NovelToon NovelToon
DRAMA SI SANGKURIANG

DRAMA SI SANGKURIANG

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Tamat
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: gilangboalang

Di tengah hiruk pikuk kota Bandung yang modern, seorang pemuda terjebak dalam cinta yang tidak seharusnya. Ia tak tahu, bahwa wanita yang ia cintai menyimpan masa lalu yang kelam — dan hubungan mereka bukan sekadar kisah cinta biasa, melainkan takdir yang berulang dari masa lampau...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BABAK II: BENIH TRAGEDI (LANJUTAN) ​ADIEGAN 9: PERTEMUAN DI BAWAH KILAU NEON ​Se

​Setelah perjalanan panjang yang melelahkan dari Bandung, Reza tiba di Jakarta saat malam telah jatuh.

​Ibu kota membentang di hadapannya seperti raksasa yang tidak peduli. Suasananya hiruk pikuk, berbeda total dengan keheningan Bandung. Jalanan dipenuhi lautan cahaya dari lampu-lampu neon iklan, sorot lampu kendaraan yang bergerak tanpa henti, dan gemerlap gedung-gedung pencakar langit yang menjulang angkuh, seolah menertawakan kemiskinan dan keputusasaan Reza. Udara Jakarta terasa panas, kental dengan bau asap knalpot dan keringat, jauh dari aroma sejuk Bandung yang ia kenal.

​Reza, yang masih mengenakan pakaian lusuhnya, berjalan entah ke mana, ransel usang di punggungnya terasa semakin berat, bukan hanya karena isinya, tetapi karena beban pengusiran. Ia berjalan menyusuri trotoar yang ramai, menghindari langkah kaki para pekerja kantoran yang tampak tergesa-gesa. Perutnya berbunyi nyaring. Sejak meninggalkan rumah, ia hanya makan sisa-sisa roti yang ia temukan di ransel, dan kini lambungnya terasa perih.

​Ia mencapai sebuah halte bus besar yang ramai. Reza menjauh dari kerumunan, memilih duduk di sudut bangku halte yang sedikit terlindung, berharap ia tidak terlihat mencolok. Tenggorokannya terasa kering dan sakit. Ia mengeluarkan botol air mineral bekas yang ia isi ulang dari keran umum di stasiun. Ia menenggak air itu, mencoba meredakan rasa lapar yang menyiksa.

​Saat ia sedang tertunduk, fokus pada botol airnya, ia merasakan ada sepasang sepatu mahal yang berhenti tepat di depannya. Reza mendongak.

​Di hadapannya berdiri seorang pria, kira-kira berusia pertengahan dua puluhan. Posturnya tegap, wajahnya ramah namun tegas, dan ia mengenakan seragam putih bersih dengan lencana emas mengilap di bahu. Pakaian itu mengingatkan Reza pada seragam pilot atau, yang lebih penting baginya, Nahkoda. Pria itu memegang tas tangan kulit yang elegan.

​Pria itu tersenyum tipis. Di tangannya ada sebuah bungkusan kertas minyak.

​"Dek, kamu sendirian di sini? Wajahmu pucat. Kamu lapar?" tanya pria itu dengan suara yang sopan dan berwibawa, nadanya jauh dari sikap meremehkan.

​Reza terkejut dengan kebaikan tak terduga itu. Selama ini, interaksi Reza dengan dunia luar selalu melibatkan perkelahian atau penipuan. Ia segera berdiri, sedikit menunduk.

​"Maaf, Kak. Saya... saya sedang menunggu saja. Terima kasih," jawab Reza dengan suara pelan dan sopan—sopan santun yang ditanamkan Nawangsih sejak ia kecil ternyata masih tertinggal.

​Pria itu mengulurkan bungkusan berisi roti.

​"Ambil saja. Saya baru membeli ini. Kamu butuh energi. Jakarta ini tidak kenal ampun kalau kamu lapar."

​Reza ragu sejenak, lalu tangannya yang gemetar meraih roti itu.

​"Terima kasih banyak, Kak. Terima kasih."

​"Sama-sama. Nama saya Arya," kata pria berseragam itu. "Kamu sendiri? Kenapa malam-malam di halte begini?"

