NovelToon NovelToon
Aku Putri Yang Tidak Diinginkan

Aku Putri Yang Tidak Diinginkan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Identitas Tersembunyi / Keluarga
Popularitas:839
Nilai: 5
Nama Author: Isma Malia

Kehidupan Valeria Zeline Kaelani terlihat sempurna, namun ia tidak tahu bahwa ia adalah anak angkat. Rahasia ini menjadi senjata bagi Arum Anindira, kakak kandungnya yang iri dan hidup miskin. Arum mengancam akan membocorkan kebenaran kepada Valeria demi mendapatkan uang dari ibu angkatnya, Bu Diandra.

Di tengah kekacauan ini, sahabat Valeria, Aluna Kinara, tak sengaja mendengar ancaman tersebut, dan ia dihadapkan pada dilema yang berat. Kisah ini semakin rumit dengan hadirnya dua pria yang memperebutkan hati Valeria: Kian Athaya Naufal Mahendra yang mencintai dalam diam, dan Damian Mahesa yang usil namun tulus. Namun, Kedekatan mereka terancam buyar ketika mantan pacar Damian masuk ke sekolah yang sama.

Kisah ini bukan hanya tentang cinta dan persahabatan, tetapi juga tentang pengorbanan, pengkhianatan, dan perjuangan seorang putri untuk menemukan jati dirinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bayangan di Balik Cinta

Setelah bel masuk berbunyi, Valeria berjalan kembali ke kelasnya. Saat ia sampai, sebagian besar murid sudah duduk di bangku masing-masing. Pandangannya langsung tertuju pada Damian, yang duduk di sampingnya.

Tidak seperti biasanya, Damian tidak menatapnya dengan sinis. Kepala Damian tertunduk, bersandar di atas meja dengan wajah tertutupi lengannya. Ia terlihat sangat berbeda, tidak lagi terlihat seperti anak laki-laki yang penuh amarah.

Valeria terkejut. Di tengah keramaian kelas yang mulai hening, Damian terlihat begitu rapuh dan sendirian. Valeria tahu ini bukan saat yang tepat, tetapi ia merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Dengan hati-hati, Valeria duduk di kursinya. "Damian," bisiknya, suaranya pelan. "Lo nggak apa-apa?"

Damian menoleh, wajahnya masih bersandar di meja. Matanya terlihat merah dan lelah saat menatap Valeria. "Nggak," bisiknya, suaranya serak. "Gue nggak baik-baik aja."

Valeria terkejut mendengar kejujurannya. Ini bukan Damian yang dikenalnya. "Ada apa?" tanyanya lembut. "Ada yang gangguin lo?"

Damian menghela napas berat, lalu berbisik lagi, "Fara..."

"Kenapa Fara?" tanya Valeria, mencoba menahan rasa penasaran yang memuncak.

Damian mengangkat kepalanya sedikit. "Gue dengar dia... dia mau datang ke sini."

Valeria dan Revan sudah tahu hal ini, tapi ia tetap pura-pura terkejut. "Maksud lo?"

"Dia bilang, dia akan tunjukkan kalau Revan itu nggak pantas buat siapa pun," lanjut Damian. "Dia juga bilang, dia akan ambil Revan dari lo. Jadi... lo hati-hati."

Valeria tertegun. Ia tak menyangka Damian, musuhnya, akan memperingatkannya. Kata-kata itu, yang seharusnya membuatnya takut, justru membuat hatinya tergerak. Damian bukan orang jahat, dia hanya dimanipulasi.

Valeria terkejut. "Lo dengar?" tanyanya, suaranya tercekat.

Damian mengangkat kepalanya, kembali ke posisi duduk tegak. Ia menghela napas. "Ya," jawabnya. "Setelah dari lapangan, gue ke toilet. Terus, pas mau balik ke lapangan, gue lihat ruang musik lampunya nyala. Karena biasanya enggak, kecuali emang ada orang di dalem. Gue penasaran, jadi gue jalan ke sana dan mendengarkan kalian."

Valeria menatapnya, mencerna semua yang Damian katakan. Ia kini tahu bahwa Damian tidak sepenuhnya memusuhi mereka. Damian hanya tidak tahu kebenaran.

