Hanabi di bunuh oleh wakil ketua geng mafia miliknya karena ingin merebut posisi Hanabi sebagai ketua mafia dia sudah bosan dengan Hanabi yang selalu memerintah dirinya. Lalu tanpa Hanabi sadari dia justru masuk kedalam tubuh calon tunangan seorang pria antagonis yang sudah di jodohkan sejak kecil. Gadis cupu dengan kacamata bulat dan pakaian ala tahun 60’an.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erika Ponpon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17
FLASHBACK – Lima Tahun Lalu
Suara hujan deras menghantam atap gudang tua di pinggiran kota. Cahaya lampu berkelip-kelip, memantulkan genangan air bercampur darah di lantai retak.
Bau besi, asap mesiu, dan kematian menyesaki udara.
Di tengah ruangan, Gentha berdiri tegak — tubuhnya penuh luka, tapi matanya kosong.
Kosong seperti cermin retak yang kehilangan pantulan.
Di sekelilingnya, lima pria bergelimpangan sebagian merintih, sebagian tak bergerak sama sekali.
“Tha… hentikan!” teriak Reno dari pintu belakang, suaranya nyaris tenggelam oleh hujan. “Mereka udah nyerah!”
Tapi Gentha tidak bereaksi. Nafasnya berat, seperti mesin rusak yang masih berusaha hidup.
Tangan kirinya memegang besi panjang yang berlumur darah, tangannya bergetar… bukan karena takut, tapi karena menahan sesuatu yang jauh lebih berbahaya dari amarah.
Pria terakhir di lantai merangkak mundur, ketakutan. “T-tolong… gue cuma disuruh, gue nggak tau apa-apa!”
Gentha menatapnya, datar.
“Lo yang bakar rumah itu.”
“Lo yang bunuh mereka.”
“Bukan, gue—gue cuma nurut perintah! Sumpah!”
Reno melangkah maju. “Tha, lo denger gue? Jangan dengerin—”
Terlambat.
Gentha memiringkan kepala, senyum tipis muncul di wajahnya—senyum yang bukan miliknya.
Mata hitamnya berubah suram, pupilnya melebar seperti ditelan kegelapan.
“Call me Niklaus..not Gentha.”
Glek!
“N-niklaus?”suara terbata-bata Reno sambil menelan ludahnya sendiri.
“Yes..that’s me..” Suara itu keluar dari mulut Gentha, tapi nadanya dalam dan bergaung.
Udara di ruangan seketika berubah berat. Lampu di atas kepala meledak satu per satu, memantulkan kilatan singkat pada genangan darah.
Gentha—atau Niklaus—berjalan perlahan mendekati pria yang memohon ampun itu.
Langkahnya pelan, tapi setiap gerakannya terasa seperti ancaman tak kasatmata.
“Lo pikir kematian cukup untuk menebus semua itu?”
“Tidak. Rasa takut lo lebih berguna.”
Reno berlari menahan dari belakang. “THA! SADAR!!”
Tapi tubuh Gentha terasa dingin, keras, dan asing—seperti sedang menahan badai yang bukan miliknya.
Niklaus tersenyum samar.
Hening.
Lalu petir menyambar dari luar, menerangi ruangan beberapa detik.
Dan dalam cahaya kilat itu, Reno melihat sesuatu di mata Gentha—dua pupil, satu manusia… satu hitam tak berujung.
Saat petir mereda, Gentha terjatuh.
Reno menahannya, mengguncang tubuh sahabatnya.
“Tha! Lo denger gue?! Bangun Gentha bangsat!!! Jangan mati dulu EGE!!Genthaaa!!”
Suara lemah keluar dari bibirnya Gentha.
“Dia terbangun lagi Ren..”
Sejak malam itu, Gentha tidak pernah benar-benar sendiri.
Di balik senyumnya, di balik matanya yang tenang, ada entitas yang menunggu —
Niklaus, jiwa kelam yang lahir dari darah, kehilangan, dan pengkhianatan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Kafe malam itu remang lampu kuning menerpa uap kopi dan permukaan kayu meja. Gentha duduk sendiri di sudut, sebatang rokok tergenggam ragu di jarinya. Asapnya naik pelan, membuat siluet wajahnya tampak lebih tegas.
