Elara dan teman-temannya terlempar ke dimensi lain, dimana mereka memiliki perjanjian yang tidak bisa di tolak karena mereka akan otomatis ke tarik oleh ikatan perjanjian itu itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sunny Rush, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 33
Langit terbuka. Pusaran hitam di atas mereka menghisap cahaya siang, membuat seluruh akademi Agatha tampak bagai dunia bayangan.
Dari celah retakan itu, energi ungu dan hitam mengalir turun seperti hujan api setiap kilatnya menabrak tanah, mengubahnya menjadi kristal kegelapan.
Sosok Leluhur Ardan berdiri di atas batu besar, jubahnya berkibar. Suaranya bergema di antara dentuman petir.
“Kalian anak-anak yang sombong… berpikir bisa menghentikan takdir leluhur kalian?”
Elara menatap tajam ke arah sosok itu.
“Kami tidak mau dunia ini menggantikan dunia kami! Kembalikan semuanya!”
Leluhur Ardan tersenyum miring.
“Tidak ada yang dikembalikan. Dunia kalian hanyalah cermin yang retak… dan aku akan menjadikannya sempurna.”
Seketika, tanah bergetar. Dari bayangan mereka sendiri, muncul duplikat Elara, Arsen, Brian, Mira, Dorion, dan Lysandra ,versi gelap mereka, dengan mata bersinar ungu.
“Kita melawan diri sendiri lagi…” gumam Brian, menarik pedang sihirnya.
Elara menyalakan aura merah kebiruan dari kedua tangannya. “Tidak akan kalah kali ini!”
Mereka berlari tabrakan pertama membuat langit seperti pecah dua.
Brian menebas duplikatnya, tapi setiap serangan malah membuat lawannya makin kuat.
Arsen melepaskan gelombang api, namun Elara Gelap memantulkannya kembali, hampir mengenai Elara asli.
“Jangan gunakan sihir dengan niat membunuh!” teriak Mira, tapi terlalu terlambat dorongan energi mereka beradu, menciptakan ledakan besar.
Kabut hitam naik, menyelimuti mereka semua.
..
Elara terlempar ke tanah, tubuhnya berdarah. Ia menatap tangan kirinya tanda merah yang dulu bersinar kini perlahan menggelap.
“Kenapa… kenapa tidak menyatu?” gumamnya lirih.
Brian mendekat, menahan luka di bahunya.
“Penyatuannya gagal. Energi kita gak seimbang, Elara.”
Arsen menghantam tanah, kesal.
“Kamu terlalu emosional! Energi kamu gak bisa dikendalikan kalau pikirannya gak fokus!”
Elara menatap Arsen dengan mata berkaca.
“Kamu pikir gampang?! Aku baru tahu aku harus mengorbankan semuanya, Arsen!”
Leluhur Ardan melayang di atas mereka, tertawa rendah.
“Kalian bukan pewaris sejati. Dunia ini hanya butuh satu keseimbangan… dan itu bukan kalian.”
Dia mengangkat tangannya dari tanah muncul pilar hitam mengelilingi mereka, membentuk formasi segel.
Brian mencoba memecahkannya, tapi tangannya terbakar oleh energi hitam.
Arsen menahan serangan dengan api, tapi segelnya menelan kekuatannya perlahan.
Elara berusaha berdiri, menyeret langkahnya.
“Tidak… aku tidak akan biarkan kalian hilang begitu saja…”
Ia menatap ke arah Brian dan Arsen, lalu mengangkat tangannya sendiri mencoba menyatukan energi merah dan biru yang berputar di telapak tangannya.
Namun begitu cahaya itu menyatu, tubuhnya bergetar keras.
Sakit luar biasa melanda dadanya, seakan dua kutub energi saling menolak di dalam tubuhnya.
“Elara, hentikan! Kamu belum siap!” teriak Brian.
“Kalau aku berhenti, kita semua lenyap!” jawab Elara dengan suara parau.
Cahaya besar meledak dari tubuhnya membentuk sayap energi yang pecah di udara.
Namun sebelum sinar itu menelan semuanya, duplikat mereka menggabungkan diri ke dalam pusaran dan menghancurkan inti penyatuan.
Ledakan besar mengguncang seluruh area.
Tanah terbelah. Danau di dekat mereka tersedot ke langit.
Mereka bertiga terlempar jauh , Elara di satu sisi, Brian dan Arsen di sisi lain.
Dunia itu kini seperti kaca yang retak, setiap retakan mengeluarkan suara gemuruh.
“Elaraaaaaa!!!” teriak Brian dari kejauhan.
“Jangan lepaskan!!!” balas Elara, berusaha meraih tangannya tapi ruang di antara mereka mulai terbelah seperti lorong waktu.
Elara sempat melihat wajah ibunya Lyviane muncul sekejap di balik cahaya putih yang runtuh.
“Kembali, Elara… waktumu hampir habis!”
“Belum!!!” jerit Elara lalu semuanya meledak.
Hanya keheningan.
Debu putih berjatuhan seperti salju.
Langit tanpa warna.
Elara membuka matanya perlahan tubuhnya tergeletak di antara reruntuhan batu.
Tidak ada suara… hanya hembusan angin.
“Arsen… Brian…” panggilnya pelan. Tapi tidak ada jawaban.
Ia berdiri perlahan, menatap sekeliling dunia duplikat itu masih ada, tapi kini kosong, rapuh, seperti cermin yang hampir hancur.
Air matanya menetes, jatuh di atas tanah yang mulai retak.
“Aku gagal…” bisiknya.
“Aku gak bisa nyatuin semuanya…”
Namun di balik suaranya sendiri, terdengar gema samar
suara Brian, jauh di dalam retakan waktu.
“Belum berakhir, Elara… masih ada satu cara.”