NovelToon NovelToon
Sebelum Segalanya Berubah

Sebelum Segalanya Berubah

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Dunia Masa Depan / Fantasi / TimeTravel
Popularitas:798
Nilai: 5
Nama Author: SunFlower

Rania menjalani kehidupan yang monoton. Penghianatan keluarga, kekasih dan sahabatnya. Hingga suatu malam, ia bertemu seorang pria misterius yang menawarkan sesuatu yang menurutnya sangat tidak masuk akal. "Kesempatan untuk melihat masa depan."

Dalam perjalanan menembus waktu itu, Rania menjalani kehidupan yang selalu ia dambakan. Dirinya di masa depan adalah seorang wanita yang sukses, memiliki jabatan dan kekayaan, tapi hidupnya kesepian. Ia berhasil, tapi kehilangan semua yang pernah ia cintai. Di sana ia mulai memahami harga dari setiap pilihan yang dulu ia buat.

Namun ketika waktunya hampir habis, pria itu memberinya dua pilihan: tetap tinggal di masa depan dan melupakan semuanya, atau kembali ke masa lalu untuk memperbaiki apa yang telah ia hancurkan, meski itu berarti mengubah takdir orang-orang yang ia cintai.

Manakah yang akan di pilih oleh Rania?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

#5

Happy Reading...

.

.

.

Keesokan paginya, suasana rumah terasa berbeda, namun bukan karena perubahan sikap Melisa atau Dewa. Justru karena Rania yang kini berjalan keluar kamar dengan wajah tanpa ekspresi. Tidak ada senyum sopan seperti biasanya, tidak ada sapaan pelan yang sering ia lontarkan setiap pagi meskipun jarang ada yang merespon.

Rania hanya melewati ruang makan tanpa berkata sepatah kata pun. Melisa yang sedang menyiapkan sarapan tiba-tiba merasa canggung.

“Kamu… tidak sarapan dulu?” tanya Melisa ragu.

Rania berhenti sejenak, namun tidak menoleh. “Aku akan makan di kantor.” jawab Rania lalu berjalan keluar begitu saja.

Dewa yang duduk membaca koran mengangkat wajahnya sekilas, namun ia tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatap punggung Rania yang menghilang di balik pintu, seolah melihat sosok sang anak yang semakin dingin dan jauh dari jangkauan mereka.

Melisa menggigit bibir. “Mungkin dia masih marah,” gumamnya.

Dewa menghela napas. “Dia hanya terlalu sensitif. Nanti juga baikan sendiri.” Balas Dewa seolah keterdiaman Rania adalah hal biasa.

Melisa mengangguk, walau raut wajahnya menunjukkan bahwa ia tidak seyakinnya itu.

Di perjalanan menuju kantor, Rania hanya menatap keluar jendela angkot yang ia tumpangi. Suara klakson, hiruk-pikuk pagi dan percakapan orang-orang tidak lagi terdengar jelas baginya. Kepalanya terasa penuh, namun entah dengan apa.

Rania menarik napas panjang. Kamu harus kuat, Rania. Jangan biarkan mereka melihat kamu rapuh.

Setibanya di kantor, beberapa orang langsung menatapnya dengan heran. Biasanya Rania datang dengan senyum kecil, meski trelihat lelah diwajahnya. Ia akan tetap menyapa satu per satu atau setidaknya menganggukkan kepala.

Namun hari ini, Rania masuk tanpa menoleh, tanpa menyapa bahkan tanpa ekspresi.

“Eh, Rania kenapa?” bisik salah satu temannya, Dina.

“Tidak ada senyum di wajahnya.” sahut yang lain.

Rania mendengar, tapi tidak peduli. Ia langsung menuju mejanya dan mulai membuka laptop. Beberapa menit kemudian, seorang rekan kerja bernama Sinta mendatanginya sambil membawa beberapa berkas.

“Rania, bisa bantu aku review laporan ini? Aku ada presentasi jam dua nanti,” pinta Sinta dengan nada memohon.

