“Gue gak akan pernah sudi nerima lo sebagai suami gue!”
“Saya tidak keberatan, Maha. Bagaimanapun kamu tidak menganggap, saya tetap suamimu.”
“Sialan lo, Sas!”
•••
Maharani tidak pernah meminta untuk terlibat dalam pernikahan yang mengikatnya dengan Sastrawira, pewaris keluarga Hardjosoemarto yang sangat tenang dan penuh kontrol. Sejak hari pertama, hidup Maha berubah menjadi medan pertempuran, di mana ia berusaha keras membuat Sastra merasa ilfeel. Baginya, Sastra adalah simbol patriarki yang berusaha mengendalikan hidupnya.
Namun, di balik kebencian yang memuncak dan perjuangannya untuk mendapatkan kebebasan, Maha mulai melihat sisi lain dari pria yang selama ini ia tolak. Sastrawira, dengan segala ketenangan dan kesabarannya, tidak pernah goyah meski Maha terus memberontak.
Apakah Maha akan berhasil membuat Sastra menyerah dan melepaskannya? Atau akankah ada simfoni tersembunyi yang mengiringi hubungan mereka, lebih kuat daripada dendam dan perlawanan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Tragedi Kemah
"Enak juga kue buatan Mas Sastra. Sumpah, suami lo se-soft ini dan lo malah pingin cerai dari Mas Sastra? Rugi lo Maha!" Celetuk Keana selalu dibuat speechless oleh keinginan Maha yang selalu diluar nalar.
Maha tidak secepat biasanya dalam merespon perihal ini, ia diam cukup lama memandangi kue buatan Sastra, pria itu begitu effort membuatkannya dini hari tadi, katanya untuk cemilan selama perjalanan menuju kemah.
Keana yang melihat Maha terdiam, menyipitkan matanya curiga. "Kenapa? Jangan bilang lo mulai baper sama Mas Sastra?"
Maha mendesah pelan, akhirnya menatap Keana. "Mana ada! Engga kok."
Keana mengangkat alisnya. "Jangan sampe denial sama perasaan lo. Mas Sastra perhatian banget sama lo Maha, lo beneran yakin mau ngelepas dia?"
Maha hanya bisa diam lagi, pandangannya kembali tertuju pada kue yang ada di depannya. "Ya apalagi, itu memang maunya gue."
Keana tersenyum tipis, sepertinya sahabatnya ini sudah mulai goyah dengan pertahannya.
•••
Setelah lima jam perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan, bus akhirnya berhenti di area kemah. Udara segar langsung menyapa begitu Maha dan teman-temannya turun dari bus. Pepohonan hijau yang menjulang tinggi dan suara burung berkicau menciptakan suasana yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota.
"Akhirnya sampe juga," gumam Keana sambil merentangkan tangan, menikmati hembusan angin sejuk.
Maha hanya mengangguk, matanya menelusuri area kemah yang tampak luas. Beberapa kelompok dari bus lain sudah mulai berkumpul ditengah lapangan. Maha dan Keana segera bergabung dengan kelasnya untuk berbaris.
Mereka diberikan instruksi terkait kegiatan yang akan dilakukan selama berkemah, peraturan dan hal-hal lainnya yang sangat penting.
Setelah menerima instruksi dari para pembina dan guru, semua peserta segera bergerak menuju area tenda masing-masing. Maha dan Keana bersama satu teman kelasnya yang bernama Luna mulai sibuk memasang tenda.
"Lo bisa nggak, Maha? Jangan sampai tendanya roboh tengah malam nanti," goda Keana sambil tertawa kecil.
Maha hanya mendesah, lalu mencoba mengikuti instruksi yang sudah diberikan sebelumnya. "Gue bisa kok. Lo aja yang jangan banyak gaya," jawab Maha sambil memasang tiang tenda dengan cermat.
Setelah beberapa menit, tenda mereka akhirnya berdiri dengan kokoh. Maha menyeka keringat di dahinya, merasa puas dengan hasil kerja mereka. "Akhirnya beres juga."
Keana mendudukkan diri di atas rumput. "Capek banget, tapi gue excited buat kegiatan malam nanti."
Maha menatap sekeliling, memperhatikan teman-temannya yang juga tengah beristirahat setelah memasang tenda. Suasana perkemahan mulai tenang, dengan hanya terdengar suara angin yang berhembus lembut di antara pepohonan.
Ia merebah didalam tenda dan mulai membuka ponselnya, ada balasan pesan masuk dari Sastra dan selebihnya sangat membosankan karena jaringannya yang tidak stabil. Maha menghela nafas panjang dan memutuskan untuk tidur sejenak, sungguhan ia sangat lelah.
Keana mengguncang pelan bahu Maha. "Hei, bangun, kita harus kumpul buat kegiatan selanjutnya," katanya sambil tersenyum tipis, berusaha tidak membangunkan Maha terlalu mendadak.
Maha mengerang pelan, setengah sadar saat membuka mata. "Hah? Udah waktunya, ya?" Ia duduk dengan mata setengah terpejam, mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar.
