Kehidupan seorang balita berusia dua tahun berubah total ketika kecelakaan bus merenggut nyawa kedua orang tuanya. Ia selamat, namun koma dengan tubuh ringkih yang seakan tak punya masa depan. Di tengah rasa kehilangan, muncullah sosok dr. Arini, seorang dokter anak yang telah empat tahun menikah namun belum dikaruniai buah hati. Arini merawat si kecil setiap hari, menatapnya dengan kasih sayang yang lama terpendam, hingga tumbuh rasa cinta seorang ibu.
Ketika balita itu sadar, semua orang tercengang. Pandangannya bukan seperti anak kecil biasa—matanya seakan mengerti dan memahami keadaan. Arini semakin yakin bahwa Tuhan menempatkan gadis kecil itu dalam hidupnya. Dengan restu sang suami dan pamannya yang menjadi kepala rumah sakit, serta setelah memastikan bahwa ia tidak memiliki keluarga lagi, si kecil akhirnya resmi diadopsi oleh keluarga Bagaskara—keluarga terpandang namun tetap rendah hati.
Saat dewasa ia akan di kejar oleh brondong yang begitu mencintainya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 19
Hari-hari setelah presentasi itu terasa ganjil bagi Cakra. Ia seolah kehilangan peta. Tidak ada lagi rapat kelompok, tidak ada lagi alasan singgah di rumah Bagaskara.
Di kelas, teman-temannya sibuk membicarakan rencana study tour yang akan datang. Dimas ribut soal pertandingan futsal antar kelas, Reno sibuk dengan OSIS, sementara Arka dan Aksa tenggelam dalam urusan organisasi kesiswaan.
Cakra hanya duduk di bangkunya, menatap papan tulis kosong setelah guru keluar. Buku catatan di depannya tetap terbuka, tapi halaman itu tidak pernah benar-benar dibaca.
“Kalau aku nggak punya alasan… aku harus menciptakan alasan baru.”
Pikirannya berputar, mencari celah. Tapi tiap kali ia hampir menemukan ide, wajah Aksa terbayang sorot tajamnya malam itu, ketika menanyainya soal Celin.
“Aku harus hati-hati.”
---
Suatu siang, perpustakaan sekolah dipenuhi siswa. Arka dan Aksa duduk bersama kelompok OSIS mereka.
Cakra sengaja datang, pura-pura mencari referensi. Ia membuka buku biologi, padahal pikirannya melayang. Ia teringat Celin pernah menyebut akan ada seminar kampus minggu depan.
“Kalau aku tahu jadwalnya… mungkin aku bisa cari cara untuk ketemu.”
Tangannya menyalin sesuatu di kertas kosong seolah menulis catatan, padahal sebenarnya ia sedang menyusun rencana kecil.
Namun, Aksa yang duduk tidak jauh dari situ terus melirik. Ia pura-pura sibuk dengan laptop, tapi matanya tak lepas dari sosok Cakra yang tampak terlalu gelisah untuk ukuran orang yang biasanya dingin.
“Dia bukan sekadar baca buku. Dia nyusun sesuatu,” batin Aksa.
---
Sore itu, tanpa diduga, Cakra benar-benar bertemu Celin di depan minimarket kecil dekat sekolah.
Celin baru keluar dengan tas belanja. Wajahnya lelah, rambutnya diikat sederhana.
“Eh? Cakra?” suaranya terdengar kaget tapi ramah.
Kebetulan yang sebenarnya sudah Cakra rencanakan. Ia memang menunggu beberapa menit di sana, dengan dugaan Celin akan mampir usai kuliah sore.
“Baru belanja, Kak?” tanyanya datar.
Celin mengangkat plastik di tangannya. “Iya. Buat makan malam. Arka sama Aksa katanya bakal pulang telat.”
Tanpa banyak bicara, Cakra langsung mengambil alih plastik itu. “Biar aku bawakan.”
Celin terkekeh kecil. “Kamu selalu sigap, ya.”
Bagi Celin, itu sekadar kebaikan kecil.
Bagi Cakra, itu adalah kesempatan emas beberapa menit berjalan di sampingnya, mendengar suaranya, mencatat setiap ekspresi kecilnya.