Biasanya, Rania langsung menerima. Tidak peduli seberapa lelah dirinya, ia selalu bersedia membantu.

Namun hari itu…

“Maaf, Sin,” jawab Rania tanpa melihat. “Aku sedang banyak pekerjaan.”

Sinta ternganga. “Loh… tapi kamu biasanya....”

“Aku sedang tidak bisa,” potong Rania tegas.

Raut wajah Sinta berubah kesal. “Ya sudah, kalau memang tidak mau,” gumamnya sambil berlalu pergi.

Kejadian yang sama terulang beberapa kali. Ada yang meminta bantuan ringkasan data, ada yang meminta diperiksa ulang hasil revisi, bahkan ada yang ingin mengaajaknya berdiskusi. Dan Rania menolak semuanya itu.

Bisikan-bisikan mulai terdengar. “Dia kenapa sih?” “Sombong banget.” “Seharian ini mood-nya jelek begitu?”

Rania mengabaikan semuanya. Ia hanya fokus pada pekerjaannya sendiri, meskipun hatinya tetap terasa hancur.

Hingga akhirnya, seseorang yang paling tidak ingin ia lihat datang menghampiri.

Jordi.

Pria itu berdiri di depan mejanya tanpa rasa bersalah sedikit pun. Padahal kemarin, dialah penyebab Rania berjalan pulang dengan perasaan yang hancur.

“Rania, bisa kita bicara,” ucap Jordi datar.

Rania menatap layar laptop. “Aku sedang kerja.”

“Rania,” ulang Jordi, kali ini lebih keras. “Kita perlu bicara.”

Rania menutup laptopnya perlahan. Ia mengangkat wajahnya, menatap Jordi dengan mata yang tidak lagi lembut seperti dulu. Hening sesaat ketika tatapan mereka bertemu. Jordi tampak terkejut, Ranianya benar-benar berubah.

“Ada apa?” tanya Rania dingin.

Beberapa rekan kerja mulai memperhatikan. Bahkan Laras yang berdiri tidak jauh dari sana ikut menoleh.

“Kenapa kamu menolak membantuku?” Jordi bertanya dengan nada kesal yang jelas sangat tidak pantas ia gunakan, mengingat apa yang sudah ia lakukan.

Rania mengerjapkan mata perlahan. “Aku tidak lagi punya kewajiban untuk membantumu. Lagi pula itu bukan pekerjaanku.”

Jordi mendengus. “Kamu kenapa sih, Ran? Tiba-tiba cuek, dingin, sensitif. Kamu ada masalah?”

“Kamu tidak punya hak bertanya itu,” balas Rania cepat. “Kamu bukan siapa-siapaku lagi.”

Ruangan seketika hening.

Laras yang sedang memegang kertas berhenti bergerak. Beberapa teman yang mendengar percakapan itu saling pandang dengan mulut sedikit terbuka. Jordi tampak terkejut namun lebih karena harga dirinya tersinggung, bukan karena peduli pada Rania.

“Apa maksudmu bukan siapa-siapa? Aku kekasihmu..” ujar Jordi dengan suara ditahan.

Rania tertawa kecil, tetapi nada tawanya getir dan dingin. “Kekasih? Asal kamu tahu, aku sudah mendengar percakapanmu dengan Laras kemarin.”

Wajah Jordi berubah pucat. Laras refleks melangkah mundur.

“Apa… apa yang kamu dengar?” tanya Jordi gugup.

Rania berdiri perlahan, menatap pria itu lurus.

“Aku mendengar semuanya, Jordi. Kamu memanfaatkanku untuk naik jabatan. Kamu meminta Laras bersabar sampai kamu dapat posisi itu. Kamu… kamu mempermainkanku. Di belakangku.” Ucap Rania.

Beberapa rekan kerja mulai bisik-bisik.

Jordi panik. “Ran, itu.. itu bukan seperti yang kamu pikirkan. Kamu salah paham. Itu...”

“Berhenti berbohong.” suara Rania meninggi. Ia tidak peduli lagi apakah semua orang mendengarnya. “Aku mendengar dengan jelas bagaimana kamu berkata kalau kamu akan memutuskanku setelah semuanya berjalan sesuai rencanamu.”