"Damian," kata Valeria, suaranya kini tenang dan penuh empati. "Setelah lo dengar semuanya, lo masih percaya Fara?"

Damian menatap Valeria, ragu. "Gue nggak tahu, tapi itu tergantung benar atau tidaknya," jawabnya pelan.

"Kalau ternyata benar dan ada buktinya?" tanya Valeria, suaranya dipenuhi harapan.

Damian mengangguk. "Maka gue akan percaya bukti itu."

Valeria menghela napas lega. "Kalau begitu, setelah pulang sekolah lo ada waktu buat ngobrol sebentar dengan gue dan Revan?"

Mendengar nama Revan disebut, ekspresi Damian kembali mengeras. "Revan?" tanyanya, nada bicaranya kembali sinis.

Valeria mengerti keraguan Damian. Ia menangkupkan tangannya dan menatap Damian dengan tatapan memohon. "Iya. Mau, ya? Pleaseee..."

Damian melihat ketulusan di mata Valeria dan permohonannya. Ia tahu, Valeria tidak akan pernah memintanya seperti ini jika ini hanya masalah sepele. Dengan berat hati, ia akhirnya mengangguk.

"Oke," jawabnya, suaranya terdengar pasrah. "Gue mau."

"Ah, yey!" seru Valeria, sambil menepuk pundak Damian. Senyum lega tak bisa disembunyikannya.

Damian terkejut, namun senyum tulus Valeria menular padanya. Ia pun tersenyum dan tertawa kecil, sesuatu yang jarang sekali dilihat oleh teman-teman sekelasnya.

Pemandangan itu membuat kelas menjadi hening sejenak, lalu bisik-bisik mulai terdengar. Keira dan Naila, yang duduk di belakang mereka, saling berbisik.

"Eh, kok Damian ketawa?" bisik Naila, matanya membelalak tak percaya. "Setahu gue, dia itu kalau lihat Valeria langsung pasang muka sinis."

"Iya, kan? Apa jangan-jangan mereka balikan?" timpal Keira. "Tapi bukannya Damian sama Fara? Terus Revan gimana?"

"Kok Revan?" Naila mengernyit. "Revan bukannya sama Valeria, ya?"

"Mereka kan musuhan, bodoh," jawab Keira, memukul pelan bahu Naila. "Tapi sekarang... mereka kayaknya udah baikan. Jangan-jangan Revan sama Damian ini cuma berantem gara-gara rebutan Valeria."

Bisik-bisik itu terus menyebar, menciptakan gosip baru yang akan menjadi bahan pembicaraan seluruh sekolah.

Dua jam kemudian, bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Pak Guru keluar dari kelas, dan para siswa mulai berhamburan keluar. Damian menoleh ke arah Valeria.

"Sekarang?" tanyanya, suaranya pelan. ia pun berdiri dari kursinya.

"Ya, ayo," jawab Valeria.

Namun, saat Valeria hendak mengambil tasnya, ia terkejut. Tasnya sudah ada di pundak Damian, bersama tas Damian yang juga tergantung di pundak satunya.

"Tas aku mana?" tanya Valeria, heran.

Damian tersenyum geli. "Ayo," katanya.

Valeria melihat Damian dengan dua tas di pundaknya, satu di kanan, satu di kiri. "Lah, tas gue kenapa di lo?"

"Udah ayo," ulang Damian, sambil tertawa kecil. "Jadi, kan? Kalau enggak, gue balik nih."

"Eh, jadi, jadi! Ya udah, ayo!" seru Valeria, ikut tertawa. Ia pun segera berdiri dan berjalan bersama Damian keluar kelas, meninggalkan bisik-bisik dan tatapan heran dari teman-teman mereka.

Damian dan Valeria berjalan keluar kelas bersama. Langkah kaki Damian terasa ringan, dan tawa kecilnya membuat Valeria ikut tersenyum. Di koridor, Damian sengaja mengayunkan tas Valeria di pundaknya.

"Berat banget, Val. Buku apa batu bata ini?" goda Damian.

Valeria tertawa. "Mana ada! Isinya juga buku doang!"

"Yakin? Kok beratnya kayak ada beban hidup gue di dalamnya, ya?" balas Damian, membuat Valeria semakin terbahak.

