NovelToon NovelToon
Jati Pengantin Keramat

Jati Pengantin Keramat

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Tumbal
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: Septi.sari

Gendhis Banuwati, wanita berusia 20 tahun itu tidak percaya dengan penyakit yang dialami sang Ayah saat ini. Joko Rekso, dinyatakan mengalami gangguan mental, usai menebang 2 pohon jati di ujung desanya.

Hal di luar nalar pun terjadi. Begitu jati itu di tebang, darah segar mengalir dari batangnya.

"KEMBALIKAN TUBUH KAMI KE TEMPAT SEMULA!"

Dalam mimpi itu, Pak Joko diminta untuk mengembalikan kayu yang sudah ia tebang ke tempat semula. Pihak keluarga sempat tak percaya. Mereka hanya menganggap itu layaknya bunga tidur saja.

Akan tetapi, 1 minggu semenjak kejadian itu ... Joko benar-benar mendapat balak atas ulahnya. Ia tetiba menjadi ling lung, bahkan sampai lupa dengan jati dirinya sendiri.

2 teman Pak Joko yang tak lain, Mukti dan Arman ... Mereka juga sama menjadi gila.

Semenjak itu, Gendhis berniat mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan tempat yang di juluki dengan TANAH KERAMAT itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jati Keramat 6

Waktu sudah menunjukan pukul 1 malam.

Keadaan desa sudah sangat sepi, seolah tidak ada kehidupan disana. Lampu petromak maupun lampu listrik juga sudah di padamkan sejak habis isyak.

Namun, anehnya ... Pak Joko saat ini malah sibuk berjalan menyelusuri jalanan kerikil, dengan tanah berlebur agak becek. Seakan, tadi habis turun hujan yang sangat deras.

Hembusan angin menyamai perjalanan Pak Joko saat ini. Semakin ia melangkah, semakin jauh pula jalan yang ia pijak. Di hadapanya, jalanan sesakan tiada ujung.

Pak Joko berhenti di depan plasmen Desa Sendang Wangi. Tubuh Pak Joko membeku, namun kedua netranya mengitari tulisan yang sudah berlumut itu. Ada rasa yang sulit ia ungkapkan saat ini.

Sunyi. Senyap. Bahkan, suara jangkrik saja tidak ada. Ada apa dengan Desanya kini.

Dari arah dalam plasmen. Lurah lamanya, yang tak lain Pak Seno. Kini berjalan dengan langkah mantabnya, sambil menarik sesuatu. Dan yang lebih mencengangkan. Ada Eyang Wuluh yang kini mengikuti dari belakang.

Bukan! Wanita tua itu bukan berjalan, melainkan duduk tenang diatas kereta kencana bewarna emas. Suara lonceng kuda itu sangat nyaring sekali.

Kricinggg!!! Krincingggg!!!

Mulut Pak Joko terkunci rapat keberadaanya seolah tak terlihat. Bagaikan terhalang sebuah dinding tinggi besar, yang tak siapapun mampu mengoyaknya.

"Ni ... Ni-Ningsih?! Dan itu, suaminya ... Ruu-Rus, Rusman!" Suara Pak Joko tercekat. Lidahnya terasa kelu, sulit sekali untuk mengucapkannya.

Bukan hewan yang ditarik tadi. Bukan juga barang. Melainkan ... Manusia.

Meskipun ketakutan. Namun rasa penasaran Pak Joko mengalahkan itu. Tanpa sadar, kakinya terhipnotis mengikuti kereta kencana tadi.

Lagi-lagi Pak Joko tercengang. Mulutnya mengatup kembali, dan hal di luar nalar kembali terjadi.

Eyang Wuluh turun, dibantu dua sosok hitam yang menggunakan jubah. Wajahnya sungguh berbeda dari biasana. Kali ini, Eyang wuluh menggunakan sanggul adat jawa. Dengan konde besar yang menyelimuti rambutnya.

"TANAM KEDUANYA!!!"

Suara Eyang Wuluh bagaikan petir yang menyambar malam gelap itu. Pak Seno masih berdiri memandang kedua orang berjubah tadi melakukan tugasnya.

Rintihan tangis, pilu, seakan tidak diraksakan oleh kedua pasangan tua itu. Air mata pengantin baru itu mengalir luruh, memandang dengan sorot mata memohon.