​"Saya Reza, Kak. Saya... baru sampai dari luar kota," Reza berbohong, menghindari detail pengusirannya.

​Arya mengangguk, tidak memaksa. Ia menatap seragam yang Reza kenakan, seragam SMP yang kotor dan robek.

​"Sekolahmu di luar kota? Kamu di sini ada keluarga? Sudah makan malam?"

​Reza menggeleng perlahan, matanya kembali menunjukkan keputusasaan.

​"Belum, Kak."

​Arya menimbang sejenak. Ia melihat tekad di mata Reza, meski ditutupi oleh keputusasaan.

​"Baiklah. Begini, Reza. Kebetulan saya mau mencari makan malam di restoran dekat sini. Mau ikut dengan saya? Anggap saja rezeki dari kedatanganmu di Jakarta."

​Awalnya, Reza ingin menolak. Rasa malu karena statusnya sebagai remaja jalanan sangat besar.

​"Aduh, tidak usah, Kak. Saya sudah dapat roti ini, sudah cukup."

​"Tidak apa-apa. Saya butuh teman ngobrol. Ayo, sekalian kamu bisa lihat-lihat kota ini. Jaraknya tidak jauh, kita bisa jalan kaki," bujuk Arya ramah.

​Reza melihat ke arah seragam Arya lagi. Pakaian itu bersih, rapi, dan memancarkan wibawa—semuanya yang tidak ia miliki. Ia teringat janji konyol yang kini menjadi satu-satunya tujuan hidupnya: Nahkoda. Arya adalah perwujudan masa depan yang sangat ia inginkan.

​"Baik, Kak. Saya ikut. Terima kasih banyak," kata Reza, akhirnya menyerah pada godaan perut dan harapan yang baru muncul.

​Mereka mulai berjalan menyusuri trotoar yang ramai. Arya menjelaskan tentang pekerjaan dan kota itu, dan Reza mendengarkan dengan penuh perhatian.

​"Seragam ini, apa ini seragam Nahkoda, Kak?" tanya Reza, tidak bisa menyembunyikan kekagumannya.

​Arya tersenyum bangga.

​"Hampir tepat. Saya memang seorang pelaut. Saya bukan Nahkoda utamanya, saya Chief Officer di kapal kargo besar. Tapi ya, tujuan akhirnya adalah menjadi Nahkoda."

​Mata Reza berbinar. Obsesi masa kecilnya, yang selama ini tertutup oleh kenakalan remaja, mendadak terasa nyata dan bisa diraih.

​"Wah. Hebat sekali, Kak. Saya... dulu juga ingin jadi Nahkoda."

​"Kenapa tidak sekarang? Kalau kamu serius, Jakarta ini tempat yang tepat untuk memulai. Kamu harus sekolah pelayaran, kamu harus tekun, kamu harus disiplin. Dunia pelayaran keras, tapi hasilnya sepadan."

​Reza menceritakan secara singkat tentang masa lalunya yang ia putuskan untuk ia lupakan, berbohong bahwa ia merantau karena ingin mencari sekolah yang lebih baik. Ia tidak menyebut Nawangsih, tetapi ia terus berbicara tentang mimpinya.

​Arya mendengarkan, menawarkan bimbingan, bukan penghakiman. Ia berbicara tentang disiplin, tentang kerasnya pendidikan di sekolah pelayaran, tentang bagaimana ombak laut tidak mengenal ampun.

​Reza menyadari, Arya adalah jawaban atas doa yang bahkan tidak ia panjatkan. Ia adalah sosok ayah, sosok mentor, sosok ideal yang ia cari setelah pengusiran ibunya. Obrolan mereka sepanjang jalan, di tengah hiruk pikuk Jakarta yang tak pernah tidur, terasa seperti kuliah pertama dalam hidup baru Reza.

​Mereka tiba di restoran kecil. Arya membuka pintu dan mempersilakan Reza masuk.

​Reza melangkah masuk, meninggalkan bayang-bayang masa lalunya di Bandung. Malam itu, ia tidak hanya mendapatkan makan malam gratis, ia mendapatkan peta menuju masa depannya—masa depan yang, tanpa ia sadari, akan membawanya kembali ke jurang tragedi yang sudah ia tinggalkan

1
Agustina Fauzan
baguuus
gilangsaputra
keren
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!