Storm adalah gadis bar-bar dengan kemampuan aneh—selalu gagal dalam ujian, tapi mampu menguasai apa pun hanya dengan sekali melihat.
Ketika meninggal pada tahun 2025, takdir membawanya hidup kembali di tubuh seorang narapidana pada tahun 1980. Tanpa sengaja, ia menyembuhkan kaki seorang jenderal kejam, Lucien Fang, yang kemudian menjadikannya dokter pribadi.
Storm yang tak pernah bisa dikendalikan kini berhadapan dengan pria yang mampu menaklukkannya hanya dengan satu tatapan.
Satu jiwa yang kembali dari kematian. Satu jenderal yang tak mengenal ampun. Ketika kekuatan dan cinta saling beradu, siapa yang akan menaklukkan siapa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
"Hei, bocah! Bukankah kau sudah mati? Kenapa hidup lagi?" suara seorang wanita menggema dari sudut gelap penjara yang lembap itu.
Storm yang baru saja berdiri langsung terlonjak kaget, matanya membulat. Ia cepat-cepat terduduk kembali di atas jerami kering, lalu menatap ke arah datangnya suara itu. Dari balik bayangan, tiga wanita bertubuh tinggi muncul satu per satu, wajah mereka keras dan menakutkan, seperti sudah terbiasa berkelahi.
“K-kalian siapa?” tanya Storm dengan gugup, matanya melirik rantai besi di kakinya, memastikan bahwa ia tidak bisa lari.
Wanita di depan, berambut panjang dan tatapannya tajam seperti elang, menyilangkan tangan di dada. “Masih pura-pura bodoh? Kami dibayar oleh adik angkatmu untuk memberi pelajaran padamu — supaya kau tidak bisa menikah dengan pria yang dia cintai!”
“Apa… menikah?” Storm terperangah.
Ia memejamkan mata, mencoba mengingat fragmen ingatan yang samar di kepala — potongan adegan dari kehidupan pemilik tubuh ini. Ia melihat sosok perempuan muda ditendang, ditampar, diseret di lantai penjara, hingga akhirnya tergeletak tanpa nyawa di tempat yang sama.
“Sial… ternyata pemilik tubuh ini mati dipukuli karena urusan cinta segitiga,” gumam Storm dalam hati. “Dan yang lebih sial lagi, aku yang malah reinkarnasi ke tubuhnya!”
Wanita yang bernama A Zhu itu dipanggil oleh mereka dengan nada menghina. “A Zhu! Kau berani berebut pria dengan adik angkatmu? Sama saja kau mencari mati!”
Storm mendengus, menatap mereka dengan kesal. “Aku berebut pria? Apa kalian tidak salah orang? Siapa pria itu, sampai aku harus berebutan dengannya? Apakah dia raja langit? Malaikat?” tanyanya dengan nada sinis.
Ketiga wanita itu saling berpandangan, tampak tersinggung. “Kau masih menyangkal? Dia adalah pahlawan negara kita, Jenderal Fang! Semua wanita rela berlutut untuknya!”
Storm mengangkat alisnya dengan ekspresi datar. “Aku tidak peduli dia Jenderal atau raja, kenapa sampai aku harus rebutan dengan wanita lain? Dia belum tentu levelku.”
“Berani-beraninya kau menghina Jenderal Fang!” bentak salah satu dari mereka. “Rakyat kecil sepertimu tidak pantas menyebut namanya!”
“Jenderal Fang?” Storm tertegun sejenak, lalu wajahnya perlahan berubah. “Tunggu… apakah yang kalian maksud adalah Lucien Fang?”
Mereka langsung menatapnya dengan tajam. “Nama seorang pahlawan tidak bisa disebut sembarangan! Apa lagi oleh tahanan hina sepertimu! Baiklah, mari kita beri pelajaran padanya!”
Ketiga wanita itu mulai melangkah mendekat dengan wajah garang, tangan mereka sudah menggenggam tongkat kayu.
