"Pada akhirnya, kamu adalah luka yang tidak ingin aku lepas. Dan obat yang tidak ingin aku dapat."
________________
Bagaimana rasanya berbagi hidup, satu atap, dan ranjang yang sama dengan seseorang yang kau benci?
Namun, sekaligus tak bisa kau lepaskan.
Nina Arunika terpaksa menikahi Jefan Arkansa lelaki yang kini resmi menjadi suaminya. Sosok yang ia benci karena sebuah alasan masa lalu, namun juga cinta pertamanya. Seseorang yang paling tidak ingin Nina temui, tetapi sekaligus orang yang selalu ia rindukan kehadirannya.
Yang tak pernah Nina mengerti adalah alasan Jefan mau menikahinya. Pria dingin itu tampak sama sekali tidak tertarik padanya, bahkan nyaris mengabaikan keberadaannya. Sikap acuh dan tatapan yang penuh jarak semakin menenggelamkan Nina ke dalam benci yang menyiksa.
Mampukah Nina bertahan dalam pernikahan tanpa kehangatan ini?
Ataukah cinta akan mengalahkan benci?
atau justru benci yang perlahan menghapus sisa cintanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rumachi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terpikat yang Tersembunyi
"Bodoh! Apa yang baru saja kulakukan?!"
Jefan mengutuk bayangannya dicermin. Ia membasuh wajahnya diwestafel. Bayangan dimeja makan tadi membuatnya agak frustasi.
Jefan hampir saja menuruti kata hatinya untuk mencium Nina. Kalau saja, ia tidak menyadari keterkejutan ekspresi Nina, Jefan pasti sudah mengecup bibir mungil istrinya itu.
Jefan meremas rambutnya yang basah "Bagaimana jika dia semakin tidak nyaman denganku?"
Wajah bahagia Nina benar-benar hampir meruntuhkan pertahanan nya. Jika begini terus Jefan benar-benar bisa mencelakai Nina. Dia bisa melukai hatinya lagi.
Dan dia tidak mau itu terjadi. Nina pasti sangat benci menerima sentuhan dari laki-laki yang ia benci.
Jefan menyalakan sower dan membiarkan badannya diguyur hingga bersih. Ia berharap akal nya juga bisa kembali bersih dan sehat.
Jefan menghabiskan waktu beberapa menit untuk membersihkan diri, sekaligus mempersiapkan hatinya menghadapi malam pertama yang akan mereka habiskan dalam kondisi sadar keduanya penghuni kasurnya.
Setelah memakai piyama mandi, Jefan melangkah keluar. Ia mengedarkan pandangan mencari sosok Nina, dan dapat ia temukan gadis itu sedang ada dibalkon dan berbicara dengan seseorang melalui telpon.
Alis Jefan bertaut, Apa Nina punya teman? Setaunya Nina tak memiliki teman sama sekali, karena dulu Nina habiskan waktunya hanya untuk mencari uang. Tak sempat baginya untuk menjalin pertemanan.
"Baik, terimakasih banyak sekali lagi"
Nina tersenyum setelah menutup telponnya. Begitu membalikkan badan ada keterkejutan dimatanya melihat Jefan yang sudah selesai mandi dan menatap ke arahnya.
Apa dia mendengar semuanya?
Bagaimana ini? Apa Nina ketahuan tadi sedang meminta izin cuti bekerja?
Namun ternyata, Jefan hanya kembali berjalan dan menuju ruang ganti. Nina menghembuskan napas lega, sepertinya dia tidak mendengar smuanya.
Jika iya, pasti dia sudah memaki Nina kan?
Nina melangkah gantian menuju kamar mandi, aroma sabun dan shampoo Jefan masih memenuhi ruangan. Nina jadi tersadar malam ini, pertama kalinya ia bisa melihat suaminya tidur.
Tapi, sepertinya itu akan canggung.
Karena sejak awal kasur besar mereka sudah memiliki batas kepemilikan sendiri.
