NovelToon NovelToon
TAK AKAN KUKEMBALI PADAMU

TAK AKAN KUKEMBALI PADAMU

Status: tamat
Genre:Balas Dendam / CEO / Janda / Cerai / Obsesi / Penyesalan Suami / Tamat
Popularitas:19.7k
Nilai: 5
Nama Author: Archiemorarty

Lucia Davidson hidup dalam ilusi pernikahan yang indah hingga enam bulan kemudian semua kebenaran runtuh. Samuel, pria yang ia percaya sebagai suami sekaligus cintanya, ternyata hanya menikahinya demi balas dendam pada ayah Lucia. Dalam sekejap, ayah Lucia dipenjara hingga mengakhiri hidupnya, ibunya hancur lalu pergi meninggalkan Lucia, dan seluruh harta keluarganya direbut.

Ketika hidupnya sudah luluh lantak, Samuel bahkan tega menggugat cerai. Lucia jatuh ke titik terendah, sendirian, tanpa keluarga dan tanpa harta. Namun di tengah kehancuran itu, takdir memertemukan Lucia dengan Evan Williams, mantan pacar Lucia saat kuliah dulu.

Saat Lucia mulai menata hidupnya, bayangan masa lalu kembali menghantuinya. Samuel, sang mantan suami yang pernah menghancurkan segalanya, justru ingin kembali dengan mengatakan kalau Samuel tidak bisa hidup tanpa Lucia.

Apakah Lucia akan kembali pada Samuel atau dia memilih cinta lama yang terkubur?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 6. MENUNGGU

Shift kerja Lucia berakhir pukul dua pagi. Ia berjalan pulang ke apartemen kecilnya dengan mantel tipis menutupi tubuh. Hujan sudah reda, menyisakan genangan air yang memantulkan lampu jalan.

Langkahnya pelan, kepalanya dipenuhi pertanyaan. Kenapa Evan bisa muncul di toko itu? Apakah kebetulan semata, ataukah takdir sengaja mempertemukan mereka lagi?

Sesampainya di apartemen, Lucia menggantung mantelnya lalu duduk di kursi kayu dekat jendela. Ia menatap keluar, melihat butiran air yang menempel di kaca.

Bayangan Evan masih jelas di benaknya, mata yang sama, suara yang sama, senyum yang sama. Hanya saja, kini pria itu terlihat lebih dewasa, lebih matang. Ada kerutan samar di sekitar matanya, tanda perjalanan panjang yang juga ia jalani.

Lucia menyandarkan kepalanya ke kursi, mencoba memejamkan mata. Namun, wajah Evan terus muncul, bercampur dengan kenangan masa lalu yang ia pikir sudah terkubur.

Ia teringat hari pertama mereka bertemu di perpustakaan universitas. Evan kala itu dengan canggung menanyakan buku referensi tentang komputer dan teknologi, dan Lucia membantu mencarikannya. Dari percakapan singkat itu, mereka semakin sering bertemu, hingga akhirnya menjalin hubungan.

Namun hubungan itu kandas, bukan karena cinta yang hilang, melainkan karena dunia mereka berjalan ke arah berbeda. Lucia sibuk dengan drama keluarganya, sementara Evan mengejar kariernya. Mereka berpisah dengan luka, tapi juga dengan harapan bahwa suatu hari bisa saling menemukan kembali, harapan yang kini tampak begitu ironis sampai Lucia bertemu dengan Samuel dan termakan ucapan manisnya. Mungkin benar jika mengatakan Lucia bodoh karena termakan cinta, tapi yang mengatakan hal itu mungkin tidak pernah merasakan di posisi Lucia.

Lucia menghela napas panjang. Ia tahu, bertemu Evan berarti harus menghadapi dirinya sendiri, menghadapi masa lalu yang selama ini ia hindari. Dan itu menakutkan.

Hari berikutnya, Lucia kembali bekerja seperti biasa. Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa pertemuan dengan Evan hanyalah kebetulan, bahwa pria itu mungkin hanya mampir sekali dan tidak akan kembali lagi.

Namun ia salah.

Ketika jam menunjukkan hampir tengah malam, bel kecil di atas pintu kembali berdenting. Lucia menoleh, dan kali ini, ia sudah tidak kaget lagi ketika melihat Evan berdiri di sana.

Pria itu tersenyum tipis, seakan ingin menunjukkan bahwa ia benar-benar sengaja datang. Ia membeli hal yang sama seperti malam sebelumnya: air mineral, roti, dan kopi kaleng. Barang yang dekat dengan meja kasir.