Tapi di balik jendela lantai dua sebuah toko, seseorang memperhatikan. Aksa. Ia baru saja pulang dari rapat OSIS dan tidak sengaja melihat pemandangan itu.
“Lagi-lagi dia… selalu muncul tepat di sekitar Kak Celin,” desisnya.
---
Malam itu, Cakra tidak bisa tidur. Ia memandangi langit-langit kamarnya, memutar kembali percakapan singkat di minimarket.
“Kak Celin tersenyum… dan aku bisa berjalan di sampingnya. Itu sudah cukup.”
Namun pikirannya langsung berbalik muram. “Tapi kalau aku terus seperti ini, sampai kapan? Aku bahkan tidak punya alasan jelas lagi.”
Ia menggenggam erat sprei ranjang. Ada rasa sesak yang tak bisa ia ungkapkan. Seakan ia sedang berlari dalam kabut selalu ingin mendekat, tapi jalan di depannya tertutup.
---
Kecurigaan Aksa semakin menjadi. Ia mulai memperhatikan pola.
Cakra sering muncul di sekitar rumahnya, kadang sore, kadang malam. Kadang berpura-pura hanya mengantar buku atau menitip barang. Kadang hanya lewat dengan sepeda.
“Dia bukan kebetulan. Dia sengaja.”
Suatu sore, Aksa mendekati Celin yang sedang duduk di ruang tamu, menyusun catatan kuliahnya.
“Kak,” panggilnya, pura-pura santai.
“Hm?” Celin menoleh sambil tersenyum.
“Kakak nggak ngerasa, Cakra itu… terlalu sering ke sini?”
Celin mengernyit. “Cakra? Emangnya kenapa? Dia baik kok. Selalu bantu kalau kakak lagi repot.”
Aksa menahan napas. “Tapi… nggak aneh menurut Kak? Anak lain jarang segitu seringnya.”
Celin tertawa kecil, lalu menggeleng. “Aksa, jangan aneh-aneh. Mungkin memang sifatnya aja begitu. Pendiam, tapi peduli.”
Aksa terdiam. Ia tahu kakaknya terlalu polos untuk melihat lebih jauh. Tapi justru itu yang membuatnya semakin resah.
---
Beberapa hari kemudian, hujan deras mengguyur kota. Celin sendirian di rumah, menunggu Arka dan Aksa yang pulang terlambat.
Lampu jalan berpendar kuning, menciptakan bayangan basah di aspal. Dan di sanalah Cakra berdiri, menahan sepedanya di bawah rindang pohon. Ia tahu Celin sendirian. Ia tahu Arka dan Aksa belum pulang.
“Kalau aku masuk sekarang… apa alasannya?” pikirnya.
Akhirnya ia mengetuk pintu, membawa payung cadangan di tangannya.
Celin muncul, sedikit kaget. “Cakra? Kok bisa di sini?”
“Aku… kebetulan lewat. Hujan deras, aku takut Kak Celin sendirian. Jadi aku bawakan payung.”
Celin tersenyum lega. “Ya ampun, kebetulan banget. Masuk aja, hujan gini nggak enak kalau di luar.”
Dan sekali lagi, Cakra menemukan dirinya duduk di ruang tamu, ditemani suara hujan di luar. Celin menyeduh teh hangat. Mereka berbincang singkat tentang kuliah, tentang tugas, tentang hal-hal kecil.
Bagi Celin, itu sekadar percakapan ringan.
Bagi Cakra, itu adalah malam berharga.
Namun, saat pintu akhirnya terbuka dan Arka serta Aksa masuk, suasana berubah.
Aksa mematung melihat Cakra di ruang tamu. Sorot matanya tajam, penuh tanda tanya.
“Kenapa lo ada di sini lagi?” tanyanya, dingin.
Cakra hanya menjawab singkat, “Aku cuma lewat. Bawa payung.”
Celin segera menengahi. “Aksa, jangan gitu. Dia nolongin Kakak kok.”
Tapi dari sorot mata Aksa, jelas ia tidak percaya.
---
Sejak malam itu, hubungan Cakra dan Aksa membeku.
