Dikhianati sahabat itu adalah hal yang paling menyakitkan. Arunika mengalaminya,ia terbangun di kamar hotel dan mendapati dirinya sudah tidak suci lagi. Dalam keadaan tidak sadar kesuciannya direnggut paksa oleh seorang pria yang arunika sendiri tak tahu siapa..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EkaYan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali ke Rutinitas
Di tengah kesunyian kamarnya, Arunika tanpa sengaja menemukan sebuah kotak kayu kecil di bawah tumpukan pakaian ibunya di lemari. Kotak itu tampak usang namun terawat. Dengan hati berdebar, ia membukanya. Di dalamnya, ia menemukan beberapa lembar foto kenangan dirinya bersama sang ibu.
Ada foto saat ia masih kecil digendong ibunya, foto saat perayaan ulang tahunnya, dan foto saat kelulusan SMA, di mana ibunya tampak begitu bangga dan bahagia. Air mata Arunika kembali menetes melihat senyum hangat ibunya di setiap foto.
Di samping tumpukan foto itu, tergeletak sebuah buku tabungan dengan namanya tertulis di sampulnya. Instingnya mengatakan bahwa ini adalah sesuatu yang penting. Dengan tangan gemetar, ia membuka buku tabungan itu. Matanya membelalak melihat jumlah saldo yang tertera di sana. Jumlah yang cukup besar, jauh melebihi perkiraannya.
Di bawah buku tabungan, ia menemukan selembar surat yang dilipat rapi. Dengan hati-hati, ia membukanya dan mulai membaca tulisan tangan ibunya yang sangat ia kenali:
Anakku sayang, Arunika,
Saat kamu membaca surat ini, mungkin Ibu sudah tidak ada di sisimu. Ibu menulis surat ini jauh-jauh hari, karena Ibu tahu... Ibu tidak akan bisa menemanimu selamanya.
Jangan bersedih terlalu lama ya, Nak. Ibu tahu kamu anak yang kuat dan pintar. Ibu selalu bangga padamu.
Di dalam kotak ini, ada sedikit bekal yang Ibu siapkan untukmu melanjutkan kuliahmu. Ibu tahu kamu punya mimpi yang tinggi, dan Ibu ingin kamu meraihnya. Jangan pernah menyerah, Nak. Ibu akan selalu mendukungmu dari jauh.
Ibu tahu, kamu sering bertanya tentang ayahmu. Sejak ia pergi meninggalkan kita saat kamu masih kecil, Ibu berusaha sekuat tenaga untuk membesarkanmu seorang diri. Bukan karena Ibu membencinya, tapi karena Ibu ingin kamu tahu bahwa kamu tidak kekurangan kasih sayang. Kamu adalah segalanya bagi Ibu.
Jaga dirimu baik-baik ya, Nak. Jangan lupakan Tante Rena yang selalu menyayangimu. Dan jika kamu menemukan seseorang yang mencintaimu dengan tulus, jangan ragu untuk membuka hatimu.
Ibu selalu menyayangimu, selamanya.
Dari ibumu tercinta.
Air mata Arunika kini mengalir semakin deras, membasahi surat yang ada di tangannya. Hatinya terasa seperti diremas. Ia tidak menyangka ibunya telah memikirkan masa depannya sejauh ini, bahkan jauh sebelum sakitnya semakin parah. Pengorbanan ibunya selama ini, perjuangannya seorang diri membesarkannya tanpa sosok ayah, terasa semakin berat ia bayangkan.
Rasa kehilangan yang sudah begitu besar kini bercampur dengan rasa bersalah dan haru yang mendalam. Mengapa ayahnya tega meninggalkan mereka berdua? Mengapa ia tidak pernah bertanggung jawab atas hidupnya? Kemarahan dan kekecewaan pada sosok ayah yang tak pernah ia kenal kembali menghantuinya.
Di tengah isak tangisnya, Arunika memeluk erat surat dan buku tabungan itu. Ia merasa begitu bersyukur memiliki ibu seperti ibunya, seorang wanita hebat yang telah memberikan segalanya untuknya. Ia berjanji dalam hati, ia akan menggunakan bekal dari ibunya dengan sebaik-baiknya dan meraih cita-citanya. Ia akan membuat ibunya bangga, meskipun ibunya sudah tidak ada di sisinya. Namun, di saat yang sama, luka karena ketidakadilan dan ketidakpedulian ayahnya terasa semakin menganga di hatinya.
Setelah membaca surat dari ibunya berulang kali, meresapi setiap kata penuh kasih dan harapan, Arunika akhirnya membuat keputusan. Air matanya masih mengalir, namun kali ini bukan hanya karena kesedihan, tetapi juga karena tekad yang baru tumbuh. Ibunya telah memikirkannya hingga akhir hayat, menyiapkan bekal dan memberikan semangat untuk meraih mimpi. Ia tidak boleh mengecewakan ibunya.