Reno menghampiri, meletakkan dua cangkir di meja lalu duduk. Setelah beberapa detik hening, ia memecah sunyi dengan suara pelan.
“Lo udah cari siapa yang bunuh keluarga lo, Tha?”
Gentha menatap ke jendela sejenak, lalu kembali menatap Reno. Matanya datar, suaranya dingin tetapi tegas.
“Belum ada tanda-tanda, Ren. Gue masih nyari. Tapi satu hal jelas — setelah gue tahu siapa yang berani membunuh keluarga gue dan membakar rumah gue… satu per satu, akan gue habisi.”
______
Lorong bawah tanah Nitro terasa dingin malam itu. Bau logam, oli, dan debu bercampur jadi satu, menempel di udara seperti racun. Gentha berjalan pelan, langkah sepatunya nyaris tak bersuara. Dia baru saja keluar dari ruang latihan bawah, niatnya cuma mau cari udara segar dan menenangkan kepala.
Namun langkahnya terhenti di depan satu pintu setengah terbuka — ruangan rapat kecil di sayap barat. Dari celah itu, suara yang familiar terdengar.
Razka.
Nada bicaranya tenang, tapi tajam. Seperti seseorang yang sudah terlalu lama berurusan dengan darah dan rahasia.
“Yang penting, kasus itu nggak pernah diangkat lagi. Keluarga itu udah lenyap, nggak ada yang tersisa.”
Gentha berhenti seketika. Suara langkahnya hilang. Dadanya menegang.
“Gue udah bilang waktu itu, bakar semuanya. Rumahnya, orang-orangnya. Jangan sisain jejak. Mereka udah terlalu banyak tahu tentang transaksi antara Gavintara dan pihak luar.”
Gavintara?
Nama itu menggema di kepalanya seperti lonceng kematian.
“Dan anak kecil itu?” tanya seseorang di dalam ruangan, suaranya parau, mungkin salah satu tangan kanan Razka.
“Biarin aja. Katanya kabur waktu rumahnya terbakar. Bocah seumur itu nggak bakal bisa hidup lama di jalan. Kalau pun masih hidup…” Razka tertawa pelan. “Dia bukan ancaman. Dunia bawah udah ngelupain nama keluarganya.”
Deg.
Rokok di tangan Gentha jatuh, bara merahnya padam di lantai dingin.
Nafasnya tercekat. Suhu udara mendadak seperti membeku.
Rumah terbakar… keluarga yang dihabisi… anak kecil yang kabur…
Semua kalimat itu memukul memorinya bertubi-tubi.
Dia memejamkan mata — kilasan api, jeritan ibunya, suara adik kecilnya memanggil, dan bau bensin yang membakar malam itu kembali menghantam pikirannya.
Keringat dingin menetes di pelipis.
Gentha merapatkan tangan ke tembok, menahan diri agar tidak langsung menerobos masuk dan menghancurkan kepala Razka di tempat. Tapi hatinya berdegup seperti genderang perang.
Jadi lo… lo yang ngelakuin itu? Lo yang bikin keluarga gue lenyap?dan anak kecil yang kabur itu gue Razka.
Giginya bergemeletuk menahan amarah.
Sisi gelap yang selama ini dia kubur dalam-dalam mulai bangun perlahan. Mata Gentha berkilat dingin, seperti binatang buas yang mencium darah musuh lamanya.
“Razka…” bisiknya pelan, hampir tak terdengar. “Lo udah gue tandai.”
Dia berbalik perlahan, menatap koridor panjang di belakangnya dengan napas berat.
Malam itu, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun mencoba hidup normal, Gentha tahu satu hal dengan pasti darag yang mengalir di tangannya tidak akan berhenti sebelum Razka dan orang-orang di balik Nitro dibayar dengan cara yang sama.
ini lagi si Stella, harusnya dia buktikan dong, bahwa dia bisa, bukannya malah jadi iri/Sweat/