Lucia menatapnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan. "Kau kembali."

Evan mengangguk. "Aku pikir ... mungkin kau berubah pikiran soal ajakanku bicara."

Lucia terdiam sejenak, lalu menyerahkan kantong plastik belanjaan. "Aku masih bekerja."

"Aku bisa menunggu," jawab Evan singkat, tapi tegas.

Lucia menelan ludah. Ada sesuatu pada keteguhan Evan yang membuatnya sulit menolak. Dan entah kenapa, jauh di dalam dirinya, ada bagian kecil yang lega karena ia kembali

Evan melangkah keluar, tidak ingin mengganggu Lucia yang sedang bekerja. Walau tanpa Lucia bisa lihat kalau ada raut sedih di wajah pria itu.

Lucia menyelesaikan shift-nya pukul satu dini hari. Lampu neon toko masih menyala terang, tapi jalanan di luar sepi. Ia mengganti seragamnya dengan jaket tipis dan celana jeans lusuh, lalu keluar membawa tas kecilnya.

Evan sudah menunggu di dekat pintu, berdiri di bawah lampu jalan yang remang. Tangannya memegang payung, meski hujan sudah berhenti. Saat melihat Lucia keluar, ia tersenyum, senyum itu sama seperti dulu, hanya saja kini ada kedewasaan yang menambah keteduhan.

"Kau benar-benar menungguku," kata Lucia pelan, hampir seperti teguran.

"Tentu saja," jawab Evan. "Aku tidak ingin melewatkan kesempatan ini lagi."

Lucia menatapnya sejenak, lalu berjalan perlahan. Evan mengikuti dari samping, langkahnya tenang. Malam itu udara masih dingin, aroma tanah basah tercium jelas.

Mereka berjalan tanpa tujuan jelas, hanya menyusuri trotoar yang basah. Suasana hening, namun bukan hening yang canggung. Lebih seperti hening yang menunggu kata-kata lahir dengan sendirinya.

"Jadi ... kau tinggal di sekitar sini?" tanya Evan, mencoba membuka percakapan.

Lucia mengangguk. "Ya. Apartemen kecil, tidak jauh dari sini."

"Aku tidak pernah menyangka akan bertemu denganmu di tempat seperti ini." Evan menoleh, matanya memandangi wajah Lucia yang diterangi cahaya lampu jalan. "Kau ... terlihat berbeda, tapi tetap sama."

Lucia tersenyum pahit. "Berbeda bagaimana?"

"Lebih dewasa. Lebih kuat, mungkin. Tapi matamu masih seperti dulu," jawab Evan.

Kalimat itu membuat hati Lucia bergetar. Sudah lama tidak ada yang menatapnya seperti itu, menembus lapisan luar dirinya, mencari jiwa yang pernah Lucia sembunyikan.

"Aku tidak merasa kuat," kata Lucia lirih.

Evan berhenti sejenak, menatapnya dengan sungguh-sungguh. "Kalau kau tidak kuat, kau tidak akan bertahan sejauh ini, Lucia."

Kata-kata itu menusuk hati Lucia. Ia menunduk, berusaha menahan emosi yang tiba-tiba muncul. Kenapa? Kenapa Evan sejak dulu seolah tahu apa yang terjadi dan Lucia rasakan. Rasanya Lucia tidak bisa berbohong jika di depan Evan.

Mereka berhenti di sebuah taman kecil, bangku kayu basah oleh sisa hujan. Evan membuka payungnya, lalu mempersilakan Lucia duduk.

"Jadi ..." Evan memulai, "bagaimana hidupmu selama ini?"

Lucia terdiam lama. Pertanyaan sederhana, tapi jawaban yang ia miliki terlalu berat untuk diucapkan.

"Aku bekerja di toko itu hampir setahun," akhirnya ia berkata. "Hidup sederhana saja. Tidak banyak yang bisa diceritakan."

Evan mengangguk pelan, seakan mengerti bahwa ada banyak hal yang tidak diucapkan Lucia. "Dan keluarga Barnett? Bagaimana mereka?"

Pertanyaan itu membuat napas Lucia tercekat. Ia tidak ingin membicarakan keluarganya, tidak malam ini.

"Mereka… tidak ada dalam hidupku lagi," jawabnya singkat, membuang muka seakan menolak untuk membicarakan masalah keluarganya.

Evan bisa melihat ada luka dalam kata-kata itu, tapi ia tidak mendesak. Ia tahu kapan harus berhenti.

