Ellena dijual ibu tirinya kepada seseorang sebagai pengantin yang diperkenalkan di muka umum, agar istri sah tetap aman.
Namun, di hari pengantin ia diculik sesuai dugaan pria itu, dan disanalah awal penderitaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kinamira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
"Oh ya? Cepat juga pergerakan bajingan itu."
Ellena tersadar dari pingsannya. Entah berapa lama ia tertidur, namun tubuhnya begitu lemas tak bertenaga, dan suara itulah yang didengarnya untuk pertama kali.
"Iya, sepertinya wanita ini memang sangat berharga. Dilihat dari gerakannya. Felix tidak ingin istrinya lebih lama bersama kita," timpal yang lainnya.
Ellena diam mendengarkan, dalam keadaan tubuh lemah itu, ia paham arah pembicaraannya. Air matanya hanya bisa jatuh, menerka-nerka apa lagi yang akan terjadi pada dirinya.
"Tuan Felix tidak mungkin datang menyelamatkanku karena kasihan. Dia pasti hanya ingin mengambilku kembali dan menjadikanku boneka pelindung istrinya," batin Ellena. Wanita itu mengangkat sedikit kepalanya melihat kondisi tubuhnya yang masih tidak memakai apapun. Cairan lengket bahkan terlihat mengering di perutnya.
"Ya tentu saja. Dan aku yakin, dia pasti sedang gila, karena tidak jadi mencicipi rasa keperawanan istrinya," ucap Maxim diikuti dengan tawa renyahnya yang terdengar puas.
Ellena menangis tanpa suara mendengar Maxim yang tertawa tanpa rasa bersalah. Di balik tirai itu ia berusaha menahan diri agar tidak mengeluarkan suara sedikitpun.
"Kau sepertinya begitu senang, memecah pertahanan wanita itu."
Maxim terkekeh puas. "Tentu saja. Jaman sekarang sangat sulit menemukan wanita dewasa yang masih tertutup sepertinya, dan lagi, dia adalah istri musuhku. Rasanya sangat rugi jika tidak mencicipinya dan memberikan bekasku yang sesungguhnya."
Ellena menghela nafas, hatinya terasa sakit mendengarnya. "Jahat," batinnya.
Wanita itu mencoba bangkit dari tidurnya, beruntung kedua tangannya sudah tidak terikat, sedangkan kakinya memang sudah terlepas sebelum ia pingsan. Namun, sayangnya rasa perih dan sakit di sekujur tubuhnya membuatnya meringis.
"Aww!" Ringisnya dengan suara pelan, namun tampaknya membuat Maxim di balik tirai sana sadar.
"Sepertinya dia sudah sadar." Suara Maxim kembali terdengar. Terlihat di luar sana, dari bayangan, sosoknya tengah berdiri.
"Hm, baiklah aku pergi dulu."
Ellena menutup mulutnya, menarik paksa tubuhnya dan segera menutupi selimut tepat saat tirai dibuka, menampilkan Maxim yang memberikan senyum mengerikannya.
Ellena mengeratkan selimut, memastikan tidak ada celah terlihatnya tubuhnya. Ringisan kecil keluar dari mulutnya, rasa perih pada bagian intinya menjadi pusat rasa sakitnya.
"Akhirnya kau bangun juga, baby," ucap Maxim dengan suara serak rendah, yang terdengar menyeramkan bagi Ellena.
Maxim mendekat, dengan di tangannya terdapat piring yang berisi dua buah waffle. Ellena diam memperhatikan waffle tersebut, rasa lapar membuatnya menatap lezat makanan itu.
"Kau pasti sangat lapar kan? Hampir dua hari penuh kau tak makan sama sekali sejak berada di sini," ucap Maxim dengan suaranya yang terdengar lembut.
Ellena diam, namun jelas sorot matanya sangat menginginkan makanan itu.
Dengan senyuman manis nan santai, Maxim membalikkan piring tersebut hingga dua waffle itu jatuh ke lantai. Dengan santai ia menginjak keduanya dengan kaki yang masih terbalut sepatu, menekan dan meremuknya hingga sedikit hancur.
Bola mata Ellena memerah, bibirnya bergetar siap menangis. Namun, sebaik mungkin ia tahan, mengingat pria itu tidak suka melihat air matanya.
"Ayo makanlah," ucap Maxim dengan senyum manisnya seolah memanggil hewan peliharaannya.
Nafas Ellena naik turun. Ia tidak peduli makanan itu di lantai, dan sudah diijak, ia hanya ingin segera mengisi perutnya yang kosong.
Ellena menurunkan kaki yang lemas, namun berakhir jatuh ke lantai karena rasa sakit yang membuatnya tidak bisa berdiri seimbang.
"Aww ...." Ringisnya pelan membuat Maxim mengulung senyum.
"Ayo, ayo cepatlah. Aku berikan waktu sepuluh menit untuk makan. Ayo cepat," panggilnya.
Ellena tidak peduli panggilan itu, ia menyeret paksa tubuhnya, sembari berusaha mempertahankan selimutnya. Sampai di bawah kaki Maxim, dengan tangan gemetar ia meraih waffle hancur itu masuk ke mulutnya.
Cairan bening yang menumpuk di pelupuk matanya tak mampu lagi tertahan. Semuanya jatuh dalam suapan pertamanya. Ellena terus menunduk, memakan waffle itu tanpa memikirkan rasa jijik. Sedangkan Maxim merasakan kepuasan melihat penderitaan itu.
Pria itu berjalan, dan duduk tenang di atas kasur, sembari mengeluarkan ponsel, mengambil sedikit rekaman video Ellena yang makan.
"Kasihan sekali, istri seorang Felix harus makan seperti ini," ucapnya seolah merasa iba, padahal dari nada suaranya jelas sedang mengejek.
