NovelToon NovelToon
Terlahir Kembali Memilih Menikahi Pria Koma

Terlahir Kembali Memilih Menikahi Pria Koma

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta setelah menikah / Mengubah Takdir / Dark Romance
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: Novia na1806

Aruna pernah memiliki segalanya — cinta, sahabat, dan kehidupan yang ia kira sempurna.
Namun segalanya hancur pada malam ketika Andrian, pria yang ia cintai sepenuh hati, menusukkan pisau ke dadanya… sementara Naya, sahabat yang ia percaya, hanya tersenyum puas di balik pengkhianatan itu.

Kematian seharusnya menjadi akhir. Tapi ketika Aruna membuka mata, ia justru terbangun tiga tahun sebelum kematiannya — di saat semuanya belum terjadi. Dunia yang sama, orang-orang yang sama, tapi kali ini hatinya berbeda.

Ia bersumpah: tidak akan jatuh cinta lagi. Tidak akan mempercayai siapa pun lagi.
Namun takdir mempermainkannya ketika ia diminta menjadi istri seorang pria yang sedang koma — Leo Adikara, pewaris keluarga ternama yang hidupnya menggantung di antara hidup dan mati

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novia na1806, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 9 -- pria misterius?

Cahaya matahari menembus tirai renda putih, menebarkan rona keemasan ke seluruh ruang tamu keluarga Surya. Udara pagi terasa hangat dan wangi, membawa aroma melati dari taman belakang. Di meja marmer, teh melati mengepulkan uap lembut, berpadu dengan suara lembut sendok yang beradu dengan porselen.

Suasana begitu damai, seolah tak ada satu hal pun yang bisa mengusiknya.

Aruna duduk bersandar di sofa krem dengan posisi tenang. Gaun santainya berwarna biru lembut, rambut hitamnya jatuh rapi di bahu, sebagian tersapu cahaya matahari yang menyorot dari jendela. Tangannya memegang cangkir teh dengan gerakan halus, seperti kebiasaan seorang wanita yang sudah terbiasa menahan diri dari segala emosi.

Ayahnya duduk membaca koran, sementara ibunya sibuk mengoleskan selai stroberi ke roti panggang. “Pagi ini udara terasa segar, ya,” ujar ibunya sambil tersenyum kecil.

Aruna mengangguk. “Ya, Bu… segar sekali.”

Suaranya lembut, tapi pandangan matanya kosong sejenak — menatap uap teh yang menari di udara seolah menyembunyikan sesuatu di balik ketenangan itu.

Ayahnya menyalakan televisi untuk menonton berita pagi. Suara penyiar terdengar tenang di antara dentingan sendok dan desiran angin yang menyusup lewat jendela.

|"Berita terbaru pagi ini, telah terjadi kecelakaan hebat di jalan utama kawasan perbukitan…”

Ibu Aruna spontan menoleh. Ayahnya meletakkan koran, wajahnya serius. Aruna hanya menurunkan cangkirnya perlahan.

|“Sebuah mobil mewah berwarna hitam dilaporkan menabrak pembatas jalan setelah hilang kendali. Dua korban diidentifikasi bernama Andrian Wijaya dan seorang wanita bernama Naya Prameswari.”

Kedua orang tua Aruna langsung terdiam. Ibunya menutup mulut dengan tangan, wajahnya berubah pucat.

“Ya Tuhan… itu temanmu kan, Ru?”

Aruna mengangkat pandangannya ke layar televisi.

Di sana, terlihat potongan rekaman: mobil yang ringsek, petugas berlarian, dan suara sirene memenuhi udara. Dua tubuh diangkat dengan tandu, wajah mereka tertutup kain putih.

Matanya menatap tanpa ekspresi, tak ada keterkejutan. Tak ada kepanikan. Hanya tatapan datar, nyaris seperti sedang menatap sesuatu yang sudah ia ketahui jauh sebelum semua orang.

Ia mengambil cangkirnya lagi, menyesap perlahan teh yang kini sudah dingin.

“Ya, Bu. Itu mereka.”

Nada suaranya lembut tapi tanpa getar, seolah menyampaikan fakta sederhana. Ibunya menatapnya bingung. “Kau tidak akan pergi menjenguk mereka?”

Aruna menggeleng perlahan, menatap sang ibu dengan senyum samar. “Tidak perlu, Bu. Mereka pasti sudah dikelilingi banyak orang. Aku yakin mereka tidak kekurangan simpati.”

Kalimat itu sederhana, tapi nada suaranya… begitu tenang, terlalu tenang, hingga membuat udara di ruangan itu seperti membeku sejenak.

Ayahnya berdeham pelan, mencoba mengalihkan suasana. “Kasihan mereka. Anak muda berbakat, masa depan masih panjang…”

Aruna hanya menatap layar televisi lagi.

|“Polisi menduga rem mobil tidak berfungsi…”

Suara penyiar menggema samar di telinganya, senyum tipis terlukis di bibir Aruna — kecil sekali, hampir tak terlihat, namun cukup untuk menunjukkan kepuasan yang tenang.

Ia menatap bayangan dirinya di permukaan meja kaca:

Wajah lembut, mata tenang, senyum samar — semua terlihat sempurna. Tapi hanya ia yang tahu, di balik itu ada badai yang telah reda sesuai kehendaknya.

Ibunya kemudian menghela napas dan mematikan televisi.

Ia menatap Aruna dengan lembut. “Ru, nanti siang kita ada pertemuan lagi dengan keluarga Tuan .”

Aruna menoleh perlahan, menyandarkan punggungnya di sofa. “Pertemuan lagi, Bu?”