Mereka tiba di sebuah bangku taman yang sepi di belakang gedung sekolah, tempat yang mereka sepakati untuk bertemu Revan. Revan sudah menunggu di sana, wajahnya terlihat tegang. Ia terkejut melihat Valeria dan Damian datang bersamaan. Terlebih lagi, ia melihat Damian sedang menggendong tas Valeria.

"Val," sapa Revan, alisnya terangkat. "Ada apa?"

Valeria melepaskan tangannya dari bahu Damian dan berjalan mendekati Revan. "Revan, Damian sudah tahu. Dia sudah mendengarkan sebagian percakapan kita. Dia cuma butuh bukti," jelas Valeria, suaranya pelan.

Revan menatap Damian, yang kini meletakkan kedua tasnya di samping bangku. Tatapan Damian tidak lagi penuh amarah, melainkan penuh kebingungan dan pertanyaan.

"Lo... serius?" tanya Revan, tidak percaya.

"Duduk, Revan," kata Valeria. "Kita jelaskan semuanya sekarang."

Revan duduk di samping Valeria, menghadap Damian. Suasana hening sejenak, hanya ada suara angin sepoi-sepoi yang menerpa dedaunan. Revan menghela napas, bersiap untuk bicara.

"Damian," Revan memulai, suaranya tenang. "Gue tahu lo marah sama gue. Tapi semua yang lo tahu itu bohong. Kita ada di sini bukan untuk berantem, tapi untuk kasih tahu lo kebenarannya. Tapi pertama-tama gue mau tahu apa yang Fara bilang ke lo tentang gue?"

Damian menatap Revan. Wajahnya yang tegang perlahan melunak. Ia menghela napas berat.

"Dia bilang... dia bilang lo itu racun buat dia," jawab Damian, suaranya parau. "Katanya lo yang ngehasut dia buat ninggalin gue. Dia juga bilang lo berusaha ngerebut dia dari gue, dan kalau lo itu orang yang licik."

Valeria menyela, "Yang Fara bilang itu bohong, Damian." Ia kemudian mengeluarkan ponsel Aluna. "Damian, lo harus lihat ini," katanya, sambil menunjukkan tangkapan layar percakapan antara Aluna dan Fara.

Damian mengambil ponsel itu, raut wajahnya masih skeptis. Namun, saat ia membaca pesan-pesan tersebut, ekspresinya perlahan berubah. Matanya membulat, alisnya berkerut, dan rahangnya mengeras. Ia membaca setiap kata, mencerna semua kebohongan yang Fara ciptakan. Ia melihat bagaimana Fara mengaku memanfaatkan dirinya, bagaimana Fara cemburu pada Valeria, dan bagaimana ia berencana untuk membalas dendam pada Revan.

"Ini... nggak mungkin," bisik Damian, tangannya gemetar memegang ponsel.

"Itu semua benar," kata Aluna, suaranya pelan. "Fara itu sepupu gue. Dia cerita semuanya ke gue."

Kini, Damian tak bisa membantah lagi. Emosinya campur aduk: amarah, rasa dikhianati, dan rasa malu yang mendalam. Ia merasa bodoh karena sudah termakan mentah-mentah kebohongan Fara dan memusuhi Revan.

"Jadi... selama ini," gumam Damian, "selama ini gue salah."

Valeria menyentuh pundak Damian dengan lembut. "Bukan salah lo. Fara yang salah. Lo cuma korban dari rencananya."

Damian menoleh ke arah Revan, matanya penuh penyesalan. "Maafin gue, Revan."

Revan menggeleng, "Nggak usah. Sekarang kita semua tahu siapa yang harus kita hadapi."

Apa yang akan menjadi langkah pertama mereka untuk menghadapi Fara?

Buat dialog Damian ketika menceritakan nya dan gabungkan

Revan duduk di samping Valeria, menghadap Damian. Suasana hening sejenak, hanya ada suara angin sepoi-sepoi yang menerpa dedaunan. Revan menghela napas, bersiap untuk bicara.

"Damian," Revan memulai, suaranya tenang. "Gue tahu lo marah sama gue. Tapi pertama-tama gue mau tahu apa yang Fara bilang ke lo tentang gue?"