"Apa kau sudah selesai mandi?" suara Jefan terdengar agak berteriak dari luar kamar mandi.
"Sebentar lagi"
Pipi Nina memanas tanpa sebab. Padahal ia sedang menikmati air segar tapi entah kenapa Nina merasa panas tanpa alasan.
Nina keluar setelah mandi dengan cepat, rambutnya tergulung handuk, dan masih memakai piyama mandi.
"Ada apa?" tanya Nina pada Jefan yang sedang duduk di sofa kecil kamar mereka
Jefan melirik sekilas, kemudian mengalihkan padangannya pada tab yang baru saja ia ambil.
"Tidak ada"
Nina menatap bingung, kadang perubahan atmosfer diantara mereka terlalu cepat. Nina bisa limbung karenanya.
"Aku mau ganti dulu" ujar Nina yang tak disambut jawaban apapun. Lelaki itu sudah fokus pada tab yang dipegangnya.
Nina memutar bola matanya jengah, ia berjalan menuju ruang ganti sembari menyumpahi dalam hati. Harga diri Nina sebagai wanita jadi agak tercoreng, apa dia sangat tidak memikat? Biasanya laki-laki mudah terpikat bukan dengan perempuan yang habis mandi? terlebih Nina kan istrinya.
Masalahnya memang benar, Jefan hanya membuka dan menutup satu aplikasi yang sama agar terlihat sibuk. Tujuan nya jelas! untuk mengalihkan perhatian nya dari Nina.
Tapi ekor matanya tidak mau menurut, dia terus mengikuti sosok istrinya kemanapun ia pergi. Ternyata menghabiskan waktu lebih lama dirumah lebih membuatnya frustasi dibanding tumpukan berkas dikantor.
Tak lama gadis itu kembali dari ruang ganti, ia sudah mengenakan baju tidur berwarna hitam dengan model dress diatas lutut.
Apa Nina berniat menggodanya?
Jefan semakin mengatupkan rahangnya.
"Kau tidak tidur?" Ujar Nina sembari menyalakan hairdryer
Jefan belum menjawab, dia hanya menatap wajah Nina dari pantulan kaca.
"Baiklah, fokuslah pada pekerjaan mu aku tidak akan mengganggu" Nina berkata dengan nada jengah karena tak kunjung dapat jawaban. Ia hanya mendapat tatapan menusuk dari lelaki itu.
Jefan bangkit dari kursi nya, mendekati Nina yang sedang mengeringkan rambut. Setelah sampai tepat di belakang tubuh Nina, ia mengambil alih alat hairdryer itu dan melanjutkan aktivitas yang sedari tadi Nina lakukan sendiri.
Nina terdiam, menatap wajah serius Jefan dari cermin. Jefan dengan lembut mengeringkan rambut panjang Nina. Nina tidak bisa menolaknya, bahkan tidak berniat menghindari nya juga.
Rasanya senang diperlakukan layaknya seorang istri yang dicintai seperti ini.
Andai saja pernikahan ini dilakukan dengan cinta. Pasti moment ini akan menjadi kenangan romantis mereka kan.
"Kau jago mengeringkan rambut ya? Kau sering melakukan ini?"
"Ini pertama kalinya aku melakukannya"
"Tapi, kau terlihat lebih ahli dariku"
"Aku akan melakukan ini untukmu, kalau aku ada dirumah"
Nina meremas dress nya untuk mengumpulkan keberanian "Bisakah kau terus menghabiskan waktu denganku seperti ini?"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...****************...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Kau terlihat bahagia setelah cuti satu hari, Nina"
Gadis itu mengukir senyum manis nya. Benar, dia sangat penuh energi saat ini. Jangankan fokus, tenaga nya pun seakan ter-charge full sekarang.
"Terimakasih sudah mengizinkan ku cuti pak" ucap Nina sembari membungkuk.
"Seperti kau habis berkencan ya dengan suamimu?"
