasan.
Mereka adalah keluarga Danu—pria yang terlibat dalam sabotase yang menyebabkan kecelakaan Arnold, dan kini telah meninggal.
Pagi itu, Sella merapikan kamar kecil mereka. Saat membersihkan lemari, ia menemukan sebuah buku catatan usang yang diselipkan di antara pakaian lama suaminya.
Sampulnya lusuh, tetapi halaman pertama membuatnya tertegun.
Tertulis:
“Untuk istriku dan anak-anakku. Jika kelak aku tiada dan kalian membutuhkan biaya, hubungilah nomor ini: 08xx-xxxx-xxxx. Ada seseorang yang harus bertanggung jawab. Bacalah buku ini sampai selesai.”
Tangan Sella bergetar saat membaca halaman demi halaman—diari itu berisi pengakuan Danu tentang sabotase, siapa yang menyuruhnya, dan alasan tragis yang memaksa dirinya melakukan tindakan kotor tersebut.
Air mata mengalir tanpa ia sadari.
Setelah menutup diari, ia mengambil ponsel. Dengan segala keberanian yang tersisa, ia mengetik pesan ke nomor yang dituliskan suaminya.
Villa Bogor — Malam Hari
Di villa, persiapan BBQ malam itu telah selesai. Mereka hanya tinggal menunggu Hendra, Anindita, dan Micha tiba. Acara baru dimulai sekitar pukul 21.00—tertawa, berbincang, menikmati malam yang dingin.
Namun di tempat lain, seseorang tidak bisa merasakan ketenangan itu.
Ponsel Alfian berbunyi. Notifikasi dari nomor tak dikenal.
Ia membuka pesan itu, dan seluruh tubuhnya kaku.
Shela:
“Halo Pak Alfian. Saya istri almarhum Danu. Berdasarkan diari yang ia tinggalkan, Anda memiliki janji untuk menanggung ekonomi keluarga kami jika sesuatu terjadi padanya.”
“Kami hidup di bawah garis kemiskinan sekarang. Suami saya menulis bahwa Anda bertanggung jawab atas kondisi ini. Tolong tepati janji Anda.”
Alfian membeku. Jantungnya berdegup kencang.
Akhirnya… hal yang ia takutkan selama ini datang juga.
Dengan cepat ia mengetik balasan:
“Maaf, Anda salah nomor.”
Lalu langsung memblokir nomor itu.
Namun setelahnya, ia menatap ponselnya lama… sangat lama.
Wajahnya pucat. Nafasnya memburu.
Amarah, ketakutan, dan rasa bersalah bercampur menjadi satu. Ia tahu ini bukan sekadar pesan iseng. Danu pasti meninggalkan sesuatu—dan itu bisa menghancurkan semuanya.
Dengan rahang mengeras, Alfian berdiri dari kursinya.
“Menyebalkan… kenapa sekarang?” gumamnya penuh tekanan.
Ia berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya, menahan gemetar di tangannya.
“Harus ada cara… harus ada langkah berikut…”
Ia mulai menyusun skenario, mencari jalan untuk menutup semua celah. Ia memikirkan siapa yang perlu dibungkam, apa yang harus disembunyikan, dan bagaimana menyingkirkan ancaman sebelum semuanya terbongkar.
Karena ia tahu…
Jika rahasia itu keluar, maka hidupnya akan hancur—bukan hanya dirinya, tapi nama besar keluarga Hutomo pun ikut jatuh dan pasti ia akan masuk ke dalam penjara karena keterlibatannya dalam kecelakaan tersebut.
Namun dalam hati yang cemas, ia tidak akan membiarkan itu semua terjadi.