Damian menatap Revan. Wajahnya yang tegang perlahan melunak. Ia menghela napas berat.

"Dia bilang... dia bilang lo itu racun buat dia," jawab Damian, suaranya parau. "Katanya lo yang ngehasut dia buat ninggalin gue. Dia juga bilang lo berusaha ngerebut dia dari gue, dan kalau lo itu orang yang licik."

"Yang Fara bilang itu bohong, Damian," kata Valeria dengan tegas. Ia kemudian mengeluarkan ponsel Aluna. "Damian, lo harus lihat ini."

Damian mengambil ponsel itu, raut wajahnya masih skeptis. Namun, saat ia membaca pesan-pesan tersebut, ekspresinya perlahan berubah. Matanya membulat, alisnya berkerut, dan rahangnya mengeras. Ia membaca setiap kata, mencerna semua kebohongan yang Fara ciptakan. Ia melihat bagaimana Fara mengaku memanfaatkan dirinya, bagaimana Fara cemburu pada Valeria, dan bagaimana ia berencana untuk membalas dendam pada Revan.

"Ini... nggak mungkin," bisik Damian, tangannya gemetar memegang ponsel.

"Itu semua benar," kata Aluna, suaranya pelan. "Fara itu sepupu gue. Dia cerita semuanya ke gue."

Kini, Damian tak bisa membantah lagi. Emosinya campur aduk: amarah, rasa dikhianati, dan rasa malu yang mendalam. Ia merasa bodoh karena sudah termakan mentah-mentah kebohongan Fara dan memusuhi Revan.

"Jadi... selama ini," gumam Damian, "selama ini gue salah."

Valeria menyentuh pundak Damian dengan lembut. "Bukan salah lo. Fara yang salah. Lo cuma korban dari rencananya."

Damian menoleh ke arah Revan, matanya penuh penyesalan. "Maafin gue, Revan."

Revan menggeleng. "Nggak usah. Sekarang kita semua tahu siapa yang harus kita hadapi."

"Ya, ya udah kalau begitu. Thanks atas semuanya, gue duluan," kata Damian, suaranya terdengar hampa. Tanpa menunggu jawaban, ia pun berdiri dan pergi dengan perasaan campur aduk.

Valeria melihat kepergiannya. Naluri pertamanya adalah mengejarnya. Ia berdiri, ketika hendak melangkah dengan cepat Revan menahan tangannya.

...Hanya ilustrasi gambar....

"Jangan," bisik Revan. "Biarin dia sendiri dulu."

"Tapi dia kelihatan sedih," balas Valeria, menatap Revan dengan cemas.

Revan menggeleng. "Dia butuh waktu. Dia baru tahu kalau pacar yang dia percaya selama ini ngebohongin dia. Dia butuh waktu untuk mencerna semuanya. Kalau lo ikutin, itu cuma bakal bikin dia makin nggak nyaman."

Valeria menatap punggung Damian yang semakin menjauh, lalu beralih ke Revan. Ia menghela napas, menyadari bahwa Revan benar.

"Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Valeria.

"Kita tunggu dia," jawab Revan. "Kita beri dia ruang. Setelah dia tenang, baru kita bicara lagi. Sekarang, kita harus memikirkan langkah selanjutnya."

Setelah Revan mengatakan itu, Valeria mengangguk mengerti. Aluna melihat Revan memegang tangan Valeria, dan tiba-tiba ada perasaan cemburu dalam hatinya. Wajahnya yang tadinya cemas, kini terlihat sedikit muram. Revan menyadari tatapan itu, ia pun melepaskan tangan Valeria.

"Yaudah kalau gitu, aku juga pulang duluan ya, Revan, Valeria," ucap Aluna.

Valeria menyerahkan ponselnya kepada Aluna. "Ah iya, ini ponselnya, Lun. Makasih banyak ya."

Revan menatap Aluna, Aluna tersenyum kecil, dan Revan membalasnya. Valeria melihat interaksi itu dan berpikir dalam hati, "Ada apa nih antara mereka berdua?"

Valeria mengalihkan pandangannya. "Yaudah, Van, kita juga pulang yuk. Aku takut Pak Edi udah sampai."

"Kalau begitu, kita jalan bareng aja," ajak Revan.

