Nama besar - Mykaelenko... bukan hanya tentang kekayaan.
Mereka mengendalikan peredaran BERLIAN
— mata uang para raja,
Juga obsesi para penjahat.
Bisnis mereka yang resmi. Legal. Tak bernoda
— membuat mereka jauh lebih berbahaya daripada Mafia Recehan.
Sialnya, aku? Harus Nikah kilat dengan Pewarisnya— Dimitry Sacha Mykaelenko.
Yang Absurdnya tidak tertolong.
•••
Namaku Brea Celestine Simamora.
Putri tunggal Brandon Gerung Simamora, seorang TNI - agak koplak
- yang selalu merasa paling benar.
Kami di paksa menikah, gara-gara beliau yakin kalau aku sudah “di garap” oleh Dimitry,
yang sedang menyamar menjadi BENCONG.
Padahal... sumpah demi kuota, aku bahkan tak rela berbagi bedak dengannya.
Apalagi ternyata,,,
Semua cuma settingan Pak Simamora.
⛔ WARNING! ⛔
"Cerita ini murni fiksi, mengandung adegan ena-ena di beberapa bab.
Akan ada peringatan petir merah di setiap bagian — Anu-anu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuni_Hasibuan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SAH!!! Absurdnya
***
"MAU MINGGAT KALIAN YA???"
Suara Ayahku menggelegar tepat di belakang.
Aku dan Yasmin langsung nge-freeze kayak komputer bobrok.
Lanjut Balik badan, tapi kepala nunduk, mati gaya. Gak berani liat ke muka ayah.
"Apa lagi kau, Yash? Mau kau bawa lari anak gadisku? Mau kabur kalian? Gak bisa!"
"Mulai hari ini Brea gak boleh keluar rumah sampai hari H. Jadi, jangan coba-coba kau culik anakku lagi!"
Again,,, Ayahku ngamuk.
Kalau udah kayak gini, percuma juga ngomong.
Apapun yang keluar dari mulut ku, pasti mental.
Atau bikin ngamuknya makin parah.
"Ayah, aku gak mau kemana-mana kok. Cuma mau anter Yasmin sampe depan aja..."
Ngomongku bohong, dan—
"Mau nganter ke depan? Ngapain bawa tas segala?!"
Twink!
Ya Allah, Brea... kenapa juga harus bawa tas sih?!
Usaha ngelesku langsung gagal total.
Bikin aku cengo, dan Yasmin juga.
Ayah jalan pelan ke arah kami.
Auranya udah kayak Thanos siap nge-snap kapten Amerika.
"Udahlah. Gak usah banyak alasan. Bea! Kau cepat masuk kamar sekarang!"
"Dan kau, Yasmin... Cepat pulang. Ini udah malam."
Final pak Simamora, yang aku tau artinya gak bisa di bantah.
Aku langsung ngibrit, masuk kamar sambil ngentakkan kaki.
Tapi karena kesel, aku banting pintu. JEDUAR!
Kayak efek suara film action.
Dari luar langsung nyusul teriakan khas Ayah:
"Brea!!! Kebiasaan kau ya. Pintu itu kubeli pake uang, bukan pake daun! Gak bisa kau tutup baik-baik?! Capek kali aku betulin pintu kau yang selalu kau banting! Salah apa pintu itu sama kau?!"
Bodo amat, Yah.
Pintunya gak salah.
Yang salah tuh ayah sendiri, yang gak mau dengerin penjelasan anaknya.
Langsung kuhempaskan badanku ke kasur, mukul bantal kayak musuh bebuyutan, gigiku ngeluarin efek gemelutuk saking geregetan.
Dan gak terasa, air mataku udah netes sendiri.
Kenapa sih Ayahku batu banget?
Kenapa aku harus terjebak di situasi absurd
Kenapa... dan kenapa-kenapa lainnya yang gak ada jawabannya?
Belum selesai aku nangis, ponselku tiba-tiba bunyi. Dan nama Yasmin muncul.
Langsung kuangkat.
Sambil berdiri pelan, ngintip dari balik tirai jendela.
Aku belum denger suara mesin mobilnya di nyalakan, jadi aku yakin mobilnya dia masih di depan.
"Halo, Bea. Dimitry bilang gak apa-apa kalau kamu gak bisa ikut."
"Aku aja yang ke kantor agensinya langsung, nanti kamu ikut ngomong via Zoom aja ya."
Yasmin cepet banget ngomongnya.
Tapi justru itu yang bikin hatiku lega dikit.
Seenggaknya, masih ada harapan, dan Dimitry mau usaha buat batalin pernikahan paling aneh ini.
***
Tapi yang kejadian malah kebalikannya. 😭
“Terus, apa untungnya buat aku?” tanyaku sewot sambil melotot ke layar Zoom.