"Iya, udah hampir semua anak kumpul di lapangan," jawab Keana sambil membantu Maha berdiri. "Ayo Maha, sebelum kita ketinggalan acara."
Maha mengusap wajahnya yang masih terasa berat karena baru bangun tidur, lalu mengambil jaketnya dan keluar dari tenda. Angin sore yang sejuk menyapu wajahnya, sedikit membantunya menghilangkan rasa kantuk. "Oke, gue siap," katanya dengan nada lemas, mengikuti Keana menuju lapangan pertemuan.
Saat mereka sampai, semua orang sudah mulai berkumpul. Instruktur kemah sudah siap memberikan pengarahan untuk kegiatan selan
jutnya.
Dylan yang melihat kehadiran Maha melambaikan tangannya dengan senyum lebar di wajahnya, tampak senang melihat Maha sudah bergabung. Maha mengangguk singkat, membalas lambaian itu. Keana yang melihat interaksi mereka hanya menatap sambil menghela nafas, ia diwanti-wanti Sastra untuk mengawasi Dylan.
Kegiatan sore itu berjalan lancar. Para peserta kemah dibagi dalam kelompok kecil untuk melakukan berbagai permainan yang melatih kerja sama tim. Suasana mulai cair, tawa dan teriakan semangat terdengar dari berbagai sudut lapangan.
Dylan, di sisi lain, tampak selalu berusaha untuk mendekati Maha. Keana mencoba menggagalkan, sesuai permintaan Sastra, secara tak langsung menempatkan dirinya di antara Dylan dan Maha. Setiap kali Dylan ingin berbicara lebih lama dengan Maha, Keana selalu datang dengan topik baru atau alasan untuk menjauhkan Maha.
"Kea...gue lagi ngobrol sama Dylan!" Protes Maha karena selalu diganggu nya.
"Gak bisa, ini juga bagian dari misi perdamaian dunia."
"Hah?" Maha mengerutkan keningnya ia jadi paham mengapa Keana begini.
"Sastra nyuruh lo apa?"
"Huft... ketauan deh. Iya gue diwanti-wanti jauhin lo dari Dylan, tuh itu tandanya suami lo sayang banget sama lo Maha, plus ini perasaan cemburu dia deh."
"Mana ada dia cemburu," sahut Maha dengan nada tak percaya. "Itu cuma dia yang pengin ngontrol aja."
Keana menggeleng, senyum tipis terbentuk di bibirnya. "Maha, kalau lo nggak liat dia cemburu, berarti lo belum kenal Mas Sastra sepenuhnya. Orang setenang dia bisa juga punya rasa nggak nyaman, apalagi soal Dylan."
Maha terdiam sejenak, memikirkan kata-kata Keana. Benarkah Sastra cemburu? "Ah, gue nggak peduli soal itu. Yang jelas, gue cuma pengen ngobrol biasa aja sama Dylan. Gue kan bukan anak kecil yang perlu dijagain terus."
Keana menatap Maha dengan tatapan serius. "Yaudah iya, gue juga gak bakal ngadu apa-apa sama suami lo. Mana ada gue gitu, kecuali kalau lo nyari penyakit duluan."
Maha mendengus sebal, "gak asik lo kea, lo malah kerjasama sama Sastra!"
Keana terkekeh pelan, "Eh, gue cuma bantu Mas Sastra aja, bukan kerjasama. Lagian, lo tau kan gue nggak akan ngebocorin hal-hal yang nggak perlu. Tapi serius, lo harus lebih peka. Mas Sastra itu selalu jagain lo."
"Up to you!" (Terserah lo!)
•••
"Are you okay Mas?" Tanya Caraka pada kakak tertuanya itu yang ia perhatikan untuk pertama kalinya tidak fokus bekerja seperti ini.
"Mas baik-baik aja, tapi Mas kepikiran dia." Jawab Sastra pelan.
"Mas, do you miss your wife?" (apakah kamu merindukan istrimu??)
"Heem,"
Caraka tertawa pelan, baru kali ini ia lihat Sastra begini. Dulu dengan Danisa ia tak sebegini nya.
"Mbak Maha bakal baik-baik aja, Mas kan selalu awasi dia pakai orang-orang keamanan."
"Kali ini engga, Mas percaya dia akan baik-baik aja. Lagipula, Maha sudah mulai curiga, dia gak suka dibeginikan Mas."
Caraka mengangguk pelan, lalu bersandar di kursi dengan tatapan penuh rasa penasaran. "Wah, baru kali ini aku denger Mas ngomong kayak gini. Mas yakin beneran udah siap lepasin kontrol, Mas? Soalnya biasanya Mas selalu hati-hati banget soal hal-hal begini."
Sastra tersenyum tipis, matanya menerawang seolah mencari jawaban di kejauhan. "Maha itu bukan tipe yang bisa dikekang, Ka. Dia butuh ruang buat jadi dirinya sendiri. Kalau Mas terus awasi, malah bikin hubungan kami makin renggang."
"Mas, udah berubah banyak. Dulu Mas Sastra engga peduli soal perempuan selain Hardjo, tapi sekarang beda ya sama Mbak Maha. Mas udah jatuh hati ya?" Tanya Caraka penasaran pasalnya kakak tertuanya ini selalu tertutup soal perasaan.
