Karena dosa yang Serein perbuat, ia dijatuhi hukuman mati. Serein di eksekusi oleh pedang suaminya sendiri, Pangeran Hector yang tak berperasaan. Alih-alih menuju alam baka, Serein justru terperangkap dalam ruang gelap tak berujung, ditemani sebuah sistem yang menawarkan kesempatan hidup baru. Merasa hidupnya tak lagi berharga, Serein awalnya menolak tawaran tersebut.
Namun, keraguannya sirna saat ia melihat kembali saat di mana Pangeran Hector, setelah menghabisi nyawanya, menusukkan pedang yang sama ke dirinya sendiri. Suaminya, yang selama ini Serein anggap selalu tak acuh, ternyata memilih mengakhiri hidupnya setelah kematian Serein.
Tapi Kenapa? Apakah Pangeran Hector menyesal? Mungkinkah selama ini Hector mencintainya?
Untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, Serein memutuskan untuk menerima tawaran sistem dan kembali mengulang kehidupannya. Sekaligus, ia bersumpah akan membalaskan dendam kepada mereka yang telah menyebabkan penderitaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salvador, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 : Gaze
...****************...
“Terima kasih Marchioness sudah bersedia menjadi mentor saya.” Ujar Serein dengan anggun, menyambut kedatangan Marchioness Eleanor yang baru saja melewati ambang pintu kediamannya.
Wanita anggun berusia pertengahan tiga puluhan itu membalas dengan anggukan kecil, senyum ramah tersungging di bibirnya. Rambut cokelat tuanya disanggul rapi, dan setiap langkahnya memancarkan wibawa seorang bangsawan terdidik. "Suatu kehormatan saya diberi kepercayaan untuk mengajar Putri Duke Fàcto," balasnya dengan suara tenang, "Saya dengar Lady sendiri yang mengusulkan saya pada Duke."
Mereka mulai melangkah bersama, menyusuri lorong panjang yang dihiasi jendela-jendela kaca patri dan karpet merah marun yang lembut. Menuju ruangan yang akan menjadi tempat belajar mengajar Serein ke depannya.
“Benar, saya dengar Anda termasuk yang paling terampil, Marchioness,” ujar Serein, menoleh sedikit ke arah wanita itu.
Marchioness Eleanor tertawa kecil, dengan telapak tangannya yang ramping menutupi sebagian bibirnya. “Saya baru tahu jika ada cerita tentang saya yang beredar di luar sana,” katanya, nada suaranya tidak sepenuhnya merendah, tapi juga tidak tinggi hati.
Sebagai seorang bangsawan bermarga Dietrich, Marchioness Eleanor memang bukan orang sembarangan. Ia berasal dari keluarga terpandang dan memiliki reputasi luas di kalangan aristokrat ibu kota. Pilihannya untuk mengisi waktu luang dengan menjadi guru pribadi para bangsawan muda menunjukkan bahwa ia tidak hanya cerdas, tapi juga memiliki dedikasi pada pendidikan dan etika kelas atas.
Mereka berhenti di depan sebuah ruangan luas dengan langit-langit tinggi dan jendela-jendela besar yang menghadap taman. Di dalamnya telah tersedia meja kayu berkualitas, rak-rak buku yang penuh, serta peralatan tulis dan lukis tertata rapi. Ruangan itulah yang akan menjadi tempat belajar Serein ke depannya.
“Untuk pertemuan pertama ini, kita hanya akan melakukan pengenalan dan mengatur jadwal,” jelas Marchioness Eleanor seraya membuka buku catatan kecil berkulit merah tua. Jemarinya lincah membalik halaman. “Lady bisa memberitahu apa hobi yang Lady sukai dan di bidang apa Lady memiliki kelemahan.”
Serein berpikir sejenak sebelum menjawab, “Saya menyukai alat musik, seperti bermain piano. Saya juga suka melukis, walau tak begitu mahir. Saya senang mempelajari buku politik, tapi tidak begitu menyukai sejarah.”
