Doni, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef bagi Naira Adani aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6. SARAPAN YANG TIDAK DISENTUH
..."Beberapa aturan dibuat untuk melindungi, tapi ada yang justru perlahan mengurung hati yang ingin berbuat baik."...
...---•---...
"Pasal 15: Media dan Publikasi. Koki pribadi dilarang keras berbicara dengan media, mengunggah apa pun di media sosial tentang klien, bahkan sekadar memberi isyarat soal keberadaannya. Tidak boleh ada foto, status, atau cerita, bahkan kepada keluarga dan teman. Semua informasi harus dijaga ketat."
Adrian mengeluarkan dokumen tambahan dari kopernya. "Ini perjanjian kerahasiaan. Berlaku seumur hidup, bahkan setelah kontrak selesai. Bapak tidak boleh menulis buku, menjual cerita ke media, atau mengeksploitasi pengalaman kerja dengan Nona Naira dalam bentuk apa pun."
Doni menandatangani tanpa membaca detail lebih lanjut. Kepalanya terasa berat. Sudah terlalu banyak janji yang ia torehkan hari ini.
"Pasal 18: Akses dan Pergerakan." Adrian melanjutkan. "Bapak hanya boleh berada di area tertentu: kamar, dapur, ruang makan, taman belakang, dan ruang cuci. Lantai dua adalah area pribadi Nona Naira, dilarang naik kecuali dalam kondisi darurat atau jika diminta langsung olehnya."
"Keluar rumah hanya untuk berbelanja bahan atau urusan pekerjaan. Bapak harus izin kepada Ibu Ratna minimal dua jam sebelumnya. Maksimal empat jam di luar, dan wajib kembali sesuai jadwal yang ditentukan."
Doni menata pancake di piring, menuangkan sirup mapel, menambahkan buah segar di atasnya. Semuanya tampak sempurna. Di luar keindahan sajian itu, ia merasa seperti terpenjara dalam sangkar emas.
"Pasal 23: Kerahasiaan Mutlak." Adrian berbicara dengan nada lebih serius. "Apa pun yang Bapak lihat, dengar, atau alami di rumah ini adalah rahasia. Termasuk kondisi Nona Naira, tamu yang datang, bahkan percakapan yang tidak sengaja terdengar."
Adrian menatap Doni dalam-dalam. "Kalau ada wartawan yang menghubungi, jangan jawab apa pun. Kalau ada paparazi memotret, segera lapor ke Ibu Ratna. Kalau ada orang asing mencoba masuk, langsung hubungi keamanan."
Doni menarik napas pelan. "Saya tidak akan membocorkan apa pun. Saya di sini untuk memasak, bukan menjual cerita."
"Bagus." Adrian mengangguk. "Kami membutuhkan orang seperti Bapak yang loyal, seribu hari penuh."
Mereka lanjut membahas sisa pasal dengan cepat. Larangan demi larangan berbaris rapi. Doni tetap sibuk di dapur, tapi pikirannya menelan setiap kalimat yang terasa makin berat: tidak boleh membawa alkohol, tidak boleh mengundang tamu pribadi, harus siap untuk inspeksi mendadak, tidak boleh punya hubungan romantis, dan yang paling mencekik, klien boleh memutuskan kontrak kapan pun dengan kompensasi hanya separuh dari sisa kontrak.
Pukul seperempat tujuh pagi, Adrian akhirnya menutup dokumen terakhir. Di meja tergeletak tumpukan kertas yang kini penuh tanda tangan Doni.
"Selesai. Terima kasih sudah sabar, Pak Doni." Adrian tersenyum lega.
Doni menghembuskan napas panjang. Pancake sudah siap: menara lembut berlapis buah segar, siraman sirup mapel yang berkilau, dan segelas jus jeruk yang baru diperas. Semuanya terlihat sempurna. Tapi entah kenapa, rasanya hambar bahkan sebelum disentuh lidah.
