⚠️ *Peringatan Konten:* Cerita ini mengandung tema kekerasan, trauma psikologis, dan pelecehan.
Keadilan atau kegilaan? Lion menghukum para pendosa dengan caranya sendiri. Tapi siapa yang berhak menentukan siapa yang bersalah dan pantas dihukum?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R.H., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Penyiksaan Lagi Untuknya
Malam ini juga aku sudah bersiap-siap mengenakan hoodie hitam dan masker iblis hitam. Di sampingku ada seorang lelaki yang juga sama memakai Hoodie hitam tak lupa memakai topeng juga sepertiku namun berbeda.
"Kamu serius? Ini bukan permainan." Ucapku memperingati lelaki itu yang ternyata Rafael.
"Aku serius paman. Kita sama, hanya saja kamu lebih dewasa aku hanya bocah SMA." Ucapnya tersenyum lebar di balik topeng.
Aku lagi-lagi hanya bisa diam, jujur saja aku tak mau mengajak orang lain dalam permainanku. Aku takut kejahatanku akan terbongkar. Hanya saja dia terus memaksaku.
Pasalnya dia tau perbuatanku selama ini, entah bagaimana caranya? Namun, jika aku mengajaknya maka dia akan jujur dan menceritakan yang sebenarnya yang dia tau.
Aku mengajaknya ke ruang bawah tanah, markas untuk menyiksa orang yang pantas untuk di siksa. Ku perlihatkan Aaron yang kini tengah tertidur kepada Rafael yang menatapnya menyelidikinya.
"Dia adalah preman pasar, suka memalak dengan cara kasar dan lebih parahnya. Dia, sering memukul istri dan juga anaknya." Kataku, aku mencoba menjelaskan. "Dia adalah korbanku yang ke -16 dia sangat berbahaya." Sambungku.
Rafael hanya diam sambil menyimak perkataanku. "Paman, sesuai kesepakatan malam ini aku yang akan menyiksaan." Kata lelaki itu antusias.
Aku binggung harus jawab apa, ucapan dari bocah ini semakin membuat aku naik darah.
"Tapi... ini bukan permainan kamu jangan macam-macam, anak kecil." Ancamku dengan nada tinggi. Aku mulai naik pitam, dia pikir semua yang kulakukan main-main apa? Dia tertawa kecil. Aku yang emosi menarik kerah bajunya, kutatap matanya di balik topeng menutupi wajahnya.
"Paman... Lepaskan, aku hanya bercanda." Katanya. Aku melepaskan cengkramannya dengan kasar. Dia terhuyung.
Aku mulai serius, tak mau lagi meladeni bocah itu yang kini terus melihat pergerakanku. Ku ambil cambuk dan kupukuli Aaron, aku tak perduli dengan bekas luka cambukan yang kini sudah membiru. Dia terbangun dengan mata melotot kepala terangkat.
Aku mendekatinya, ku tatap dirinya dengan serius. "Bagaimana... asik bukan? Masih ingin berbohong atau mau jujur sekarang." Ucapku sambil memperlihatkan pisau kesayanganku di depannya.
Dia tak mau berbicara, seolah dia sudah tak mau lagi hidup. Aku mendekatinya perlahan, ku bisikan sesuatu ke telinganya, dia terdiam sesaat kemudian mengamuk histeris. Aku tertawa puas sedangkan Rafael kini mundur.
"Hhhhh, sialan, dasar wanita sialan. Aaaaa." Ucapnya sambil teriak kesal, dia memberontak kasar sangat kasar hingga ruangan bergetar.
Aku mundur, takut dia akan bebas karna tak mau itu terjadi aku mulai mengambil obat bius supaya otot-ototnya melemah. Aku mulai bersiap-siap ingin menyuntiknya, namun Aaron terus memberontak. Aku melirik ke arah Rafael yang hanya mengamati.
"Bantuin anak kecil." Suara ku meninggi, Rafael segera terkejut lalu dengan gerakan cepat dia mengambil kayu dan memukuli Aaron.