Mereka bertiga berjalan menuju gerbang sekolah. Sesampainya di luar, terlihat Pak Edi sudah menunggu. Ia turun dari mobil, menyapa Valeria, lalu membukakan pintu untuknya.

"Sampai ketemu besok," ucap Valeria. Ia pamit kepada Revan dan Aluna, lalu masuk ke dalam mobil.

Setelah Valeria pergi, Revan menoleh ke Aluna. "Lun, kamu tunggu di sini, ya. Aku ambil motorku. Aku anterin kamu pulang."

Tanpa menunggu jawaban Aluna, Revan bergegas pergi menuju parkiran.

Beberapa menit kemudian, Revan kembali dengan motor sport-nya. Aluna sudah menunggunya, terlihat cemas. Ia ragu untuk naik, tetapi Revan menyodorkan helm kepadanya.

"Ini," kata Revan, suaranya lembut. "Jangan takut, aku akan anterin kamu dengan aman."

Aluna mengangguk, mengambil helm, dan memakainya. Ia naik ke motor Revan, tangannya memegang erat bahu Revan. Di perjalanan, suasana hening. Hingga akhirnya Revan memulai pembicaraan.

"Lun, makasih banyak ya," kata Revan, suaranya terdengar tulus. "Tanpa kamu, kita nggak akan tahu kebenarannya."

"Sama-sama, Revan," jawab Aluna. "Aku cuma nggak mau Fara terus-terusan bikin masalah. Dia sepupuku, tapi... dia sudah keterlaluan."

"Aku janji, Fara nggak akan bisa gangguin kamu lagi," kata Revan. "Kita akan hadapin dia bareng-bareng."

Aluna mengangguk. Janji Revan membuat hatinya sedikit tenang.

Setibanya di depan rumah Aluna, Revan mematikan motornya. Aluna turun dan menyerahkan helm itu kembali. "Makasih, Revan," ucapnya, suaranya pelan.

"Sama-sama, Lun," balas Revan, tersenyum.

Saat Aluna hendak masuk, ia berbalik dan menatap Revan. "Revan, hati-hati di jalan ya," katanya.

Revan mengangguk, lalu menyalakan motornya dan pergi.

Di saat yang sama, mobil Pak Edi tiba di depan rumah Valeria. Tanpa basa-basi, Valeria langsung turun, mengucapkan terima kasih seadanya, dan masuk ke dalam. Ia berjalan melewati ruang keluarga dan langsung menuju kamarnya.

Valeria menjatuhkan tasnya di lantai dan merebahkan diri di tempat tidur. Pikirannya kembali memutar kejadian hari ini. Konflik dengan Fara dan rekonsiliasi dengan Damian sudah menjadi beban yang berat, tetapi ada satu hal yang terus mengganjal di benaknya: interaksi Revan dan Aluna.

Ia teringat saat Revan melepaskan tangannya begitu menyadari Aluna melihat. Ia juga teringat senyum yang Revan berikan kepada Aluna, yang seolah memiliki makna tersembunyi.

"Ada apa sih, di antara mereka?" gumam Valeria pelan. Ia merasa cemas, tidak yakin dengan perasaannya sendiri. Di satu sisi, ia merasa lega karena masalah dengan Damian sudah selesai, tetapi di sisi lain, ia merasa ada sesuatu yang baru saja dimulai. Sesuatu yang melibatkan hatinya.

Sore hari pun tiba. Mama Diandra, yang baru pulang dari kantor, mengetuk pintu kamar Valeria. Namun, tidak ada jawaban. Setelah menunggu beberapa saat, ia memutar kenop pintu dan membukanya perlahan.

Mama Diandra tersenyum lembut saat melihat putrinya terlelap di atas kasur, masih mengenakan seragam sekolah. Ia melihat tas sekolah Valeria tergeletak di lantai, lalu mengambilnya dan meletakkannya di samping Valeria.

Dengan perlahan, Mama Diandra duduk di sisi kasur dan membangunkan Valeria. "Val, bangun, Sayang. Ganti baju dulu, ya."

Valeria mengerjap, pandangannya masih kabur. Ia terkejut melihat ibunya sudah ada di sampingnya. "Mama?"

