Gendis baru saja melahirkan, tetapi bayinya tak kunjung diberikan usai lelahnya mempertaruhkan nyawa. Jangankan melihat wajahnya, bahkan dia tidak tahu jenis kelamin bayi yang sudah dilahirkan. Tim medis justru mengatakan bahwa bayinya tidak selamat.
Di tengah rasa frustrasinya, Gendis kembali bertemu dengan Hiro. Seorang kolega bisnis di masa lalu. Dia meminta bantuan Gendis untuk menjadi ibu susu putrinya.
Awalnya Gendis menolak, tetapi naluri seorang ibu mendorongnya untuk menyusui Reina, putri Hiro. Berawal dari menyusui, mulai timbul rasa nyaman dan bergantung pada kehadiran Hiro. Akankah rasa cinta itu terus berkembang, ataukah harus berganti kecewa karena rahasia Hiro yang terungkap seiring berjalannya waktu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6. Kontrak Ibu Susu
Hiro mendorong pelan bingkai kacamatanya ke pangkal hidung, matanya tak lepas meneliti gerak-gerik Gendis yang sedang menimang Reina dalam dekapannya. Ada sesuatu dalam tatapan wanita itu, sekelebat bayangan yang membuat dada Hiro mengencang. Jemarinya tanpa sadar mengetuk meja, ritme tak beraturan yang kian cepat setiap kali Gendis menunduk dan tersenyum pada Reina.
Kerongkongan lelaki tersebut kering. Pikiran Hiro berputar, menyusun potongan-potongan cerita yang pernah dia dengar, samar tetapi cukup untuk menyalakan bara curiga. Bayangan masa lalu yang kelam berkelebat, mengaitkan Gendis dengan sesuatu yang dia rahasiakan dari siapa pun.
Hiro menegakkan tubuhnya, seakan mencari sandaran yang lebih kokoh dari sofa yang dia duduki. Namun, tatapannya tetap terkunci pada Gendis, seolah dari setiap gerakan sederhana wanita itu ada rahasia besar yang akan terungkap. Jemari Hiro meremas gagang kacamatanya hingga terasa dingin di telapak, menahan resah yang makin sulit diredam.
"Hiro," panggil Gendis sambil menatap lelaki itu.
Hiro menoleh menatapnya. memaksakan senyum yang terasa kaku pada wajahnya. Gendis kini sedikit membuka pelukan seakan sedang menunjukkan kepada lelaki itu bahwa putrinya sudah tenang dan terlelap.
Gendis seolah ingin membuktikan bahwa dia pantas dan bisa menjadi ibu untuk Reina. Perempuan tersebut sampai tak sadar apalagi bisa membedakan antara kasih sayang dan obsesi. Yah, obsesi untuk memiliki Reina sebagai putrinya.
"Lihat, dia tenang dalam pelukanku. Aku sudah yakin akan menjadi ibu susu untuknya." Gendis tersenyum, tetapi matanya berkilat seolah genangan bening itu hanya menunggu sedikit goyangan untuk jatuh.
Hiro menutup laptopnya, kemudian mengangguk. Lelaki tersebut mengayunkan kaki mendekati Gendis, perempuan yang sempat menarik perhatiannya di masa lalu. Dia melirik Reina sekilas, lalu kembali menatap Gendis.
"Aku tahu kamu mampu dan bisa. Tolong kami, Ndis. Kami butuh kamu setidaknya sampai Rei bisa mengonsumsi makanan lain. Ya, paling tidak sampai berusia enam bulan. Aku rasa itu cukup." Hiro menatap lembut Reina sambil mengusap pipinya penuh cinta.
"Baik, Hiro. Bahkan aku bisa memberinya ASI hingga dua tahun. Aku rasa kami dipertemukan bukan tanpa alasan. Kami saling membutuhkan satu sama lain." Gendis mengalihkan tatapannya kepada Reina.
Hiro hanya bisa tersenyum tipis. Bayangan mengenai apa yang baru saja dia lihat membuat senyumnya tertahan. Hatinya berkecamuk memikirkan banyak hal buruk yang tengah berputar di kepala.
"Aku akan menyiapkan kontrak dan berkonsultasi dengan dokter untuk langkah selanjutnya."
Gendis menunduk, jemarinya gemetar saat mengatur posisi Reina kembali di atas brankar. Helaan napasnya terdengar panjang, seakan melepaskan beban yang ditahan sejak tadi. Tanpa sepatah kata, Hiro berjalan keluar dengan langkah berat namun pasti.
Koridor rumah sakit yang lengang seakan memantulkan riuhnya pikiran Hiro. Sesekali dia mengepalkan tangan, matanya lurus ke depan, terarah menuju ruang konsultasi dokter spesialis yang merawat Reina. Ada tekad yang berlapis kegelisahan di wajahnya, dia harus tahu apa yang perlu dipersiapkan agar Gendis bisa menyusui Reina dengan aman, tanpa bayang-bayang bahaya yang mungkin mengintai.