Di sekolah, Aksa jarang berbicara padanya. Kalau pun terpaksa, nadanya datar dan curiga.
Arka masih menganggap semuanya biasa. Ia tidak melihat lebih jauh.
Cakra sendiri makin berhati-hati. Ia tidak ingin terlihat mencolok. Tapi sekaligus, ia tidak bisa berhenti mencari cara kecil untuk dekat.
Kadang ia sekadar menitip buku, kadang hanya menyapa singkat di halaman. Selalu dengan alasan wajar.
Tapi bagi Aksa, semua itu menambah bukti.
---
Suatu sore, Celin tiba-tiba bertanya padanya.
“Cakra… kenapa sih kamu suka mampir? Bukannya kamu sibuk juga dengan sekolah?”
Pertanyaan itu membuat jantung Cakra berhenti sesaat. Ia menatap wajah Celin yang polos, penuh ketulusan.
“Aku… cuma nggak mau Kak Celin kerepotan sendiri.”
Celin tersenyum hangat. “Kamu baik banget. Aku seneng punya teman kayak kamu.”
Teman. Kata itu menancap dalam.
Cakra hanya mengangguk, meski hatinya perih. Ia tahu posisinya. Ia tahu batasnya. Tapi tetap saja perasaan itu tidak bisa ia buang.
---
Malam berikutnya, setelah memastikan Celin tidur, Aksa pergi menuju rumah cakra, la mengetuk pintu rumah Cakra
“Cakra. Kita ngomong sebentar.”
Cakra menoleh, tenang. “Tentang apa?”
“Jangan pura-pura. Gue tahu lo nggak sekadar ‘temen’ buat Kak Celin.”
Cakra terdiam.
“Lo mau apa sebenernya?” suara Aksa penuh desakan.
Cakra menunduk, suaranya lirih. “Aku nggak mau apa-apa. Aku cuma… pengen ada di dekatnya. Itu aja.”
Aksa mengepalkan tangan. “Itu justru masalahnya. Kak Celin nggak tau apa-apa. Dia polos. Jangan bikin dia bingung.”
Cakra menatapnya, sorot matanya tenang tapi dalam. “Aku nggak akan nyakitin dia.”
“Tapi lo udah bikin dia bergantung, sadar nggak?”
Tidak ada jawaban. Hanya hening yang panjang.
---
Hari-hari berlalu. Celin tetap menjalani aktivitas seperti biasa. Ia tidak pernah menyadari konflik diam-diam antara Cakra dan Aksa.
Baginya, semua wajar. Ia hanya merasa nyaman setiap kali Cakra ada. Ia tidak pernah menganggap lebih.
Tapi benih kecil itu perhatian yang terus hadir, tatapan yang selalu ada mulai menumbuhkan sesuatu dalam dirinya. Sesuatu yang belum ia sadari sepenuhnya.
---
Suatu malam, Cakra kembali berhenti di ujung jalan depan rumah Bagaskara. Angin malam berhembus, lampu jalan temaram.
Ia menatap balkon kamar Celin yang temaram cahaya. Hatinya berbisik sama seperti dulu:
“Aku nggak butuh dunia tahu. Aku cuma butuh bisa melihatmu.”
Tapi kali ini, ia tahu ada seseorang lain yang juga memperhatikan Aksa, dari balik tirai kamar lantai dua.
Dan Aksa berjanji pada dirinya sendiri:
“Gue nggak akan biarin ini berlanjut.”
---
Bersambung…
cakra msti lbih crdik dong....ga cma mlindungi celin,tp jg nyri tau spa juan sbnrnya....mskpn s kmbar udu nyri tau jg sih....
nmanya jg cnta.....ttp brjuang cakra,kl jdoh ga bkln kmna ko....
kjar celine mskpn cma dgn prhtian kcil,ykin bgt kl klian brjdoh suatu saat nnti.....
ga pa2 sih mskpn beda usia,yg pnting tlus....spa tau bnrn jdoh....
nongol jg nih clon pwangnya celine.....
msih pnggil kk sih,tp bntr lg pnggil ayang....🤭🤭🤭