Kisah seorang gadis bernama Kanaya, yang baru mengetahui jika dirinya bukanlah anak kandung di keluarga nya saat umurnya yang ke- 13 tahun, kehadiran Aria-- sang anak kandung telah memporak-porandakan segalanya yang ia anggap rumah. Bisakah ia mendapatkan kebahagiaannya kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jeju Oranye, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BUK- 20 : Kepintaran Kanaya
Perpustakaan yang tadinya menjadi tempat tenang kini berubah jadi ajang keributan. Penolakan Kanaya terhadap Revan, cowok paling populer di sekolah--seolah meledakkan bom.
Bisikan, cibiran, tawa mengejek, sampai sorot mata penuh iri datang bertubi-tubi.
Aria, yang sedari tadi berdiri di pojokan bersama geng-nya, mengepalkan tangan erat. Nafasnya memburu karena amarah.
“Anak pungut itu lagi-lagi bikin semua mata ngeliat ke dia…” gumamnya sambil gigi bergemeletuk.
Sementara Kanaya? Ia sudah duduk kembali, membuka buku seolah tidak terjadi apa-apa. Seakan keributan barusan hanyalah angin lalu.
Malamnya di rumah, ketika berita penolakannya meledak, rumah keluarga Arkatama mendadak dipenuhi ketegangan. Javier dan Jendra, yang memang tak menyukai keberadaan Kanaya di sekolah apalagi setelah mendengar kabar ini dari Aria, tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menyindir.
“Kay,” ujar Jendra sambil tertawa kecut, “gue sampe nggak ngerti sama lo. Anak pungut aja udah untung bisa sekolah di sini. Bukannya belajar rendah hati, malah nolak tiga cowok paling populer di sekolah. Mau jadi selebritas gagal, hah?” katanya dengan penuh nada sarkas.
Javier menimpali dengan nada lebih menusuk. “Iya. Lo pikir diri lo siapa, Nay? Anak pungut, muka pas-pasan, sok-sokan jual mahal. Jangan bikin keluarga ini malu.”
Aria, yang duduk anggun sambil mengaduk jus buahnya, pura-pura menghela napas. “Aku juga nggak ngerti, Kak. Teman-teman di sekolah pada bilang sama aku, pasti kamu malu banget ya jadi adiknya, terus mereka bilang apa semua anggota keluarga Arkatama sombong seperti dia? hiks, maaf kak nay bukan nya aku tak bisa membela,tapi aku juga bingung cara menanggapinya gimana," Ia menatap Kanaya dengan wajah sendu seolah simpati namun Kanaya tahu di balik wajah sok lugunya itu, dia menyembunyikan racun.
Kanaya hanya diam, percuma membuka suara pun hanya akan menjadi bahan bakar untuk mereka semakin menyela nya. Ia memilih untuk pergi ke kamarnya, namun Javier tiba-tiba menarik tangannya.
"Eh, ingat ya, ayahnya Revan mahendra itu rekan bisnisnya papah. Kalau sampai masalah ini mempengaruhi kerjasama di antara mereka, abis lo! "
"Dan lo harusnya minta maaf ke dia. " lanjut Jendra dan di angguki oleh Javier.
Namun Kanaya tersenyum miring.
Lucu sekali, Kanaya sampai terkekeh geli mendengar nya. "Anak papa banget ya berarti dia, sampai masalah kecil kaya gini aja ngadu ke orang tua nya dan ngaruh ke bisnis yang gak ada sangkut pautnya. "
Javier geram, Kanaya sangat pintar bersilat lidah dan membalikkan ucapan nya. "Lo! "
"Apa? mau bikin alasan lagi buat jatuhin gue? ingat ya kak, gue sama gak peduli kalau sampai masalah ini ngaruh ke bisnis papa, tapi yang pasti gue gak akan minta maaf karena gue gak salah! " ucapnya sambil menghempas jeratan tangan Javier dan berbalik pergi.
Sementara Aria yang melihat nya, mengepalkan tangan karena geram sambil menyipitkan mata.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Keesokan paginya, Matahari merambat naik, menebarkan cahaya keemasan di halaman luas sekolah SMA pelita harapan bangsa. Namun bukan sinar pagi yang jadi bahan pembicaraan seluruh siswa, melainkan satu nama yang hari itu memenuhi grup obrolan, status media sosial, hingga bisik-bisik di lorong kelas.
"Lo liat nggak video di grup? Kanaya nolak Revan gitu aja.”
“Gila, berani banget. Kayak nggak tau diri!”
“Ck, anak IPS so iye. Emang pantasnya dia siapa sih?”