Ellena masih tidak memberikan tanggapannya, ia dengan serius memasukkan remukan waffle dalam mulutnya.
Maxim bangkit dari duduknya, ia berjalan ke salah satu meja kecil di sana, dan mengambil pakaian yang masih terbungkus. Dengan santai ia melemparkan pada Ellena.
Ellena melirik pakaian itu dan membuatnya langsung tau itu adalah pakaian pelayan.
"Sudah makan, segera bersihkan tubuhmu dan pakai itu," ucap Maxim dengan kedua tangannya yang bersedekap dada dan sorot matanya yang memandang dingin, sangat berbeda dengan senyum manis yang diperlihatkan sebelumnya.
Ellena terdiam, ia meraih remukan terakhir waffle itu, dan memasukkan dalam mulut. Lalu mendongak menatap Maxim berharap ada belas kasih dari pria itu.
"Apa aku harus jadi pelayan di sini? Tubuhku sakit, aku tidak bisa berjalan juga karenamu, aku mohon," ucapnya dengan pelan dan gemetar, saking takutnya.
Sorot mata Maxim semakin dingin, membuat aura di sekitar mereka terasa berat dan mencekam, seolah udara pun mampu membunuh Ellena.
Maxim berjalan mendekat dengan langkah berat. Membuat Ellena gemetar. Tangannya terulur ingin mengambil bungkusan pakaian pelayan itu, namun Maxim sudah menendang bungkusan pakaian itu yang juga membuat tangannya ikut terkena.
"Aww!" ringis Ellena segera menyembunyikan tangannya yang terasa perih.
Maxim berjongkok, mencengkram kuat dagu Ellena agar menatapnya. "Aku tidak suka wanita yang membantah!" ucapnya dengan penuh penekanan.
"Ma-maafkan aku," ucap Ellena dengan tangan gemetar.
Maxim berdecih, menghempaskan dagu Ellena dengan keras. "Tidak ada kata maaf. Aku harus menghukummu kembali!" ucapnya dengan tenang namun penuh penekanan.
Ellena tidak sempat merespon, dalam sekali tarik selimut yang menutupi Ellena ditarik kasar oleh Maxim, membuat wanita terjungkal ke lantai.
"Akh!" pekik Ellena berusaha menutupi tubuhnya.
Maxim menarik paksa tubuh Ellena naik ke atas kasur. Ia membuka resleting celananya, dan tanpa basa-basi memasukkan paksa miliknya ke dalam sana.
"Akh!" Ellena terkejut dan juga merasakan sakit yang luar biasa, ia langsung berteriak dengan kedua tangannya yang meremas pundak Maxim dengan kuat.
Maxim tertawa puas, sembari menggerakkan miliknya di sana, dan membiarkan Ellena meremas dan memukul tubuhnya. Perasaan puas jauh lebih nikmat saat ia melihat Ellena seperti itu.
"Sakit! Hentikan!" pinta Ellena memohon.
Maxim terkekeh menahan tubuhnya lebih rapat. "Ini akibat jika kau membantahku!" ucapnya penuh penekanan menegaskan apa yang akan terjadi pada Ellena nantinya.
Nafas Ellena memberat. Tubuhnya menegang, dan tangan yang mencengkram kuat, ia terus mengeluh kesakitan.
Maxim menarik kembali tubuhnya, membuat Ellena sedikit merasa lega, namun hanya hitungan satu detik ia kembali menggerang kesakitan akibat tekanan Maxim kembali.
Nafas Maxim semakin berat, gairahnya memuncak, "Milikmu benar-benar nikmat dan sempit, membuatku merasa ingin terus menyentuhmu. Sayangnya kau adalah wanita yang dicintai Felix, sehingga kau harus merasakan ini," bisiknya kemudian meraup bibir Ellena, membersihkan sisa remahan waffle yang menempel di wajah wanita itu.
Sungguh Maxim tidak memberikan sedikitpun ampunan bagi Ellena. Ia kembali melakukan dengan kasar dan memaksa, mengabaikan permohonan lemas Ellena, hingga ia benar-benar merasakan puas.
Kali ini Ellena tidak kembali pingsan. Namun, tubuhnya sangat lemas. Maxim membawa Ellena ke kamar mandi, meletakkan perlahan di bathtub dan memberikan air hangat, yang sedikit membuat Ellena merasa nyaman.
"Aku akan memberimu waktu dua puluh menit istirahat dan mandi di sini. Setelah itu, aku akan kembali, dan kau sudah harus menggunakan pakaian pelayan itu. Paham!" ucap Maxim dengan tegas.
Ellena mengangguk patuh dengan gerakan lemah, membuat Maxim tersenyum puas. Tanpa mengatakan apapun lagi, ia pergi meninggalkan Ellena seorang diri di kamar mandi itu.
Tangis Ellena pecah, berharap dengan keluarnya air mata itu, juga membuat rasa sakitnya keluar dan menghilang.
Maxim yang masih berada di kamar itu jelas mendengarnya. Namun, sikapnya yang dingin membuatnya hanya bersikap acuh tak acuh mendengar tangisan itu.
Pandangannya menatap ke arah kasur di mana bercak darah yang bercampur dengan cairan kental berserakan di seprai putih itu.
Melihat itu ia sama sekali tidak merasa bersalah. Justru kepuasan tampak begitu jelas.
Matanya menyipit tajam bak elang yang tengah menatap magsanya, namun Maxim sedang membayangkan bagaimana Felix sedang menggila di sana.
"Felix, kau harus menanggung akibat perbuatanmu. Wanitamu akan ku siksa, hingga tidak sanggup untuk hidup," batinnya sembari tersenyum dingin.
***