NovelToon NovelToon
A Promise Between Us

A Promise Between Us

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cinta Seiring Waktu / Enemy to Lovers
Popularitas:686
Nilai: 5
Nama Author: Faustina Maretta

Seorang wanita muda dengan ambisinya menjadi seorang manager marketing di perusahaan besar. Tasya harus bersaing dengan Revan Aditya, seorang pemuda tampan dan cerdas. Saat mereka sedang mempresentasikan strategi marketing tiba-tiba data Tasya ada yang menyabotase. Tasya menuduh Revan yang sudah merusak datanya karena mengingat mereka adalah rivalitas. Apakah Revan yang merusak semua data milik Tasya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

"Kamu terlalu ikut campur."

Tasya baru saja ingin duduk ke kursinya ketika pandangan matanya berkunang-kunang. Rasa sesak itu kembali menyerang, napasnya terasa berat hingga tubuhnya goyah. Dalam sekejap, ia terkulai lemas dan jatuh ke lantai.

Suasana kantor yang awalnya tenang langsung ricuh. Beberapa rekan kerja berteriak panik, kursi berderit ditarik, dan orang-orang berlari menghampiri. Fira yang paling dekat dengan Tasya segera berjongkok, menepuk-nepuk pipinya dengan wajah cemas.

"Tas! Tasya!" panggil Fira panik.

"Fir, Tasya kenapa?" tanya Aldo yang langsung menghampiri kerumunan.

Dari balik kaca transparan ruang kerjanya, Revan yang sedang rapat mata mendadak terpaku melihat kerumunan itu. Tatapannya langsung menemukan sosok Tasya yang terkulai di lantai. Tanpa pikir panjang, ia bangkit, membuka pintu ruangannya dengan kasar, dan bergegas menghampiri.

"Minggir!" ucap Revan tegas, mendorong beberapa orang agar bisa sampai ke sisi Tasya.

Tanpa banyak bicara, Revan mengangkat tubuh Tasya ke dalam gendongannya. Para karyawan hanya bisa menatap kaget, apalagi melihat ekspresi dingin Revan berubah serius dan penuh kepanikan.

"Aldo, ambilkan kunci mobilku. Cepat!" perintah Revan dengan nada tak bisa dibantah.

Aldo tergagap, buru-buru mengikuti arahan bosnya. Tak lama, Revan membawa Tasya keluar gedung, langkahnya cepat tapi hati-hati, sementara karyawan lain masih menatap bingung dan berbisik-bisik.

Mobil hitam mewah milik Revan sudah menunggu. Dengan sigap ia membaringkan Tasya di kursi belakang, lalu masuk ke kursi pengemudi. Mesin mobil meraung, dan tanpa menunggu lebih lama, ia langsung melajukan mobilnya menuju rumah sakit.

---

Di ruang gawat darurat, tubuh Tasya terbujur lemah di atas ranjang periksa. Revan berdiri di sisi kanan, wajahnya tegang, sementara Fira dan Aldo duduk tak jauh dari sana dengan raut cemas.

Seorang dokter masuk bersama perawat, memeriksa kondisi Tasya dengan teliti. Termometer digital memeriksa suhu tubuh Tasya, tensimeter melingkar di lengannya.

"Demam tinggi," ucap dokter setelah mencatat hasil pemeriksaan awal. "Tapi untuk memastikan, saya sarankan agar pasien menjalani beberapa tes kesehatan tambahan, termasuk tes darah."

Revan langsung menoleh pada dokter. "Seberapa serius, Dok?" suaranya terdengar menahan panik.

"Belum bisa dipastikan sekarang," jawab dokter tenang. "Tapi lebih baik kita periksa lebih lanjut agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan."

Fira menggenggam tangan Tasya erat, sementara Aldo hanya bisa menghela napas panjang, menatap wajah pucat Tasya dengan rasa khawatir yang sama.

Tasya mulai membuka matanya. Wajahnya pucat, namun matanya berusaha menatap sekeliling. Nafasnya masih berat, tetapi suara pertamanya justru membuat semua orang kaget.

"Aku harus balik kerja … jangan biarkan deadline tertunda," ucapnya lirih sambil mencoba bangun.

Revan langsung menahan bahunya dengan tegas. "Hei, jangan gil4! Kamu baru saja pingsan, Sya. Mau mati di meja kerja, hah?" Nada suaranya keras, meskipun di balik itu jelas ada kekhawatiran.

Fira yang sejak tadi menunggu dengan wajah penuh cemas akhirnya meledak. "Tasya! Kamu itu keras kepala banget! Kerja boleh, tapi kesehatan kamu itu lebih penting. Apa kamu mau bikin aku khawatir terus?!"

Tasya terdiam. Matanya berkaca-kaca, tapi bibirnya tetap bergetar. "Aku … aku masih sanggup. Aku masih bisa."

Aldo yang berdiri tak jauh dari situ segera mendekat, lalu duduk di samping ranjang. Tangannya menggenggam tangan Tasya dengan hangat. "Dengar, Tas. Nggak ada yang kecewa sama kamu kalau kamu istirahat beberapa hari. Tapi kamu harus sadar, tubuhmu juga butuh istirahat. Kalau kamu hancur, siapa yang bisa terus berjuang bareng kami?"