“Iya, Sayang,” jawab ibunya sambil tersenyum lembut. “Keluarga adikara ingin memastikan semua persiapan berjalan lancar. Hari ini kita akan memilih gaun untukmu. Tanggal pernikahanmu sudah ditetapkan besok — katanya itu hari baik menurut hitungan mereka.”

Aruna terdiam sesaat.

Matanya menatap wajah ibunya yang begitu bahagia, seolah tidak ada awan mendung yang pernah melintas di kehidupan mereka.

Lalu ia tersenyum, lembut sekali.

Senyum yang begitu anggun hingga membuat sang ibu semakin lega.

“Baik, Bu,” jawabnya pelan. “Aku akan bersiap.”

Ibunya mengangguk puas. “Bagus. Aku sudah menyiapkan desainer yang datang khusus dari Milan. Kau akan terlihat sangat cantik, Aruna.”

Aruna menunduk sedikit, menatap cangkirnya.

Tangannya bergetar halus — bukan karena gugup, tapi karena sesuatu yang lebih dalam.

Dalam hati, ia membisikkan sesuatu yang tak terucap di bibirnya:

Jatuh cinta, ya? Aku ingin melihat siapa yang akan jatuh kali ini.

Ia menegakkan tubuhnya, menatap lembut ke arah ibunya.

“Terima kasih, Bu. Aku akan memakai gaun apa pun yang Ibu pilihkan. Selama Ibu senang, aku juga senang.”

Nada suaranya terdengar tulus, namun di balik mata itu, ada sesuatu yang lain — sesuatu yang hanya diketahui oleh mereka yang sudah terlalu lama menelan kepahitan hidup.

Di luar, burung-burung kembali berkicau. Matahari semakin tinggi, menebarkan cahaya yang lebih terang.

Namun di dalam hati Aruna, cahaya itu justru terasa dingin.

Ia menatap jendela besar di ruang tamu. Dari sana, ia bisa melihat taman kecil yang dahulu sering ia rawat bersama ibunya. Kini bunga-bunga itu bermekaran, seolah ikut tersenyum menyambut kebahagiaan yang akan datang.

Tapi hanya Aruna yang tahu — bunga yang paling indah pun bisa menutupi duri yang paling tajam.

...----------------...

Cahaya remang dari lampu gantung kristal memantul di permukaan topeng perak yang menutupi setengah wajahnya. Hanya terlihat sebagian — rahang tegas, bibir tipis yang sesekali melengkung membentuk senyum samar. Senyum itu bukan senyum ramah, melainkan dingin, nyaris menyeramkan.

Ia duduk di kursi kulit hitam besar di ujung ruangan, posturnya tegap, bahunya bidang, auranya mendominasi setiap inci udara. Sekilas saja, siapa pun yang berada di ruangan itu akan tahu — pria ini bukan orang biasa.

“As—tuan… semua laporan sudah lengkap.”

Suara gemetar terdengar dari pria berkacamata yang berdiri tak jauh di depannya — asisten pribadinya yang paling dipercaya.

“Bicara,” ucap pria bertopeng itu rendah, namun tegas.

Nada suaranya dalam dan bergetar seperti perintah yang tak bisa dibantah.

Asisten itu menelan ludah sebelum membuka map tebal di tangannya.

“Keluarga Surya tampak stabil dalam beberapa bulan terakhir. Tuan Surya tetap memimpin perusahaan dengan reputasi baik, sementara Ny. Surya aktif di kegiatan sosial seperti biasa.”

Ia berhenti sejenak, melirik ekspresi sang pria yang masih diam tanpa reaksi, lalu melanjutkan dengan suara lebih hati-hati.

“Putri mereka, Nona Aruna… telah menerima lamaran keluarga Adikara. Pernikahan mereka dijadwalkan dalam waktu dekat.”

Senyum itu muncul lagi. Tipis. Dingin.

Namun kali ini, matanya yang tersembunyi di balik bayangan topeng tampak berkilat — seperti menyimpan sesuatu yang tak terungkap.

“Aruna Surya…” gumamnya pelan.

Nada suaranya terdengar aneh — entah kekaguman, atau sekadar rasa ingin tahu.

"darren,” lanjutnya perlahan, bersandar ke kursi sambil mengetuk-ngetukkan jari di sandaran tangan. “Pastikan semua informasi tentang keluarga Surya, terutama sang putri, tidak ada yang terlewat. Aku ingin tahu semuanya. Dari cara ia tersenyum, hingga siapa yang membuatnya menangis.”

Darren itu menunduk lebih dalam, hampir berlutut. “baik, Tuan.” Senyum tipis itu kembali muncul di balik topeng.

Kali ini, lebih samar, lebih menyeramkan. Bahkan tanpa mengucap satu kata pun, hawa di ruangan itu berubah — dingin, menekan, membuat semua orang di sana menunduk tanpa berani menatap langsung.

Ketika asisten itu pergi, pria bertopeng itu berdiri perlahan. Tingginya menjulang, bayangannya menutupi hampir seluruh ruangan. Ia melangkah menuju jendela besar, menatap ke luar di mana lampu-lampu kota berkelap-kelip di kejauhan.

“Menarik…” gumamnya lirih.

“Jadi… kau yang mereka pilih?”

Suara rendah itu mengambang di udara, diiringi senyum yang begitu samar namun menusuk — senyum seorang pria yang tahu lebih banyak dari siapa pun, namun memilih menunggu dari balik topeng.

1
ZodiacKiller
Wow! 😲
Dr DarkShimo
Jalan cerita hebat.
Novia Na1806: wah terima kasih sudah membaca,jadi senang banget nih ada yang suka karya ku🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!