Nina mengangguk dua kali, ia jadi terlihat seperti remaja yang baru saja jatuh cinta. Dia bahakn tidak bisa menyembunyikan pipi yang terus memerah itu.
"Kalian pergi kemana kemarin"
"Kedai eskrim"
"Lalu?"
"Lalu... pulang"
Jean tertawa mendengar jawaban polos Nina, ternyata memang dia orang yang sangat sederhana ya.
"Jadi kalian hanya makan es krim lalu pulang dan kau sudah sangat berseri bahagia seperti habis honeymoon"
Nina mengangguk pelan, memangnya aneh? Tentu saja dia bahagia, meski terlihat sederhana, kemarin adalah hari yang sangat mengisi hatinya.
Setelah selian lama, bahkan Nina tak berhasil mengingat nya kapan terakhir kali ia makan eskrim, hari itu ia bisa memakan dengan tenang eskrim manis yang sangat enak.
Jefan bahkan sampai terus mengingatkan Nina untuk makan perlahan karena antusias Nina.
Meski Jefan hanya memakan satu sendok sebagai formalitas mendatangi kedai eskrim tapi dia terus menunggu dengan sabar Nina menghabiskan dua mangkuk eskrimnya.
Hal itu sangat berarti. Sangat membayar hari-hari sepi Nina sebelumnya.
"Kukira kalian pergi menginap di tempat romantis untuk menghabiskan malah menggairahkan disana"
"Bagiku, kencan seperti kemarin lebih romantis"
"Benar sih, sesederhana apapun itu kalau dilakukan dengan orang yang kita cintai pasti terasa spesial kan"
Dilakukan dengan orang yang kita cintai?
Sepertinya benar begitu ya, Nina gadis bodoh itu. Lagi-lagi iya terjebak pada perasaanya sendiri. Hatinya mengalahkan segalanya. Termasuk kebecian itu sendiri.
"Nina... "
Nina menoleh, perempuan yang baru saja memasuki kafe memanggilnya dengan sumringah.
Nina menatap Jean yang tanpa jeda lama memberikan kode untuk memperbolehkan nya bicara pada temannya. Nina membungkuk sebagai ucapan terimakasih dan tersenyum ramah.
"Ada apa Hera?"
Hera menggandeng tangan Nina, membawanya ke kursi yang berada disudut kafe.
"Apa kencan kalian kemarin lancar?"
"Oh kau juga tau?"
Nina baru menyadari, Hera seperti jauh lebih dekat dengan jefan dari yang ia bayangkan. Jefan seperti merasa nyaman hingga menceritakan banyak hal pada Hera. Apa Nina iri? Bukankah dia tidak pantas untuk itu?
"Seperti lancar kan, Jefan terlihat agak berbeda hari ini"
"Berbeda seperti?"
"Kau tau kan, kalau dia terus memasang wajah robotnya. Tapi, hari ini dia banyak tersenyum. Aku hampir geli sendiri melihat nya"
Nina menaikan alisnya "Apa hubungannya dengan kami yang pergi bersama kemarin?"
Hera mendesis jengah "Masih saja bertanya, tentu saja karena dia bahagia bisa menghabiskan waktu denganmu."
"Benarkah?"
Hera mengangguk penuh semangat, membuat Nina tersenyum lebar. Jantungnya sedikit berdegup ramai karena perkataan Hera.
"Kalian harus sering seperti itu ya, habiskan lah banyak waktu berdua"
Nina termenung, sebenarnya ia juga sangat menginginkan iti, tapi Jawaban Jefan malam itu memberikannya fakta yang ada.
"Jefan bilang dia tidak mau menjanjikan hal yang tidak pasti"
"Mungkin dia takut kamu kecewa"
"Hera, bisakah aku bertanya sesuatu?"
"Tentu saja, Nina. Kau kan temanku"
"Jefan... sebenarnya bagaimana perasaannya padaku?"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...