Lelaki itu tersentak kaget dan meringis, kesempatan itu aku ambil untuk menyuntiknya. Perlahan-lahan tubuh Aaron mulai melemah dan diam, namun matanya terbuka hanya saja dia sudah tidak bisa menggerakkan tubuhnya.
"Bagus, kamu bisa diandalkan. Hanya saja berbicara denganmu boleh dengan emosi." Ucapku dinggin, aku segera bersiap dengan pisauku.
"Paman bisa aja." Katanya sambil tertawa canggung.
Aku mulai mencengkram pipinya kasar, dengan cepat ku robek bibirnya seperti tri. Dia tersentak kaget namun tak bisa merasakan sakit, hanya saja darah terus mengalir. Sedangkan ekpresi dari Rafael syok tak menyangka.
"Ini akibatnya karna tak mau jujur." Bisikku, Aaron hanya menatapku dengan tatapan tajam, air matanya jatuh. Baru kali ini aku melihat dia menangis.
"Kamu akan merasakan sakit keesokan harinya dan kamu tau bagaimana rasanya?" Aku bertanya sambil tertawa mengejek.
"Yah pasti sakitlah paman." Ucap Rafael enteng, padahal baru saja aku ingin berbicara pemuda itu malah merusak suasana. Aku menatapnya jengkel, Rafael yang tau itu tertawa canggung.
Akhirnya aku memilih untuk keluar dari ruangan itu, sedangkan Rafael seperti ekor terus mengikuti ku.
Aku yang mulai gerah membuka Hoodie dan topeng yang membuatku sedikit sesak.
Aku membuka bajuku dan terlihat tubuh atletis ku yang menggoda iman. Sedangkan Rafael hanya membuka topeng. Aku segera duduk di sofa sambil mengisap sebatang rokok.
"Ceritakan padaku apa yang kamu tau tentang aku?" Tanya ku menatap sinis pada Rafael yang kini ikut duduk di sampingku.
"Aku... Aku mohon izinkan aku tinggal bersamamu, aku sekarang tinggal sendirian, kasihi aku paman." Ucapnya sambil memegang pahaku.
Aku begitu muak dan kesal, bukannya menjawab pertanyaanku dia malah memohon agar dia bisa tinggal bersama ku. "Kamu gila yah? PERGI..." Usirku dengan nada tinggi.
Namun Rafael seolah tuli, dia memegang pahaku sambil memohon. "Aku mohon paman, sekarang aku tidak punya siapa-siapa lagi, izinkan aku tinggal sama paman... aku janji ngk akan macam-macam."
Aku berdiri dengan kasar, mematikan rokok dan menaruhnya di asbak. Ku tarik tangannya dan aku membawanya keluar. "Pergi dari sini... Jika kau kembali aku akan buat kau seperti laki-laki tua tadi." Aku mendorongnya dengan emosi.
Rafael seolah tak perduli, dia kembali memeluk kakiku erat. Aku mengerakan kakiku kasar namun pelukannya begitu erat.
"Aku mohon paman, kalau kau mengizinkan ku tinggal bersamamu... aku janji akan ceritakan semua tentang yang aku tau tentang paman." Ucapnya sambil mengagah kearah ku.
Aku terdiam sesaat lalu ku tatap dirinya. "Yah, kamu boleh tinggal bersamku dengan satu syarat... Jangan pernah mengangguku." Ucapku tajam.
Dia mulai berdiri dan tersenyum senang. "Serius?" Tanyanya antusias, aku menjawab deheman. Setelah itu dia tiba-tiba berlari menuju pagar rumah dan saat dia kembali, aku melihat dia mengendong tas yang sudah dia persiapkan.
Aku terbelalak kaget, dia sudah merencanakannya. 'Dia benar-benar nekat, tapi? akankah dia menjadi penggangu ku atau malah menghancurkan semuanya.' pikirku.
*
*
Kalau suka sama ceritanya jangan lupa laik, komen, subscribe dan beri hadiah. Agar author lebih semangat untuk tulis kelanjutannya. Terimakasih 😘
iblis✔️
mampir juga yuk ke cerita ku "Misteri Pohon Manggis Berdarah"