"Aku mengerti," katanya akhirnya, memasang senyum untuk mencarikan suasana. "Kalau begitu, izinkan aku bercerita tentang diriku saja."

Lucia menoleh, untuk pertama kali malam itu matanya benar-benar menatap Evan tanpa menghindar.

"Aku sempat pindah ke Boston setelah lulus," kata Evan. "Bekerja di perusahaan teknologi cukup besar. Hidupku berjalan sesuai rencana, aku mendapatkan apa yang aku inginkan. Aku pulang ke Los Angeles beberapa bulan lalu, bekerja di kota ini."

Lucia mendengarkan dalam diam. Ada sesuatu yang menenangkan mendengar suara Evan kembali, suara yang dulu pernah menjadi bagian dari hidupnya sehari-hari.

"Lucy?" panggil Evan lagi, lebih pelan, "aku tahu mungkin aku tidak berhak menanyakan ini, tapi ... kenapa kau terlihat begitu berbeda? Ada sesuatu di matamu, sesuatu yang ... terluka. Aku tidak lagi melihat senyum di matamu."

Lucia terdiam. Pertanyaan itu seperti kunci yang mencoba membuka pintu yang selama ini ia kunci rapat. Ia bisa saja menolak menjawab, bisa saja menutup diri. Tapi entah kenapa, bersama Evan, ia merasa ingin bercerita, meski hanya sedikit.

"Aku menikah," katanya lirih, hampir seperti bisikan.

Evan terkejut, tapi ia tidak memotong.

"Pernikahan itu ... tidak seperti yang kupikirkan. Aku kehilangan banyak hal karena itu. Dan sekarang ... aku hanya berusaha bertahan hidup," jawab Lucia, menggigit bibir bawahnya untuk menekan emosi yang mulai keluar dari kotak hatinya.

Suara Lucia bergetar. Ia tidak menyebut nama Samuel, tidak menceritakan detail, tapi cukup untuk membuat Evan mengerti bahwa wanita di depannya telah melewati badai yang sangat besar.

Evan menatapnya dengan mata yang penuh empati. "Aku minta maaf, Lucy. Karena aku tidak ada di sana saat kau membutuhkannya."

Lucia menggeleng pelan. "Itu bukan salahmu. Hidup hanya berjalan ke arah yang salah. Atau mungkin aku yang salah."

Malam semakin larut, dan percakapan mereka mengalir tanpa sadar. Dari hal-hal kecil di masa lalu, tentang dosen yang dulu selalu marah di kelas, tentang kafe favorit mereka di dekat kampus, hingga hal-hal yang lebih dalam.

Lucia merasa aneh. Sudah lama ia tidak merasa seperti ini, didengar, dipahami, ditemani tanpa dihakimi. Bersama Evan, seolah-olah ia kembali menjadi Lucia yang dulu, sebelum dunia menghancurkannya.

Namun, rasa takut juga menyelinap. Bagaimana jika ini hanya sementara? Bagaimana jika Evan akhirnya melihat luka-lukanya dan pergi, seperti orang lain? Bagaimana jika Evan tahu kalau Lucia anak dari seorang kriminal?

"Lucy," kata Evan tiba-tiba, "aku tidak tahu apa yang sudah kau lalui. Tapi aku ingin kau tahu satu hal, kau tidak sendirian. Setidaknya, tidak lagi."

Lucia terdiam, matanya berkaca-kaca. Kalimat itu sederhana, tapi terasa seperti obat bagi jiwa yang lama kering.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa ada seseorang yang benar-benar melihat dirinya.

Jam hampir menunjuk pukul tiga pagi ketika Lucia akhirnya berdiri. "Aku harus pulang."

Evan mengangguk. "Boleh aku mengantarmu?"

Lucia ragu sejenak, lalu mengangguk. Mereka berjalan bersama menuju apartemen kecil Lucia. Sepanjang jalan, tidak banyak kata yang terucap, tapi kehadiran Evan di sampingnya cukup membuat langkah Lucia terasa lebih ringan.

Sesampainya di depan apartemen, Lucia berhenti. "Terima kasih, Evan."

Evan menatap pintu apartemen sederhana itu, lalu kembali menatap Lucia. "Boleh aku menemuimu lagi?"

Lucia menelan ludah. Ada bagian dari dirinya yang ingin berkata tidak, untuk melindungi dirinya dari rasa sakit yang mungkin datang. Tapi ada juga bagian lain yang begitu ingin berkata ya.

"Lihat nanti," jawabnya akhirnya, dengan suara bergetar.

Evan tersenyum. "Itu sudah cukup. Tidurlah yang nyenyak."