Malam itu, Arunika menghubungi Arsen. Suaranya masih terdengar serak, namun ada nada yang lebih tegar di sana.
"Sen," sapa Arunika pelan.
"Nika? Kamu baik-baik saja?" tanya Arsen dengan nada khawatir.
"Aku... aku memutuskan untuk kembali," jawab Arunika.
"Kembali ke mana, Sayang?" tanya Arsen, sedikit bingung.
"Kembali ke Yogyakarta. Aku akan kembali kuliah," ucap Arunika dengan suara yang lebih mantap.
Terdengar keheningan sejenak di seberang telepon, lalu Arsen berseru dengan nada lega, "Benarkah, Nika? Aku senang sekali mendengarnya!"
"Iya, Sen. Aku... aku rasa ini yang terbaik. Ibu pasti ingin aku melanjutkan kuliahku," kata Arunika, mencoba menyemangati dirinya sendiri.
"Tentu saja, Sayang. Aku akan menjemputmu besok pagi di stasiun," tawar Arsen dengan antusias.
"Tidak usah repot-repot, Sen. Aku bisa naik kereta sendiri. Kamu pasti sibuk," tolak Arunika halus.
"Tidak ada repotnya sama sekali, Nika. Aku ingin memastikan kamu sampai dengan selamat. Aku sudah tidak sabar ingin bertemu kamu," balas Arsen dengan tulus.
Arunika tersenyum tipis, merasa hangat mendengar perhatian Arsen. "Baiklah kalau begitu. Terima kasih, Sen."
"Sama-sama, Sayang. Istirahatlah. Sampai jumpa besok," ucap Arsen sebelum mengakhiri panggilan.
Setelah menutup telepon, Arunika menarik napas dalam-dalam. Keputusan untuk kembali ke Yogyakarta terasa berat, namun juga melegakan. Meninggalkan rumah yang penuh kenangan akan ibunya terasa menyakitkan, namun ia tahu ia tidak bisa terus berlarut-larut dalam kesedihan. Ia harus bangkit dan meraih masa depannya, seperti yang ibunya inginkan.
Keesokan paginya, setelah berpamitan dengan Tante Rena yang tampak haru sekaligus bangga, Arunika naik kereta menuju Yogyakarta. Di dalam kereta, ia menatap keluar jendela, memandangi pemandangan yang berlalu cepat. Ada secercah harapan di hatinya. Ia akan kembali ke kehidupannya, bertemu dengan Arsen, dan melanjutkan pendidikannya.
Perjalanan kereta terasa panjang dan penuh dengan lamunan. Arunika memandangi foto-foto ibunya, mencoba mengingat setiap senyuman, setiap pelukan hangat. Kenangan itu terasa begitu nyata, namun juga begitu menyakitkan karena kini hanya tinggal kenangan. Ia menggenggam erat surat ibunya, seolah dengan begitu ia bisa merasakan kehadiran ibunya di sisinya.
Sesampainya di Stasiun Tugu Yogyakarta, Arunika menarik napas dalam-dalam. Udara Yogyakarta terasa berbeda, membawa serta kenangan akan masa-masa kuliahnya dulu, masa-masa bahagia bersama ibunya saat mengantarkannya pertama kali ke kos. Ia melihat sekeliling, mencari sosok Arsen. Tak lama kemudian, ia melihat Arsen melambaikan tangan ke arahnya dengan senyum lebar yang selalu berhasil membuatnya merasa lebih baik.
"Nika!" seru Arsen sambil menghampirinya dan langsung memeluknya erat. Arunika membalas pelukan itu, merasakan kehangatan dan ketulusan Arsen yang selalu menjadi sandarannya.
"Aku senang sekali kamu kembali," bisik Arsen di telinganya.
Arunika melepaskan pelukannya dan tersenyum tipis.
"Terima kasih sudah menjemputku, Sen."
"Tidak perlu berterima kasih. Ini sudah menjadi tugasku," balas Arsen sambil menggandeng tangannya. "Ayo, aku sudah siapkan sarapan di kos."
Selama beberapa hari pertama di Yogyakarta, Arunika masih diliputi kesedihan. Namun, kehadiran Arsen dan dukungan dari teman-temannya perlahan membantunya untuk kembali beradaptasi. Ia kembali ke kampusnya, mengurus administrasi untuk melanjutkan kuliahnya. Melihat kembali buku-buku pelajarannya dan berinteraksi dengan teman-teman seangkatan sedikit demi sedikit mengembalikan semangatnya.
Arsen selalu ada di sisinya, memberikan dukungan tanpa syarat. Ia mengerti betul apa yang dirasakan Arunika dan memberikan ruang baginya untuk berduka, namun juga perlahan membantunya untuk melihat ke depan. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, berbicara tentang banyak hal, termasuk tentang ibunya. Arunika merasa lega bisa berbagi kenangan tentang ibunya dengan seseorang yang begitu peduli.