"Iya, ini Mama," jawab Mama Diandra, membelai rambut putrinya. "Kenapa kamu tidur pakai seragam? Ada masalah di sekolah?"

Valeria menggeleng, mencoba menyembunyikan perasaannya. "Nggak ada apa-apa kok, Ma. Valeria capek aja."

Mama Diandra tersenyum. "Mama tahu kalau ada sesuatu yang mengganggu pikiran kamu. Cerita sama Mama, Sayang."

Valeria terdiam, akhirnya menyerah. "Ma... apa mungkin teman laki-laki dan perempuan tidak bisa berteman tanpa ada perasaan canggung?" tanyanya, suaranya pelan.

Mama Diandra menatap putrinya dengan serius. "Kamu suka sama Revan?" tanyanya lugas.

Valeria tidak menjawab.

"Mama heran, kalian sudah kenal sejak kecil, sudah hampir 13 tahun," lanjut Diandra. "Mama mau tanya, kamu sama Revan itu hubungannya gimana? Masih teman atau sudah pacaran?"

"Kita sahabatan, Mah," jawab Valeria lirih.

"Kenapa kalian nggak pacaran saja?" tanya Diandra, suaranya terdengar tidak sabar. "Mama setuju kalau kamu pacaran sama Revan. Dia baik, sopan, pintar, keluarganya jelas dan berada, sama seperti kita. Cocok buat kamu dan masa depan kamu."

Valeria menggeleng. "Tapi, Mah... Valeria sahabatan sama Revan itu tulus, nggak mandang dia anak siapa, dari keturunan mana, kita..."

"Cukup, Valeria," potong Diandra. Suaranya kini terdengar dingin dan otoriter. "Di dunia yang keras seperti ini, tulus saja itu nggak cukup. Penting juga untuk memikirkan kehidupan nanti. Mama pernah bilang sama kamu, kalau cari laki-laki itu yang sepadan. Kamu calon penerus usaha Mama dan kamu bukan anak kecil lagi, Valeria. Bukan saatnya kamu main-main lagi. Mulai besok, Mama akan mengajari kamu soal bisnis. Jadi, kamu kurangi mainmu dan bergaul dengan orang yang bisa membantu kamu di masa depan nanti."

Valeria menunduk, tidak berani menatap ibunya. Bahunya terlihat merosot, menunjukkan kekalahannya.

"Kamu mengerti, Valeria?" tanya Diandra, suaranya tetap tegas.

Dengan suara nyaris tak terdengar, Valeria menjawab, "Iya, Ma."

Diandra mengangguk, puas. "Yaudah kalau begitu, kamu mandi. Sudah sore. Nanti kita makan malam."

Setelah Diandra keluar dari kamar, Valeria ambruk di atas tempat tidur. Air matanya yang ia tahan sejak tadi akhirnya tumpah. Hati Valeria hancur. Ia tidak hanya sedih karena disuruh menjauhi teman-temannya, tetapi juga merasa dikhianati oleh orang yang seharusnya paling memahaminya.

Mama Diandra, yang selama ini ia kira selalu mendukungnya, ternyata memiliki pandangan yang sangat berbeda tentang hidup. Bagi Diandra, persahabatan dan ketulusan tidak penting. Yang penting adalah kekuasaan, status, dan masa depan yang terjamin secara finansial.

Valeria terbaring sendirian, merasa kosong. Dunia yang ia kenal, yang dibangun di atas persahabatan tulus dengan Revan, Damian, dan teman-teman lainnya, kini terasa rapuh.

Makan malam tiba. Di meja makan yang besar dan mewah, suasana terasa sangat dingin. Papa, yang baru pulang kerja, duduk di ujung meja, sementara Mama Diandra duduk di hadapannya. Valeria duduk di samping Diandra, merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri.

Tidak ada canda tawa seperti biasanya. Makanan yang disajikan terasa hambar di lidah Valeria. Mama Diandra membuka pembicaraan, namun nadanya terdengar seperti sedang rapat, bukan makan malam.

"Papa, nanti malam kita bahas rencana ekspansi kita ke Surabaya," kata Mama Diandra. "Dan mulai besok, Valeria akan mulai belajar soal bisnis. Dia harus mengerti tanggung jawabnya sebagai pewaris."

