Amira 22 tahun menikah kontrak dengan Ferdi baskara untuk biaya kesembuhan ayah angkatnya.
Amira bar-bar vs Ferdi yang perfeksionis
bagaimana kisah tom and Jery ini berlangsung
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
berkaryalah anak muda
“Gawat… gawat…” Viona meremas rambutnya sampai kusut. Napasnya terengah, langkahnya mondar-mandir di kamar Ferdi.
“Gimana ini, Ferdi?!” Suaranya bergetar, antara marah dan panik.
Ferdi malah duduk santai di sofa, memainkan remote TV. “Ya paling Amira aja yang kena hukuman Oma. Santai, Mah.”
“Ferdi!” Viona berteriak hingga urat lehernya menegang. “Kamu pikir cuma Amira yang kena? Oma itu singa betina. Kalau dia marah, bukan cuma Amira yang digilas, aku juga bisa diusir dari rumah ini! Kamu tahu kan, Mamah ini cuma menantu, bukan darah asli keluarga Baskara. Kalau aku diusir, Mamah mau tinggal di mana, hah?”
Ferdi menghela napas panjang, lalu menoleh malas. “Ibu nggak akan diusir, Mah. Om Anton pasti belain Mamah
Begitu nama itu disebut, wajah Viona mengeras.
“Astaga, Ferdi… masih saja kamu percaya sama si serigala berbulu domba itu? Om Anton itu licik! Kamu pikir kenapa pernikahanmu sama Laras gagal? Siapa Laras? Dia sepupunya Laudia, keponakan kesayangan Om Anton. Itu semua konspirasi! Gara-gara dia, pernikahanmu yang Mamah persiapkan jauh-jauh hari hampir saja gagal karena Laras tiba-tiba menghilang. Kamu tahu kan, kalau Amira nggak datang, semua akan berantakan, dan Mamah yang akan menanggung malu. Nama Baskara bisa hancur!”
Ferdi terdiam. Baru kali ini nada ibunya terdengar begitu tajam.
Belum sempat ia menjawab, terdengar ketukan di pintu. Narti muncul dengan suara hati-hati.
“Nyonya Renata sudah di ruang tamu.”
“Ya ampun…” Wajah Viona mendadak pucat pasi. Tangannya bergetar, seakan-akan kehilangan seluruh tenaganya.
“Tenang, Mah. Jangan panik dulu,” sela Amira tiba-tiba.
Viona menoleh tajam. “Amira… apa kamu bisa mengatasi masalah ini?” tanyanya penuh harap.
Amira tersenyum licik. “Bisa. Tapi ya… nambah pekerjaan.”
“Yakin kamu bisa?” Viona mendekat, suaranya penuh harap sekaligus curiga.
Amira mengangkat dua jarinya.
“Dua puluh juta?” tebak Viona.
“Dua juta aja cukup,” jawab Amira santai.
“Deal. Aku percayakan padamu.” Viona menepuk bahu Amira, wajahnya sedikit lega.
“Mah… jangan mau ditipu vampir ini. Mamah akan rugi, Mah,” seru Ferdi memperingatkan ibunya.
“Diamlah… kamu juga tidak punya solusi. Jadi sekarang biarkan Amira yang mengatasi masalah ini,” ucap Viona. Ia merasa sedikit punya harapan.
Amira nyengir puas. “Santai, Mah. Biar saya yang urus. Mamah pergilah dulu temui Permaisuri Agung.”
“Baiklah, Mamah percayakan ini sama kamu,” ucap Viona. Ada sedikit rasa lega, seolah menemukan teman berbagi masalah, meski dalam hatinya ia pun tidak yakin Amira mampu mengatasi semua ini. Tapi apa lagi yang bisa ia lakukan? Menikahkan Ferdi dengan Amira memang keputusan ceroboh, namun itu tetap solusi terbaik untuk menutupi rasa malu karena Laras tak datang saat pernikahan.
Viona pun melangkah keluar kamar, berusaha menegakkan punggungnya untuk menghadapi Renata, sang mertua yang bagai Permaisuri Agung.
Begitu pintu tertutup, Amira segera menguncinya.
“Kenapa dikunci? Aku mau nemuin Oma!” seru Ferdi.
“Nanti kamu ketemu sama Oma. Ada hal yang harus kita lakukan dulu,” jawab Amira tenang.
“Apa lagi, sih?”
Amira menatapnya tajam. “Kamu sayang sama Mamah kamu, nggak?”
“Tentu saja sayang. Walau kadang ngeselin, suka ngatur-ngatur, tapi dia tetap Mamah aku.”
“Kalau gitu, ikuti perintah aku.”
Ferdi mendengus. “Kenapa aku harus nurut sama kamu?”
“Ya sudah. Kalau nggak nurut, silakan saksikan Mamah kamu diusir dari rumah ini. Aku sih bodo amat. Aku anak jalanan, biasa menderita. Tapi Mamah kamu? Apa kamu sanggup lihat dia jadi gelandangan? Atau berani lawan Oma kamu sendirian?”