***
Sementara di luar penjara, Sebuah mobil hitam berhenti di depan gerbang penjara. Dari dalamnya, seorang pria keluar — tinggi, tegap, berseragam militer dengan medali yang berkilau di dadanya. Wajahnya dingin, rahangnya tegas, dan matanya tajam bagaikan pedang.
Para penjaga langsung berdiri tegak.
“Jenderal!” seru mereka serempak, memberi hormat.
Jenderal itu berjalan gagah dengan langkah mantap, diikuti oleh ajudannya.
"Jenderal, Nona Shu telah ditindas oleh narapidana yang satu sel dengannya. Menurut laporan, Nona Shu pingsan akibat penganiayaan itu. Karena itu, Tuan Besar Mu memohon Anda turun tangan untuk menyelamatkan putri mereka," kata sang ajudan, Max, dengan nada serius.
Lucien Fang menghentikan langkahnya. Tatapannya tajam seperti bilah pedang, membuat semua prajurit di sekitar menunduk tanpa berani bersuara.
"Bagaimana mungkin seorang militer menahan rakyat yang tidak bersalah? Tuduhan yang tidak wajar seperti itu harus diselidiki," ucapnya dengan suara berat dan tegas.
Ia menoleh ke Max. "Selidiki kasus ini mulai dari awal. Negara kita adalah negara yang melindungi rakyatnya—bukan menindas!"
Suasana seketika hening. Hanya suara sepatu bot Lucien Fang yang bergema saat ia kembali melangkah menuju ruang tahanan.
"Siap, Jenderal! Rumor mengatakan Nona Shu adalah gadis yang lemah lembut, jadi mana mungkin dia bisa melawan," ujar Max sambil melangkah cepat di belakang atasannya.
Namun, begitu mereka tiba di depan sel, terdengar suara gaduh dan jeritan dari dalam.
"Aaahhh! Ampun!"
"Jangan tarik rambutku!"
"Itu mataku, dasar gila!"
Lucien Fang dan para prajuritnya berhenti serempak. Tatapan dingin sang jenderal menembus jeruji besi itu — pemandangan di depannya sungguh… di luar dugaan.
Storm, dengan rambut acak-acakan dan pakaian narapidana longgar, sedang memukuli tiga wanita lain dengan semangat seperti berkelahi di pasar. Ia menampar satu, menendang yang lain, lalu menarik rambut yang ketiga sambil berteriak,
"Berani sekali kalian menindasku! Aku adalah Storm! Sejak kecil aku tidak pernah ditindas siapa pun! Kalian hanya tiga ekor semut di mataku!"
Brukk!
Salah satu wanita itu dibanting ke lantai hingga menjerit, "Sakit!"
Max dan prajurit lain terdiam dan hampir tidak percaya dengan pemandangan di depan sana.
Lucien menyipitkan mata dingin. “Apakah ini yang namanya lemah lembut tidak bisa melawan?"
"Mungkin hanya rumor!" jawab Max.
Sementara itu, Storm masih meluapkan amarahnya tanpa sadar ada penonton berpangkat tinggi di belakangnya.
"Aku tidak peduli kalau adik angkatku menyukai pria itu! Mau dia Jenderal atau Raja Langit juga, ambil saja! Aku tidak tertarik! Aku, Storm Lin, terlahir kembali, tidak akan mati hanya karena cinta bodoh! Lagipula, Jenderal Fang memang pahlawan negara, tapi bukan tipeku! Walau ribuan wanita antre dari utara ke selatan, aku tetap tidak tertarik!”
"Di zaman ini aku ingin menjadi Power ranger, jadi jangan coba-coba menyinggungku," ucap Storm.
Para prajurit menatap Jenderal mereka yang wajahnya berubah semakin dingin, seolah udara di sekitar tiba-tiba turun sepuluh derajat.
Max berbisik gemetar, “Jenderal… gadis itu baru saja bilang Anda bukan tipenya.”
Lucien diam. Hanya ada satu urat di pelipisnya yang terlihat menegang.
Storm berhenti memukuli lawannya, lalu bergidik tanpa sebab.
“Kenapa tiba-tiba bulu kudukku berdiri,ya? Seperti ada yang mau menebasku hidup-hidup,” gumamnya sambil mengusap lengan.