Tasya menutup matanya sebentar, lalu menghela nafas panjang. Rasa sesak itu masih ada, tapi dalam tatapan Aldo, ia menemukan sedikit ketenangan.

Sementara itu, Revan berdiri di dekat pintu, menatap Tasya dengan rahang mengeras. Meski tidak berkata apa-apa lagi, jelas dari sorot matanya, ia tidak akan membiarkan Tasya kembali ke kantor dalam waktu dekat.

Revan menatap Fira dan Aldo dengan nada serius. "Udah, kalian balik ke kantor. Biar aku yang jagain Tasya di sini."

Fira sempat ingin protes, tapi melihat wajah Revan yang tegas, dia akhirnya menghela napas. "Yaudah, tapi kalo ada apa-apa langsung kabarin aku, Van," ucap Fira sebelum akhirnya berjalan keluar bersama Aldo.

Kini ruangan itu hanya menyisakan Revan dan Tasya. Suasana terasa lebih hening.

Tasya menggeliat sedikit, lalu berusaha bangun dari ranjang, tapi langsung ditahan Revan. "Jangan maksa. Kamu butuh istirahat."

Tasya menunduk, suaranya pelan. "Kamu juga harus balik ke kantor, Revan. Aku nggak apa-apa di sini sendiri kok."

Revan langsung menggeleng, suaranya mantap. "Enggak."

Tasya mendongak, menatapnya heran. "Kenapa? Kamu kan banyak kerjaan. Aku juga nggak mau nyusahin kamu."

Revan menarik kursi, duduk di samping ranjang, tatapannya lembut tapi penuh ketegasan. "Aku bilang enggak ya enggak, Sya. Aku nggak akan ninggalin kamu sampai keluargamu datang."

Kalimat itu membuat dada Tasya sedikit sesak. Dia terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya berkata lirih. "Papa aku sibuk ... aku nggak mau ganggu dia."

Revan menatap Tasya dengan penuh empati, tapi tidak memaksa. Ia hanya bersandar di kursi, kedua tangannya terlipat. "Yaudah, kalo gitu aku yang temenin kamu. Suka nggak suka, terima aja."

Malam itu rumah sakit mulai sepi. Cahaya lampu di lorong terasa temaram, hanya suara roda ranjang pasien dan langkah perawat yang sesekali terdengar.

Tasya mencoba membaringkan tubuhnya lebih nyaman, tapi rasa tidak tenang membuatnya gelisah. Ia bisa merasakan tatapan Revan yang terus menelusuri tiap detail dirinya.

"Apa sih?" suara Tasya pecah pelan, berusaha terdengar biasa. "Kamu dari tadi liatin aku mulu. Nggak capek?"

Revan tidak menjawab langsung. Ia hanya mencondongkan tubuh sedikit, dagunya bertumpu di tangan. Tatapannya dalam, seolah sedang membaca sesuatu yang tidak bisa dilihat orang lain.

"Aku cuma mau pastiin kamu baik-baik aja," jawabnya akhirnya. Suaranya rendah, berat, tapi penuh ketegasan.

Tasya mendengus, berusaha menutupi kegugupannya. "Aku nggak apa-apa. Lagi pula cuma kecapekan. Kamu nggak perlu kayak … kayak gini."

"Kayak gini?" Revan mengulang, alisnya terangkat.

"Ya … kayak orang yang lagi ngejagain pasien sekarat aja," gerutu Tasya, wajahnya memerah. "Aku jadi nggak nyaman, tahu nggak."

Revan tersenyum tipis, tapi matanya tetap tidak berpaling. "Kalau kamu nggak nyaman karena aku ada di sini, itu lebih baik … daripada aku pulang terus nggak bisa tenang mikirin kamu sendirian di rumah sakit."

"Tapi aku kan udah bilang, aku bisa sendiri."

Revan menggeleng pelan. "Kamu keras kepala, Sya. Aku lebih keras kepala dari kamu. Jadi jangan coba-coba usir aku."

Tasya menggigit bibir bawahnya, menoleh ke arah lain, berusaha menghindari sorot mata Revan yang terlalu dalam. Ia tidak pernah ditatap dengan intensitas seperti itu. Tatapan yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat, sekaligus membuatnya merasa… telanjang.

Detik-detik berjalan lama. Hanya suara detak jarum jam di dinding yang terdengar jelas.

"Revan …" Tasya akhirnya bersuara pelan. "Kenapa kamu ngotot banget?"

Revan menghela napas panjang, suaranya merendah. "Karena aku tahu kamu nggak akan manggil Papa kamu. Dan aku nggak mau kamu ngelewatin semua ini sendirian."

Tasya terdiam. Hatinya mencelos, tapi ia tetap berusaha bersikap dingin. "Kamu terlalu ikut campur."

Revan tersenyum samar, kali ini lebih hangat. "Kalau soal kamu, aku emang nggak bisa diem aja."

Tasya menoleh sekilas, lalu buru-buru mengalihkan pandangan. Wajahnya memanas. Ada sesuatu yang sulit ia pahami, antara kesal, bingung, dan … sesuatu yang lain.

TO BE CONTINUED

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!