Jantung Pak Joko berhenti ditempat. Dadanya terhimpit batu besar, hingga susah sekali untuknya bernafas. Oksigen dalam udara itu nyaring hilang. Tubuhnya membeku, bahkan sangat susah sekali menelan ludahnya.

Dan memang benar. Darah itu ... Darah itu murni darah manusia!

"IKAT KEDUA TANGANYA KEATAS!!!" Kali ini bukan Eyang Wuluh yang bersuara. Melainkan Tuan Seno.

Bak tersihir, mulut pengantin tadi seolah membisu. Suaranya tercekik, dan hanya mampu mengekspresikan dengan tangisanya.

Setelah dua pengantin tadi tertanam separuh betisnya. Eyang Wuluh berjalan mundur tiga langkah. Pak Seno sudah meletakan satu nampan sajen didepan dua pengantin tadi.

Untuk sesaat, keduanya saling diam. Mulurnya berkumat kamit membacakan semua mantra. Ritual itu berjalan hampir 2 jam lamanya.

"Jokooo ..... Kembalikan tubuh kami, Jokoooooo .....!!!"

"Jokooooo ..... Kembalikan tubuh kami .....!!"

"Nggak! Nggak mungkin! Nggakkkkk ......!" Pak Joko terbangun dari tidurnya dengan nafas tersengal kuat. Keringat itu bercucuran mengalir dari pelipisnya. Wajanya memerah, hingga hembusan nafasnya terdengar kuat.

Deg! Deg!

Jantungnya berpaju lebih kuat, hingga membuat Bu Siti kini ikut terbangun juga.

"Ya Allah Gusti, Pak! Kamu ini kenapa? Mimpi apa coba sampai ngelindur kaya gini?!" Bu Siti segera turun, dan menuangkan air putih untuk diberikan pada sang Suami. "Ini, diminum dulu airnya!"

Tangan Pak Joko sampai ikut gemetaran menerima gelas itu. Meskipun begitu, Pak Joko tetap meminumnya hingga tatas.

"Bapak mimpi buruk, Bu!" Seru Pak Joko setelah mencoba menahan nafasnya.

"Mimpi apa, Pak? Makanya kalau tidur itu sholat dulu. Sholat aja Bapak lupa, apalagi cuma baca doa!" Kesal Bu Siti mencerca.

"Bapak di suruh mengembalikan kayu jati itu, Bu!"

Bu Siti tersentak. Kabar 20 tahun yang lalu itu, kini seolah berjalan kembali dalam pandangan Bu Siti. Hal janggal tentang tumbuhnya dua pohon jati dalam sehari itu, dulu sempat membuat heboh masyarakat Desa Sendang Wangi pada masanya.

Namun, banyak orang yang menepis itu semua. Sebagian masyarakat beranggapan, itu hanya metamorfosa alam saja. Banyak pohon yang tumbuh dalam sekejab, namun tidak memiliki misteri apapun.

"Itu mungkin karena Bapak kepikiran 'kan ucapan Ibu tadi pagi! Sudah, lebih baik Bapak tidur lagi. Bapak palingan juga kecapean!" Timpal Bu Siti yang mencoba mengenyahkan semua itu.

Meskipun kembali merebahkan tubuhnya, hingga pagi tiba pun ... Pak Joko masih terjaga.

Rintihan Ningsih kembali menggema dalam pikiranya. Ningsih dan Rusman dinyatakan hilang 20 tahun yang lalu. Namun, banyak yang menyatakan pula, jika kedua pengantin baru itu pergi merantau.

Entah manakah yang benar.

Mengingat hari ini minggu, jadi Gendhis bangun lebih awal karena ingin membantu Bu Siti ke pasar menjual hasil kebunya.

Bu Siti sudah menggendong satu karung Ubi ukuran tanggung. Sementara Gendhis, ia kini membawa dua tas anyam besar, yang dimana didalamnya terdapat beberapa jenis sayuran segar.

Pak Joko duduk diteras. Wajahnya tenang, namun sorot matanya hanya tertuju satu titik fokus. Dalam dunianya, Pak Joko tengah merasakan ketenangan, seolah ia tengah hidup kembali.