Hiro mengetuk permukaan kayu, lalu masuk ke ruangan itu. Dokter David menoleh ke arahnya sambil tersenyum tipis. Hiro menatik kursi, lantas mendaratkan bokong ke atas benda tersebut.
"Apa yang bisa saya bantu, Pak?" tanya David sambil membetulkan letak kacamatanya.
"Begini, Dok. Reina sudah memiliki calon ibu susu. Apa saja yang harus saya lakukan agar kesehatan Reina tetap terjamin dan ibu susunya nyaman."
"Untuk kenyamanan ibu susu silakan bicara secara pribadi dengan yang bersangkutan. Secara medis, calon ibu susu harus melakukan serangkaian tes untuk mengetahui memiliki riwayat penyakit menular atau tidak." David langsung menjelaskan hal utama tersebut kepada Hiro.
“Lalu, mengingat kondisi Reina yang memiliki gejala alergi, sebaiknya calon ibu susu menghindari konsumsi susu sapi.”
Nada suara dokter David terdengar tenang, tetapi ada ketegasan yang membuat Hiro duduk semakin tegak.
“Tidak hanya susu murni, ya,” lanjut David, “tetapi juga turunan produk olahan. Keju, yoghurt, bahkan kue atau biskuit yang mengandung susu sapi. Kita ingin melihat bagaimana perkembangan Reina ketika dia hanya mendapatkan ASI dari ibu susu tanpa protein susu sapi.”
Kening Hiro berkerut. Jari telunjuknya mengetuk lutut berkali-kali. “Jadi … Gendis harus diet total?”
“Betul. Kita ingin menyingkirkan kemungkinan alergi silang. Kalau Reina masih menunjukkan reaksi meski sudah ASI bebas susu sapi, barulah kita uji apakah dia juga sensitif terhadap kedelai atau protein lain. Memang prosesnya panjang, Pak Hiro, tapi penting. Usia emas bayi tak bisa ditawar.”
Hiro mengangguk pelan. Kata-kata itu berputar di kepalanya, menancap bersama rasa bersalah yang tidak pernah benar-benar reda. Reina begitu rapuh dan dia tidak bisa mengambil risiko sekecil apa pun.
“Berapa lama diet ini harus dilakukan?” tanya Hiro, suaranya terdengar lebih rendah.
“Minimal sampai Reina berusia satu tahun. Itu periode paling kritis. Kalau setelah itu tidak ada gejala alergi serius, kita bisa longgarkan.”
Hiro menegakkan bahunya, seakan membangun benteng baru untuk menahan kegelisahan. “Baik, Dok. Saya mengerti.”
***
Langkah Hiro terdengar mantap menyusuri koridor rumah sakit, meski hatinya bagai kapal yang oleng dihantam ombak. Kertas catatan dari dokter terlipat rapi di tangannya. Di balik lipatan itu, tekadnya semakin jelas. Dia butuh kepastian, sesuatu yang lebih kokoh dari sekadar janji lisan.
Sore itu, langit Jakarta terlihat muram. Awan kelabu menggantung rendah di balik jendela kaca besar rumah sakit, seakan ikut menyimpan rahasia yang tak terucap. Hiro berhenti sejenak di dekat mesin penjual minuman, menatap bayangan wajahnya di permukaan kaca. Lingkar hitam di bawah matanya semakin pekat. Dia menghela napas panjang, kemudian melangkah lagi.
Sementara itu Gendis masih duduk di ruang rawat, tubuhnya condong ke depan, memandangi Reina yang tidur pulas di brankar kecil. Cahaya lampu redup menyorot wajah mungil itu, membuat bulu matanya tampak begitu rapat, bibirnya bergerak pelan seperti sedang mengisap mimpi.
Jemari Gendis menyusuri lengan bayi itu dengan lembut. Senyum samar muncul di wajahnya. Namun, segera meredup ketika pintu terbuka dan Hiro masuk.
Suara derit engsel pintu membuat Gendis menoleh. Dia mendapati Hiro dengan map cokelat di tangan, ekspresinya sukar dibaca.
“Rei tertidur begitu pulas," ucap Gendis pelan, seakan takut membangunkan Reina.
Hiro berjalan mendekat, menaruh map itu di atas meja, lalu duduk. Dia tidak langsung bicara, hanya menatap Gendis cukup lama hingga perempuan itu merasa gelisah.
“Mengenai menjadi ibu susu Reina, ada syarat baru.” Suara Hiro datar, nyaris dingin.
“Kamu harus diet. Tidak boleh konsumsi susu sapi dan semua turunannya. Minimal sampai Reina satu tahun.”
Alis Gendis bertaut. “Diet?” gumamnya, lirih.
Semua bersumber dari otak jahat Reiki