Sebenarnya, bisa dikatakan Serein tidak terlalu membutuhkan pelajaran tambahan. Ia telah melewati sebagian besar pelajaran akademik dan etiket bangsawan. Di masa lalunya, Serein pernah tinggal di istana selama dua tahun lamanya. Tata kramanya tidak perlu diragukan lagi.
Marchioness Eleanor mencatat semua jawaban Serein dengan cekatan. Setelah itu, ia menatap Serein dengan penuh perhatian. “Lalu, bagaimana dengan tata krama? Lady bisa menunjukkannya?”
Ia tampaknya cukup penasaran, mengingat Serein beberapa tahun terakhir tinggal di daerah, jauh dari hiruk pikuk dan disiplin sosial ibu kota. Perbedaan gaya hidup tentu bisa memengaruhi kemampuan adaptasi seorang bangsawan muda.
Serein mengangguk mantap. Ketika Marchioness memintanya berjalan dengan meletakkan sebuah buku tebal di atas kepala—sebuah latihan klasik untuk mengasah keseimbangan dan keanggunan gerak tubuh—Serein melakukannya dengan mudah. Langkah kakinya ringan, bahunya lurus, dan kepala tetap tegak sempurna. Buku itu seolah menyatu dengan tubuhnya, tidak bergeser sedikit pun.
Ia bahkan berjalan menuruni tangga kecil di ujung ruangan dengan presisi yang sama. Tanpa ragu, tanpa goyah.
Marchioness Eleanor yang menyaksikan dari kejauhan, spontan menepuk tangannya dengan kagum. “Mengagumkan,” ucapnya, tatapannya berkilat seolah baru saja menemukan permata tersembunyi. “Bahkan Anda bisa mengatur raut setenang air laut itu.”
Senyumnya berkembang lebih lebar saat ia menambahkan, “Rasanya saya seperti akan mengajar Putri Kerajaan yang sudah menyelesaikan studinya.”
Serein hanya menanggapi dengan senyum kecil. Ia tidak merasa perlu menjawab atau menjelaskan apa pun. Karena dalam pikirannya, ia memang sudah melewati masa-masa itu.
***
“Kau ingin ikut atau tidak? Jika tidak, aku bisa pergi sendiri,” tanya Serein santai, menatap Rara yang berdiri gelisah di ambang pintu kamarnya.
Wajah pelayan muda itu dipenuhi kekhawatiran. “Tapi Nona, ini berbahaya. Kita bisa pergi dengan kereta kuda dan pengawal,” usulnya hati-hati, mencoba meyakinkan sang majikan.
“Aku tidak mau.” Ujar Serein dengan nada ringan, tanpa memandang ke belakang.
Ia sudah mengganti pakaian dengan gaun biasa milik Rara. Serein ingin keluar dari pekarangan mansion dengan menyamar sebagai rakyat biasa, hari ini ia tak memiliki kesibukan. Di kehidupan lalu, ia terlalu mengikuti semua adab bangsawan sampai tidak berpikir untuk bersenang-senang seperti ini.
Rara menggigit bibir bawahnya, menahan penolakan. Pada akhirnya, ia hanya bisa mengikuti kemauan Serein. Membiarkan sang Nona keluar mansion sendirian justru akan jauh lebih berbahaya. Ia merapikan kerudung tipis di kepalanya sebelum melangkah mengikuti Serein yang sudah bergerak lebih dulu.
Mereka melewati penjagaan mansion Fàcto yang terkenal ketat. Untungnya, Serein masih mengingat dengan baik letak titik-titik penjagaan dari pengalaman masa lalunya. Mereka menyelinap di sela-sela waktu jaga yang renggang, mengambil jalur kebun belakang, lalu menyusuri jalan setapak menuju hutan kecil di luar kawasan bangsawan.