Kopi serta rokok didepanya, ia biarkan dingin, tersapu oleh sendunya angin pagi. Waktu masih menunjukan pukul 5 pagi.

"Bapak kenapa sih, Bu? Kok melamun sejak tadi?" Celetuk Gendhis menatap jalanan batu didepanya.

"Ibu juga nggak tahun, Ndis! Tapi kata Bapakmu, tadi malam dia habis mimpi buruk!"

Gendhis mengernyit. Ia tatap Ibunya sekilas, lalu kembali menatap jalanan didepanya. "Buruk gimana, Bu? Bapak itu ada-ada aja, sih!"

"Katanya, dia disuruh buat balikin kayu jati yang kemarin ditebang sama Bapakmu!" Sahut Bu Siti.

Gendhis terdiam. Ia teringat waktu lalu, disaat ia di jemput sang Ayah, tapi melihat dua sosok pengantin tanpa rupa. Apa itu semua ada hubunganya? Namun, apa mungkin? Siapakah sosok pengantin misterius itu?!

"Mungkin itu hanya bunga tidur saja, Bu! Lain kali kalau Bapak bekerja biar hati-hati!" Kata Gendhis mencoba mengenyahkan semuanya.

Ia hanya tidak ingin, jika mitos dalam desanya itu semakin tersebar. Dan karena mitos itulah, para makhluk kasat mata memanfaatkan situasi. Gendhis yakin, semua itu hanya kejanggalan sesaat.

Tanpa terasa, keduanya berjalan sudah hampir keluar dari desa. Keduanya saat ini tengah melewati rumah Lurahnya-Pak Woyo.

Sreekkk ... Sreekkk!!!

Bu Siti dan Gendhis menghentikan langkahnya, kala melihat Eyang Wuluh sedang menyapu halaman rumah dekat pagar.

"Eyang, mari ...." sapa Bu Siti menundukan kepalanya.

Gendhis juga melakukan yang sama. Namun, kedua sorot matanya juga mengedar ke rumah joglo itu. Masih sepagi ini, tapi wanita tua itu sudah menyapu halaman sendirian.

Batin Gendhis, mungkin Nandaka belum bangun.

Eyang Wuluh hanya menghentikan sapu lidinya. Ia mengangguk lemah, tanpa ekspresi apapun diwajahnya.

Entah mengapa, tubuh Bu Siti meremang, hingga bulu kudunya berdiri. Dengan langkah cepat, ia menarik Gendhis agar segera melanjutkan jalanya.

***

"Kemarin habis makan sayur kacang panjang. Tapi setelah itu kaki Eyang sakit, Nda! Di buat jalan rasanya ngilu!"

Nandaka masih mengompres kaki sang Eyang menggunakan air hangat. Rencananya, Nandaka ingin membawa Neneknya pergi ke rumah sakit untuk cek kesehatan. Namun apa? Lagi-lagi Eyang Wuluh menolaknya.

"Ayo, Nanda bantu buat berjalan. Eyang tidur dikamar depan saja, biar dekat sama kamar Nanda!"

Pagi itu, bertepatan pukul 5, Nandaka memapah badan Eyang Wuluh bersama Mbok Sri, untuk dibawa ke kamar depan. Meski sempat menolak, namun karena kegigihan Nanda membujuk. Akhirnya sang Eyang mau di pindahkan.

Tok!! Tok!!!

"Biar saya yang bukain, Mas," seru Mbok Sri yang sudah akan beranjak.

"Mbok, biar Nanda saja! Simbok jagain Eyang dulu!" Nanda segera bangkit dari tepi ranjang, lalu berjalan kedepan untuk membukakan pintu.

Eyang Wuluh kembali diam begitu cucunya pergi. Ia dengan penampilan datarnya kembali muncul. Ia melambaikan tangan pada Mbok Sri, agar wanita tua itu mendekat.

"Bagaimana, Eyang? Eyang butuh sesuatu?"

Eyang Wuluh enggan menatap. Sejak tadi sorot matanya lurus kedepan, seakan ada satu fokus yang lebih menarik untuk ia pandang.

"Ambilkan satu bunga kantil. Ambilkan juga peti kecil dibawah ranjang!"

1
Lucas
seru banget lo ceritanya
Septi.sari: Kak terimaaksih🙏❤❤
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!