Sastra mengedikan bahunya, "Mas cuma pengen yang terbaik buat Maha. Dia butuh tahu kalau Mas percaya penuh sama dia."
•••
Keesokan siangnya Maha dibuat kesal sekali karena harus sekelompok dengan Karin, perempuan yang senang sekali merundung orang yang tak berdaya, tapi dengan Maha? Akan ia lawan dengan keras.
Agenda siang itu adalah mengumpulkan kayu bakar dan memecahkan teka-teki kelompok dibeberapa pos. Maha berusaha tetap tenang meskipun harus berada di kelompok yang sama dengan Karin, si perundung yang terkenal menyebalkan. Apalagi dia terpilih sebagai ketua kelompok yang pasti Karin akan memiliki peluang membuat huru-hara dengannya.
Keana mendekat dan berbisik ditelinga Maha, "hati-hati lo sama si ulet keket itu Maha,"
Maha mengangguk sambil menghela napas dalam. "Tenang aja, Kea. Gue akan hati-hati."
Kelompok mereka dapat memecahkan teka-teki dengan cepat disetiap pos dan menjadi kelompok yang lebih dulu untuk menyelesaikan tugas pertama.
Kemudian mereka melanjutkan perjalanan masuk kedalam sekitar hutan yang tidak terlalu jauh dari perkemahan untuk mengumpulkan kayu bakar, Karin terus melontarkan komentar sinis, mencoba memancing emosi Maha. "Wah, seneng banget bisa sekelompok sama pacarnya orang terkenal," sindirnya dengan senyum licik.
Maha menghentikan langkahnya, berbalik menatap Karin dengan dingin. "Lo senang banget ya kalau bisa nyari masalah sama gue?"
Karin tersenyum mengejek. "Gue cuma bicara fakta, Maha. Lo terlalu merasa hebat."
Maha mendekatkan wajahnya ke arah Karin, suaranya terdengar tenang tapi tegas. "Gue gak ada waktu buat drama lo, Rin. Kalau lo mau ribut, tunggu nanti."
Maha lebih dulu melanjutkan perjalanannya, mencoba mengabaikan Karin dan tetap fokus mengumpulkan kayu bakar. Namun, Karin tidak berhenti begitu saja. Ia terus mengikuti Maha, menyimpan dendam lama karena perkelahian mereka tempo lalu juga Karin dan ibunya yang dipermalukan didalam ruangan kepala sekolah oleh pembelaan putra tertua Hardjosoemarto. Kebencian itu semakin mendalam, dan kali ini Karin berniat untuk memberi pelajaran pada Maha.
Ketika mereka berdua sampai di area yang agak terpencil di dalam hutan, Karin mulai mencari cara untuk memancing konflik.
Karin memutuskan untuk membagi kelompok menjadi dua bagian, dengan dalih agar lebih efisien dalam mengumpulkan kayu bakar. Tentu saja, ia memilih Maha untuk bersamanya, sementara anggota lain mengikuti arah yang berbeda. Ini memberikan Karin kesempatan untuk menjalankan rencananya tanpa ada saksi mata.
"Lo ikut gue aja, Maha. Yang lain biar ke arah sana," ujar Karin dengan nada dingin namun memaksa. Maha, meskipun merasa ada yang janggal, tidak terlalu mempermasalahkan. Ia hanya ingin menyelesaikan tugas ini secepat mungkin dan kembali ke perkemahan.
Keduanya berjalan lebih dalam ke hutan, jauh dari rombongan. Karin yang berada di depan terus berjalan dengan langkah cepat, sementara Maha tertinggal sedikit di belakang. Dalam keheningan, Maha merasa semakin tidak nyaman. Ada sesuatu dalam sikap Karin yang membuatnya waspada.
"Apa sih masalah lo sebenarnya?" tanya Maha akhirnya, suaranya terdengar jengah.
Karin berhenti mendadak, membalikkan badan dan menatap Maha dengan pandangan penuh kebencian. "Masalah gue? Lo gak usah berpikiran buruk tentang gue, udah cepet pungutin kayu bakarnya."
Maha tak menghiraukannya lagi, ia kembali memunguti beberapa kayu bakar dan tanpa ia ketahui Karin, menyimpan rencananya.
Dengan hati-hati, ia mencari peluang untuk membuat Maha terjatuh. Saat Maha sedang asyik mengumpulkan kayu, Karin dengan cepat mendorong tubuh Maha. Maha terhuyung ke belakang, kehilangan keseimbangan, lalu jatuh ke permukaan curam. Ia berguling-guling hingga akhirnya tubuhnya terhenti oleh akar pohon besar. Maha merasakan nyeri hebat di kakinya, dan ketika ia mencoba bergerak, rasa sakitnya semakin menjadi.
"Rin! Lo gila ya?!" Maha berteriak dengan napas tersengal, kesakitan dibawah sana.
Karin hanya menatapnya dari atas tebing kecil itu, senyum puas di wajahnya terbit. Tanpa menoleh lagi, Karin berbalik dan pergi, meninggalkan Maha yang terluka di sana sendirian.