Layar Zoom-nya berkedip annoying mirip mataku yang siwer. Wajah-wajah serius mereka lagi menatapku seperti aku ini, artefak museum yang salah tempat.
"Nona Brea, kontrak ini sudah final,,, Loh."Kata Pak Wijaya (entah siapa nama belakangnya aku gak tau), karena yang aku tau dia Dirut agensinya Dimitry, suaranya datar kayak mesin ATM. Krik-krik-krik gitu.
Aku menyeringai. "Final, Pak? Bapak pikir ini draft skripsi? Padahal aku bisa batalin kapan aja!"
Yasmin di sudut layar, wajahnya langsung pucat, berharap aku gak menggila. Tapi aku sudah mode banteng nyeruduk pintu..
“Dan masalah untung-rugi bukannya sudah dijelaskan dari awal, Nona Brea? Kami rasa tak perlu diulang lagi. Kecuali... Anda belum paham?”
Cuih. Gaya bicara si bapak-bapak songong itu langsung bikin mataku naik satu., Kalaupun dia Dirut, bukan berarti bisa ngerendahin aku kayak gitu, kan? Kayak aku gak ngerti apa-apa aja.
“Bukan saya gak paham, Pak. Saya cuma keberatan. Karena bukan itu yang saya mau. Yang saya minta cuma satu, pernikahan ini harus dibatalkan tanpa membatalkan Kontrak dengan Brand Ambasador. Gampang kan? Apa susahnya sih?” balasku sengit. Rasanya pengen ku ganyang aja mereka sekalian.
Tapi sialnya,,, mereka pura-pura gak denger aku ngomong gitu,
"Oh ya. Ada klausul tambahan," Dan Pak Sanjaya, Eh Wijaya maksudnya, malah patahkan omonganku gitu aja.
"Kamu bisa kok batalin nikah... setelah Dimitry rela bayar denda 10 miliar. Karena Kita gak punya pilihan lain buat mencegah tindakan implusif, Pak Simamora."
WHAT. THE. ACTUAL. Fu****?
Layar Zoom nge-freeze persis di detik wajahku membeku. Mana mungkin Dimitry rela kehilangan duit segitu? Apalagi cuma buat nutupin ngamuknya Ayahku. Apalagi kalau aku yang harus bayar? Duit dari ngepet juga gak bakal kekumpul seumur hidup.
Dan akhirnya... Three days later,,,,
Aku gak bisa ngelak lagi.
Jam 9 pagi, aku sudah terdampar
di ruangan ber-AC, dengan bau parfum bayfres campur keringat ayahku yang baru sekarang keliatan gugup.
Apa kabar, Dimitry?
Sekarang orangnya udah duduk manis di ruang tamu. Pakek kemeja putih, celana bahan warna hitam, dan—yang paling gak aku sangka—ada peci nempel rapi di kepalanya. Entah kenapa, dari semenjak ketemu ayahku pertama kali, aura bancinya tuh kayak menghilang. Serius.
LIHAT AJA SENDIRI KALAU NGGAK PERCAYA!
Aku nyengir sambil bergidik pas liat ke arah Dimitry yang lagi senyum-senyum ke aku sok manis.
Nantulang Ingot, di sampingku langsung kege-eran kayak dapat giveaway, mungkin dikira senyum itu buat dia kali.
WEK!
Aku cuma bisa ngedan di dalam hati sambil nahan muntah.
***
"Sah?" tanya penghulu tiba-tiba, pas aku lagi mijit kepala.
"Enggak!" teriakku lantang.
Tapi kalah lantang ditelan gemuruh, "SAH!" dari para saksi — termasuk Mamakku sendiri.
Lah, kapan ijab kabulnya selesai? Kapan penghulu bilang Ijab? Dan kapan Dimitry bilang 'kabul'? Aku sama sekali gak denger,
Atau memang gak mau dengerin?
"Barakallah..."
Lagi-lagi, suara para saksi dan semua yang hadir bikin aku langsung kayak disetrum.
Ayat suci mengalun, tapi di kepalaku cuma ada satu pikiran:
"Ini beneran terjadi? Aku sudah sah nikah sama dia?!"
Gimana caranya putar balik waktu, ya Allah?
***
Gak lama setelahnya sesi sungkeman, tau kan artinya apa?
Yup,,, aku sama Dimitry harus salaman ke orangtua kami.
Tapi Dimitry malah mendekat gak jelas, napasnya hangat di telingaku, cuma buat berbisik:
"Santai, Sayang... Nikah sama aku cuma formalitas. Kalau mau selingkuh juga, aku bakal tepuk tangan."
Pengen banget ku gigit bibir lemesnya sampai berdarah.
***