Di setiap koridor, setiap kantin, bahkan toilet, nama Kanaya jadi trending topic. Banyak yang mengejek, sebagian kagum diam-diam, tapi yang pasti mayoritas melabelinya sebagai “public enemy”. Bagaimana tidak? Revan mahendra merupakan siswa populer dari kalangan elite bukan hanya kesayangan para muridnya tapi juga guru- guru. Dan hari di mana ia mendapatkan penolakan dari murid baru yang menurut mereka biasa aja, di situlah awal permusuhan terbuka mereka pada satu sosok, Kanaya-- biang kerok yang membuat Revan sampai tidak masuk sekolah hari ini. Teman-teman nya mengatakan jika dia sedang patah hati dan tak ingin di ganggu yang justru opini itu mencuat, semakin memperkeruh keadaan.
Tapi Kanaya biasa saja, ia berjalan santai di koridor, dengan headset menempel di telinga. Ia tidak sedikit pun mengubah ekspresinya. Tatapan penuh benci dari para siswi bukan hal baru baginya.
Sisi lain, Aria justru memanfaatkan situasi ini. Ia berjalan di antara kerumunan dengan wajah sok prihatin, seolah peduli dengan keadaan yang menimpa Kanaya namun salah satu temannya yang sudah ia hasut sengaja berjalan di belakang Kanaya dengan tersenyum sinis.
“Aduh, kasihan ya Kanaya. Gue denger dia anak pungut… pantes aja dia berani nolak Revan, mungkin biar dianggap keren. Tapi ya gitu, jadinya malah bahan gosip.”
Cewek-cewek yang mendengarnya langsung mengangguk, semakin menganggap Kanaya murahan.
Aria tersenyum tipis. Rencananya berjalan mulus.
***
Hari itu sekolah mengadakan kegiatan belajar di lapangan utama. Semua murid dari jurusan IPA, IPS, dan Bahasa dikumpulkan. Kursi-kursi panjang berjejer, papan tulis besar dipasang di depan.
Seorang guru senior, Pak Guntur, berdiri dengan mikrofon. Suaranya lantang.
“Anak-anak, sekolah kita akan mengirim perwakilan untuk mengikuti lomba fisika dan sains tingkat nasional. Ini kesempatan besar, dan saya ingin melihat siapa saja di antara kalian yang punya potensi.”
Mata-mata murid IPA berbinar penuh percaya diri. Mereka memang selalu menjadi andalan di bidang akademik. Sebaliknya, anak IPS banyak yang hanya menunduk, sudah pasrah karena sering dianggap ‘kelas buangan’.
Pak Guntur melanjutkan.
“Kita akan coba tes sederhana. Saya akan tulis beberapa soal di papan tulis, kalian boleh maju kalau merasa mampu menjawab.”
Ia menulis cepat, rumus-rumus fisika kuantum, logika matematika, dan satu soal cerita yang terlihat rumit.
Beberapa murid IPA langsung maju. Salah satunya adalah Adrian Pratama, ranking satu sekolah sekaligus juara umum. Cowok berkacamata ini tampil penuh percaya diri. Ia menuliskan jawabannya dengan lancar, membuat teman-temannya kagum.
“Wajar sih, Adrian jenius banget.”
“Udah pasti dia yang jadi wakil sekolah.”
Tiba-tiba, bangku belakang berderit. Semua kepala menoleh. Kanaya berdiri. Ia berjalan pelan ke depan. Suara bisik-bisik langsung pecah.
“Dia serius? Anak IPS?”
“Halah, ini mau cari perhatian lagi, ya?"
“Dasar sok pintar.”
"Dia mau ngapain coba?”
“Jangan bikin malu jurusan lah!”
Aria ternganga, lalu tersenyum sinis. “Coba aja, Kanaya. Biar kamu tahu rasanya dipermalukan di depan ratusan orang.”
Kanaya berdiri di depan papan tulis. Tangan putihnya meraih kapur. Ia membaca soal sebentar, lalu mulai menulis. Langkahnya mantap, tulisannya rapi. Ia menyusun persamaan, menguraikan langkah demi langkah. Suasana hening. Bahkan guru-guru ikut menatap tanpa berkedip.
Dalam sepuluh menit, jawabannya selesai. Ia meletakkan kapur.
Pak Guntur maju, memeriksa. Wajahnya berubah kagum. “Sempurna. Jawabanmu benar, Kanaya.”
Suasana pecah. Ada yang terkejut, ada yang tidak percaya.
“Serius? Anak IPS ngalahin juara umum?”
“Impossible!”
Aria menggertakkan gigi. Wajahnya memerah. Ia ingin berteriak, tapi tak bisa. Semua mata sekarang menatap Kanaya dengan kagum.
Sorak-sorai kecil terdengar, terutama dari anak IPA dan Kanaya menjadi sorotan lagi namun kali ini karena kepintarannya.
****