Ferdi terdiam. Bayangan ibunya diusir, hidup terlunta-lunta di jalanan, membuat bulu kuduknya berdiri.
“Ya… ya, aku nurut sekarang,” jawab Ferdi pasrah.
“Bagus. Mendekatlah.”
“Ngapain lagi?”
“Mendekat aja!”
Ferdi menelan ludah. Perlahan ia mendekat ke Amira. Tiba-tiba—
Cup.
Amira mencium leher Ferdi lama.
Darah Ferdi berdesir. Ia pernah dicium Laras, tapi sensasinya tidak pernah seperti ini.
“Ughhh…” desah Ferdi tertahan.
Amira melepaskan ciumannya.
“Hei! Kenapa nyium leherku?” Ferdi melompat kaget, wajahnya memerah.
Amira tidak menjawab. Ia hanya menyeringai, matanya memperhatikan bekas merah di kulit leher Ferdi. “Bagus. Tapi masih kurang.”
“Apa maksudmu?”
Tanpa aba-aba, Amira kembali menyerbu.
Cup. Cup. Cup.
Setiap kecupan membuat darah Ferdi mendidih. Tubuhnya merespons tanpa kendali, hingga sering terlepas desahan. Baru setelah sekian lama, ia tersadar.
“Jauh! Jauh sana! Aku jijik!” Ferdi berusaha menghindar, namun Amira semakin brutal.
“Diamlah, bawel.”
“Woi! Ini pelecehan!”
Namun akhirnya Ferdi tak berdaya. Ia malah menikmati setiap sentuhan Amira dan tanpa sadar tangannya menempel di pinggul gadis itu.
Amira menepuk tangannya puas. “Waw, sempurna! Coba lihat kaca.”
Ferdi berjalan tergopoh, menatap cermin besar di sudut kamar.
“Haaaaa!” teriaknya kaget.
Lehernya penuh tanda merah mencolok.
“Kenapa jadi kayak tato jelek gini?!”
Amira menyilangkan tangan di dada. “Itu namanya cupang. Simbol gairah.”
“Buat apa ini?” ucap Ferdi panik melihat bercak merah di lehernya.
“Itu tato yang akan menyelamatkan kita semua,” jawab Amira santai sambil merapikan kaus Doraemon kebesarannya.
Ferdi mendengus. “Kamu pikir aku bodoh? Ini cuma trik supaya kamu bisa seenaknya pegang-pegang aku.”
Walau bibirnya sinis, jantung Ferdi berdetak kencang. Sensasi aneh dari gigitan Amira tadi masih berputar di tubuhnya.
Kini Amira menatapnya serius. “Giliran kamu.”
“Giliran apa lagi?” Ferdi mengerutkan kening.
Amira mengikat rambutnya dengan sanggul sederhana, menyingkap leher jenjangnya. “Ayo bikin cupang di sini,” ujarnya datar sambil menunjuk kulit putih di bawah telinganya.
“Aku…” Ferdi menelan ludah. “Nggak mau. Kulit kamu pasti bau… dan beracun.”
“Jangan bawel. Cepat, aku ini istri kamu, loh. Kontrak atau tidak, tetap halal. Tenang saja, jadi pahala,” kata Amira seolah menjelaskan hal biasa.
Ferdi mendecak. “Nggak mau!”
Amira mendekat, suaranya lebih tajam. “Waktunya nggak banyak. Apa kamu rela lihat Mamah kamu diusir Nenekmu?”
Ferdi terdiam. Bayangan Viona menangis diusir dari rumah membuatnya menggigil. “Oke, oke… tapi ingat, ini bukan berarti aku suka, ya!”
Dengan langkah gemetar, Ferdi mendekat. Aroma tubuh Amira menyeruak, membuat tubuhnya lemas.
Cup. Bibir Ferdi menempel sekilas.
“Isap yang kencang, jangan cuma nempel doang,” ujar Amira tenang.
Padahal tubuh Ferdi sudah bergetar hebat. Ia mencoba lagi.
Cup.
“Isap… kayak minum susu.”
Wajah Ferdi memanas. Mendadak tubuhnya berdesir aneh. Bibirnya menekan lebih dalam, tanpa sadar malah bernafsu.
“Bagus… gitu dong,” desah Amira, meski kemudian meringis. “Uhh… sakit.”
Ferdi buru-buru melepaskan diri, napasnya kacau.
Amira menatap hasil karyanya lewat cermin. “Lumayan, kamu punya bakat juga ternyata.”
Ferdi menunduk, wajahnya merah. “Udah cukup, kan?”
“Kurang banyak. Ayo merahin semua.”
“Apaan! Nggak mau!” Ferdi berseru gusar.
Amira mendengus, lalu menjambak rambut Ferdi, menekankan wajahnya kembali ke lehernya. “Ayo, berkaryalah, anak muda.”
....
Semetara itu di ruang utama Renata menatap tajam pada viona .
"Cepat panggil Ferdi dan istri kontraknya itu..." Bentak Renata kepada viona
fer kecintaan buangttt ma Kunti