"Satu hal lagi, Pak Doni." Adrian merapikan berkas dan menutup koper hitamnya. "Saya tahu semua ini terdengar gila. Lima puluh pasal, segunung aturan. Tapi ini juga untuk melindungi Bapak. Kalau ada masalah, semua jelas di atas kertas."
Ia menurunkan suaranya sedikit. "Dan jujur saja, Nona Naira bukan tipe yang sulit. Dia cuma... masih berantakan. Baru keluar dari pernikahan yang buruk. Kasih waktu. Jangan diambil hati. Lakukan saja bagian Bapak."
Begitu Adrian pergi, dapur kembali sunyi. Doni duduk di kursi, memandangi pancake yang belum disentuh. Ia tahu tubuhnya butuh makan, tapi seleranya hilang. Ia menyuap satu potong. Lembut, manis, sempurna. Tapi rasanya datar, seperti mengunyah kertas.
Pukul tujuh tepat, Ratna datang mengambil nampan sarapan. Doni sudah menatanya dengan rapi: pancake menara, sirup mapel di wadah kecil, buah segar, jus jeruk, dan secangkir teh hijau hangat.
"Cantik sekali tampilannya," kata Ratna sambil tersenyum. "Nona Naira pasti suka."
Doni hanya mengangguk. Ia sudah belajar: jangan berharap.
Pukul seperempat delapan, Ratna kembali. Seperti yang sudah diduga, pancakenya masih utuh, menara sempurna yang tidak tersentuh. Hanya teh hijaunya yang berkurang setengah.
"Ia bilang apa?" tanya Doni, suaranya nyaris datar.
Ratna menggeleng. "Tidak bilang apa-apa. Dia cuma duduk di balkon, menatap keluar."
Menatap ke mana? Doni membatin. Ke kota Bandung yang mulai sibuk di bawah sana, atau ke masa lalu yang tidak bisa ia ubah?
Doni mengambil piring pancake itu, lalu duduk di meja makan. Ia makan perlahan, gigitan demi gigitan. Setiap suapan terasa seperti penolakan pribadi.
Dua hari. Dua menu yang dimasak dengan hati, dua kali ditolak. Masih ada sembilan ratus sembilan puluh delapan hari tersisa.
Lima puluh pasal kontrak membelenggu dirinya seperti rantai, tapi yang paling berat bukan aturan-aturan itu. Yang paling berat adalah harus memasak untuk seseorang yang kehilangan selera untuk hidup.
Doni menatap keluar jendela dapur. Matahari mulai tinggi, kabut menipis, dan burung-burung berkicau di taman belakang. Suara itu terasa kontras dengan hening yang menekan di dalam rumah.
Ia teringat Pasal 12: larangan terlibat emosional.
Tapi bagaimana mungkin ia tidak terlibat, kalau setiap makanan yang ditolak terasa seperti penolakan terhadap hatinya? Bagaimana bisa ia tidak peduli, kalau di lantai atas ada seseorang yang perlahan kelaparan? Bukan karena tidak ada makanan, tapi karena tidak ada keinginan untuk hidup.
Lima ratus juta rupiah denda kalau melanggar kontrak.
Namun Doni tahu, ada hal-hal yang jauh lebih berharga dari uang. Dan mungkin, suatu hari nanti, ia harus memilih antara kontrak atau nuraninya.
Untuk saat ini, ia hanya bisa kembali ke dapur. Membersihkan piring. Menyiapkan bahan makan siang. Dan berharap, entah bagaimana, hari ini akan sedikit berbeda.
Tapi di lantai atas, di kamar yang pintunya terkunci rapat, Naira Adani masih duduk di balkon. Menatap kosong ke kejauhan.
Tidak melihat indahnya kota di bawah. Tidak mendengar kicau burung. Tidak merasakan hangatnya matahari pagi.
Yang ia rasakan hanyalah dingin. Dingin yang tidak bisa diusir oleh apa pun, bahkan oleh pancake termanis yang disajikan dengan harapan.
...---•---...
...Bersambung...