Papa hanya mengangguk, matanya sesekali melirik Valeria yang hanya mengaduk-aduk makanannya. Diandra menyadari hal itu.

"Val, jangan main-main dengan makananmu," tegur Mama Diandra. "Kalau kamu sudah mengerti tanggung jawabmu, kamu akan makan dengan baik."

Valeria hanya menunduk, tidak berani menjawab. Ia merasa setiap kata ibunya adalah serangan pribadi. Hatinya sakit, tidak hanya karena harus kehilangan kebebasannya, tetapi juga karena ibunya sendiri yang mengambil kebahagiaannya.

Setelah makan malam yang terasa seperti interogasi, Valeria kembali ke kamarnya. Ia memandangi ponselnya, melihat pesan dari Revan, tapi ia tidak berani membalas. Ia merasa dunia Revan dan teman-temannya kini adalah dunia yang terlarang untuknya.

Di kamar orang tua Valeria, Mikhael menatap Diandra dengan tatapan tidak setuju.

"Ma, Mama nggak perlu sekeras itu sama Valeria," kata Mikhael. "Dia masih sekolah. Biar dia menikmati masa mudanya, jalan-jalan, dan bermain dengan teman-temannya."

Diandra menatap Mikhael tajam. "Pa, Valeria bukan anak kecil lagi. Dia sudah dewasa. Dia harus belajar mana prioritas yang penting dan tidak penting dalam hidupnya."

"Tapi kan bisa nanti, Ma. Kalau dia sudah lulus sekolah?" balas Mikhael. "Ini belum saatnya dia belajar tentang bisnis."

"Pokoknya aku mau besok dia harus belajar bisnis," tegas Diandra. "Aku akan panggil orang untuk mengajarinya."

"Hah, terserah kamu, Ma," kata Mikhael, menyerah. "Untuk rencana ekspansi kita ke Surabaya, kamu saja yang urus. Aku harus ke luar negeri besok. Ada masalah di perusahaan aku di sana. Tapi kalau ada masalah di Surabaya, kamu bisa hubungi aku. Nanti aku langsung menyusul dan terbang ke Surabaya."

"Tapi, apa masalahnya besar?" tanya Diandra, khawatir.

"Aku nggak tahu, tapi semoga aja nggak," jawab Mikhael. Ia kemudian mencoba mengganti topik. "Ngomong-ngomong, kamu sudah hubungi Justin? Bagaimana kabarnya?"

"Dia baik," kata Diandra. "Dia bilang akan pulang ke sini kalau sudah liburan sekolah. Dia mau fokus dan persiapan untuk ulangan minggu depan."

"Ya, syukurlah kalau dia baik dan betah di asrama," ujar Mikhael.

Diandra mengangguk. "Ya, dan dia sangat pintar, rajin, dan penurut. Tidak seperti Valeria. Kadang aku sempat menyesal mengangkat dia sebagai anak. Tapi jika dipikir lagi, tanpa dia mungkin kita tidak akan bisa punya anak, dan Justin tidak mungkin lahir dan ada di dunia. Berkat dia, aku bisa merasakan jadi seorang ibu dan bisa mengandung serta melahirkan Justin, anak kandung kita."

Mikhael terkejut. "Tapi Diandra, jangan pernah kamu mengatakan itu sekali lagi, di depan atau di belakangnya. Jika sampai Valeria mendengar itu, itu akan sangat menyakiti hatinya."

"Aku janji, Pa," kata Diandra, nadanya melembut. "Aku tidak akan pernah mengatakannya lagi."

Pagi harinya, suasana di rumah terasa dingin dan hampa. Mikhael sudah siap dengan koper di sampingnya, mengenakan setelan jas rapi. Ia menghampiri Diandra yang sedang berdiri di ruang tamu sambil menelepon.

"Aku berangkat sekarang, Ma," kata Mikhael.

Diandra hanya mengangguk, lalu menutup teleponnya. "Hati-hati di jalan. Kabari aku jika sudah sampai."

Mikhael mengangguk. Ia kemudian menatap Valeria, yang berdiri di tangga, memegang erat tali tasnya. Mikhael berjalan mendekati putrinya, memeluknya dengan hangat.