Evan melangkah pergi, meninggalkan Lucia berdiri di depan pintunya sendiri.

Lucia membuka pintu, masuk ke apartemennya, lalu bersandar pada dinding. Dadanya berdegup kencang, matanya berkaca-kaca.

Untuk pertama kali setelah sekian lama, hatinya bergetar lagi. Ada sedikit antusias setelah satu tahun yang panjang hidup dalam kehampaan.

1
Endang Sulistia
bagus Thor..
Archiemorarty: terima kasih kak udah baca ceritanya semoga menghibur waktu senggangnya 🥰
total 1 replies
Endang Sulistia
fix...Samuel jadi Samsul ya...🤣🤣🤣
Endang Sulistia
deg deg an..
Endang Sulistia
bikin darting..
Endang Sulistia
auto liat sinopsisnya lagi ..😂😂😂
Miss Typo
huaaaaaa aku terharu ikut merasakan kebahagiaan Lucia dan semua yg sayang padanya 😭
belum rela pisah dah tamat aja, dan bacanya telat lagi 🥹

terimakasih thor,,,selalu semangat dgn karya-karyanya di novel 💪
Archiemorarty: terima kasih kembali 🥰
total 1 replies
Miss Typo
nikah deh nikah biar lebih leluasa mau ngapain aja 😁
Miss Typo
terharu huaaaaaa 😭
Miss Typo
kok deg2an bacanya
Miss Typo
semangat semangat semangat Lucia, kamu hebat bisa melawan si Samsul itu
Ir
tapi kalo jadi Evan aku oga nerima investor yg kemarin nyabut Dana seenak udel nya untuk gabung sama samsul, giliran si samsul bangkrut gabung lagi sama Evan dihh ga like
Ir: hahaha pundung dia 🤣🤣🤣
total 4 replies
Jelita S
terimakasih Thor buat cerita indahnya,,sukses terus dalam berkarya Daan semoga cerita2 baru menyusul lagi
Archiemorarty: Terima kasih udah baca ceritanya, maap kalau kurang memuaskan. ditunggu cerita selanjutnya yang lebih uwahhh ya 🥰
total 1 replies
Miss Typo
kapan Lucia akan kuat tahan banting berani melawan si Samsul
Miss Typo: dan ku tunggu saatnya itu datang
total 2 replies
Miss Typo
semangat Ervan Deren Clara dan Lucia, kalian pasti bisa menghadapi badai dan mengalahkan si Samsul
Miss Typo
apa sih sebenarnya maunya si Samsul itu, apa tujuan sebenarnya mendekati Lucia lagi, bikin geram aja tuh orang.
aku berharap Lucia lebih kuat lebih berani menghadapi si Samsul itu
Miss Typo: suruh nulis sendiri aja kalau gak sesuai dengannya 🫢
total 4 replies
Ir
woyyy samsul meskipun kalo di posisi Lucia gua juga ogah balikan sama lu, tapi setidaknya bersaing secara sehat, minta maaf yg tulus dan nyesel bener² nyesel, bukan malah pake kekerasan tulul, yg dengan cara tulus aja belum tentu mau balikan apa lagi pake emosi
Archiemorarty: Hooh, padahal mau dikasih alur yang boom itu bentar lagi. karena ya pada bilang mau to the point, ku akhirin aja. 🤣
total 3 replies
Ir
padahal kemarin aku cuma minta speakup ehh malah di ajak live streaming 😆
Archiemorarty: Kan dah kubilang on proses, soalnya bukan balas dendam temanya. ntar cerita selanjutnya kubuatin yang tema balas dendam, biar pada tahu balas dendam yang slay itu gimana... /Slight/
total 1 replies
Miss Typo
wah gila dasar tuh kapsul manusia serakah gak tau diri, dulu membuat Lucia menderita skrg gak mau melepaskan, bikin geram aja tuh manusia satu itu 😤
semangat Evan Deren, semoga kalau an bisa mengalahkan Samsul itu

baru bisa baca lagi 🥹
Ir
kak dia hari yg lalu kaka update seperti biasanya kan yaa 3bab nah di aku tuh ga muncul lho seharian, tau update kemarin pagi sekitar jam set 11an langsung 4bab gitu, satu bab nya yg update jam 9 pagi
Archiemorarty: Iya dari Minggu agak-agak app nya emang.
total 3 replies
Aretha Shanum
ko aku nyesel y bca, kirain setelah cerai ketemu Evan akan lebih unggul dari David, dan tidak mudah
ditindas, lah ko jadi balik ke awal
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!