Jordi mengepal tangannya. “Rania, kita tidak perlu memperbesar masalah. Bisa tolong bicara di tempat lain?”

“Kenapa harus di tempat lain?” Rania balas. “Kenapa tidak di sini saja? Di depan semua orang yang selama ini melihat kamu berpura-pura baik padaku? Di depan orang- orang yang mengira aku sangat beruntung bisa menjadi kekasih kamu..”

Laras akhirnya maju. “Rania, kamu salah paham..”

Rania menoleh cepat dan tatapan itu membuat Laras langsung terdiam.

“Jangan panggil namaku seolah kamu sahabatku,” ucap Rania tajam. “Kamu orang pertama yang menusukku dari belakang.”

Laras menelan ludah, wajahnya memerah.

Jordi kembali mencoba berbicara. “Ran, aku minta maaf. Tapi tidak seharusnya kamu bersikap seperti ini.”

“Seperti apa?” potong Rania, nadanya naik satu oktaf. “Seperti seseorang yang akhirnya berhenti dimanfaatkan? Seperti seseorang yang muak diperlakukan seenaknya? Atau seperti seseorang yang baru menyadari bahwa selama ini cintanya tidak pernah dihargai?”

Jordi terdiam. Ia tidak menyangka Rania bisa menantangnya seperti ini.

“Rania, kamu membuat malu diri kamu sendiri,” ujar Jordi dengan suara rendah.

Rania tersenyum tipis, namun jelas itu bukan senyum bahagia. “Tidak, Jordi. Hari ini justru aku menyelamatkan diriku.”

Ia menatap Jordi untuk terakhir kalinya. “Kita selesai.”

Dan tanpa menunggu jawaban siapa pun, Rania mengambil laptopnya, memasukkannya ke tas, dan berjalan keluar dari ruangan itu dengan kepala tegak.

Di belakangnya, suasana kantor kacau. Jordi terdiam tak berdaya, Laras menunduk penuh rasa malu dan teman-teman yang lain hanya mampu menatap kepergian Rania dengan terkejut.

Dan untuk pertama kalinya juga, dalam hidupnya… Rania memilih dirinya sendiri.

.

.

.

Jangan lupa tinggalkan jejak...

1
Erni Kusumawati
nyesek bgt jd Rania😭😭😭😭
Puji Hastuti
Seru
Puji Hastuti
Masih samar
Puji Hastuti
Semakin bingung tp menarik.
Erni Kusumawati
masih menyimak
Puji Hastuti
Menarik, lanjut kk 💪💪
Erni Kusumawati
duh.. semoga tdk ada lagi kesedihan utk Rania di masa depan
Puji Hastuti
Masih teka teki, tapi menarik.
Puji Hastuti
Apa yang akan terjadi selanjutnya ya, duh penasaran jadinya.
Puji Hastuti
Gitu amat ya hidup nya rania, miris
Erni Kusumawati
luka bathin anak itu seperti menggenggam bara panas menyakitkan tangan kita sendiri jika di lepas makan sekeliling kita yg akan terbakar.
Erni Kusumawati
pernah ngalamin apa yg Rania rasakan dan itu sangat menyakitkan, bertahun-tahun mengkristal dihati dan lama-lama menjadi batu yg membuat kehancuran untuk diri sendiri
Erni Kusumawati
mampir kk☺☺☺☺
chochoball: terima kasih kakak/Kiss//Kiss//Kiss/
total 1 replies
Puji Hastuti
Carilah tempat dimana kamu bisa di hargai rania
Puji Hastuti
Ayo rania, jangan mau di manfaatkan lagi
Puji Hastuti
Bagus rania, aq mendukungmu 👍👍
chochoball: Authornya ga di dukung nihhh.....
total 1 replies
Puji Hastuti
Memang susah jadi orang yang gak enakan, selalu di manfaatkan. Semangat rania
Puji Hastuti
Kasihan rania
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!