"Jaga diri baik-baik, ya, Sayang," bisik Mikhael. Tatapannya penuh makna, seolah berkata, "Maafkan Papa."

Valeria hanya mengangguk, tak bisa berkata-kata. Ia merasa pelukan ayahnya adalah satu-satunya kehangatan yang ia miliki di rumah itu.

Setelah Mikhael pergi, Diandra menoleh ke arah Valeria. Wajahnya kembali dingin dan tegas.

"Valeria, mulai hari ini, jadwalmu akan berubah," kata Diandra, nadanya tidak menerima bantahan. "Pak Bimo akan datang jam 4 sore untuk mengajarimu soal bisnis. Kamu harus siap."

Valeria hanya bisa menunduk, menerima kenyataan baru yang pahit.

"Iya, Ma," jawab Valeria, suaranya pelan.

"Yaudah, kamu berangkat sekolah nanti telat," kata Diandra, nada suaranya datar.

Valeria mengangguk, mengambil tasnya, dan berjalan keluar. Di dalam mobil, pikirannya melayang ke mana-mana. Perintah ibunya untuk menjauhi teman-temannya masih terngiang-ngiang di telinganya. Rasa sakit dan bingung memenuhi hatinya.

Setibanya di sekolah, Valeria menghela napas panjang. Ia keluar dari mobil, berjalan perlahan di koridor. Sekolah, yang biasanya terasa seperti medan perang, kini justru terasa seperti tempat pelarian dari rumahnya.

Saat ia berjalan, pandangannya bertemu dengan Revan yang sedang berdiri di depan loker. Revan tersenyum dan melambaikan tangan, isyarat untuk mengajaknya bicara. Valeria tahu ia harus berhadapan dengan Revan, namun ia merasa cemas. Perkataan ibunya telah membuatnya ragu.

Perkataan Mama Diandra semalam kembali terngiang-ngiang di telinga Valeria.

"Dia baik, sopan, pintar... cocok buat kamu dan masa depan kamu."

"Kurangi bergaul dengan orang yang tidak bisa membantu kamu di masa depan nanti."

Hati Valeria terasa sakit. Ia tahu, ibunya ingin ia berpacaran dengan Revan karena Revan adalah "calon yang sempurna" untuknya dan masa depan bisnis keluarganya. Padahal, Valeria ingin menjalin hubungan dengan Revan karena cinta, bukan karena itu.

Revan melambaikan tangan, isyarat untuk mengajak Valeria bicara. Namun, Valeria tidak membalas. Ia berjalan perlahan, mencoba menyembunyikan badai di dalam hatinya.

"Val! Kok tumben sih, jalannya kayak siput?" sapa Revan dengan senyum ceria. "Aku udah duluan nyampe. Gimana kabar Damian?"

Valeria hanya tersenyum tipis, suaranya terdengar datar. "Aku... aku nggak tahu."

Revan mengerutkan kening, bingung. Ini bukan Valeria yang dikenalnya. Ia terkejut, namun tetap melangkah mendekat. "Val... kamu kenapa?" tanyanya, nada bicaranya berubah menjadi khawatir. "Ada yang gangguin kamu?"

Valeria menggeleng, tidak berani menatap mata Revan. "Nggak ada. Aku cuma... capek aja. Semalam nggak bisa tidur."

Revan terdiam. Ia tahu Valeria berbohong. Ada sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar rasa lelah. Jarak yang tercipta di antara mereka terasa begitu nyata.

Revan Memberi jeda

"Oke," kata Revan akhirnya, suaranya lembut. "Kalau gitu, aku nggak akan paksa kamu buat cerita sekarang. Tapi satu hal yang perlu kamu tahu, aku di sini kalau kamu butuh aku."

Valeria mengangguk pelan, merasa bersalah karena telah membuat Revan khawatir. Namun, ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. Perkataan ibunya terlalu berat.

Tiba-tiba, Damian berjalan mendekati mereka. Wajahnya terlihat jauh lebih tenang dari kemarin, namun masih ada jejak kebingungan di matanya. Ia melihat interaksi canggung antara Revan dan Valeria.

Bagaimana pertemuan Revan, Valeria, dan Damian?

Bersambung....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!