“Nona, jangan melepas topi Anda. Rambut emas Nona akan terlihat mencolok nanti,” bisik Rara.
“Hm, baiklah.” Serein merapikan kembali topi bundarnya yang sempat tergeser angin. Gaun sederhana itu memang menyamarkannya, tapi warna rambutnya tetap menjadi ciri khas yang paling mudah dikenali.
Mereka terus berjalan melewati jalan setapak berbatu di tengah hutan rindang. Udara sejuk menelusup di sela-sela ranting yang bergoyang pelan. Sesekali, Serein berlari kecil sambil mengangkat sisi bawah gaunnya agar tidak terseret tanah.
“Ternyata mengenakan gaun simpel seperti ini sangat nyaman, ya,” gumamnya sambil tersenyum kecil. Tidak ada beban korset, tidak ada berat dari lapisan gaun berenda. Tubuhnya terasa lebih ringan, dan pikirannya pun demikian.
Setelah hampir setengah jam berjalan, akhirnya mereka tiba di tempat tujuan. Sebuah pasar rakyat, pusat pembelanjaan sederhana yang terletak di pinggir pemukiman. Tempat itu jauh dari kemegahan butik atau toko-toko milik bangsawan.
Namun, baru saja Serein akan melanjutkan langkah, Rara menahan tangannya.
“Nona, apa Anda yakin?” bisik pelayan itu ragu. Ia tahu betul, sang Nona tumbuh di lingkungan serba mewah. Tempat seperti ini, dalam pandangan kaum bangsawan, seringkali dianggap kumuh dan tak layak.
“Kenapa tidak?” tanya Serein balik, alisnya terangkat sedikit.
Rara akhirnya menyerah, mengikuti langkah Serein yang kini berjalan perlahan menyusuri area pasar. Mata Serein bergerak aktif, mengamati setiap sudut yang ia lewati—dari sayuran yang dijajakan di keranjang anyaman, kain lusuh yang digantung di tiang bambu, hingga anak-anak kecil yang berlarian tanpa alas kaki.
Memperhatikan sekitar. Jelas Serein tak segabut itu hanya kemari untuk bersenang-senang, ia ingin melihat kehidupan rakyat secara langsung.
Kerajaan Aethermere selalu berada di puncak kejayaan, tapi ada masanya di mana rakyat tidak menyetujui peraturan pemerintahan yang memberatkan. Seperti pengambilan upeti, yang sengaja digelapkan beberapa pihak sehingga rakyat kecil harus menanggung kerugian.
Tapi, Serein tahu itu bukan sekarang. Sehingga ia merasa tak mendapatkan hasil apapun di sini saat ini.
“Sebenarnya nona ingin mencari apa?” Tanya Rara penasaran. Serein bahkan tidak tertarik untuk membeli apapun di sini.
Serein melipat kedua tangannya di dada, “Aku berpikir untuk berbisnis, tapi sepertinya tempat ini bukan jawabannya.” Harusnya Serein tahu, apa yang bisa ia harapkan di pasar rakyat kecil? Ia harusnya menyusuri toko-toko para bangsawan.
“Bisnis? Untuk apa?” Tanya Rara heran.
“Tentu saja untuk mengumpulkan banyak uang.”
Rara masih menatap nonanya heran, “Untuk apa, Nona? Anda adalah penerus Tuan Duke.".
Serein menarik napas pelan. Ia ingin berdiri dengan kaki sendiri. Ia ingin orang-orang melihat dirinya bukan hanya dari nama belakangnya, bukan hanya sebagai ‘anak Duke’. Karena terlalu banyak yang meremehkannya hanya karena itu.
“Anggap saja aku ingin menjadi orang terkaya di Aethermere,” jawabnya sembarang.
“Tentu saja Anda harus menyayangi kekayaan Raja untuk itu.” Sahut Rara.
Serein mengangguk membenarkan, memang cara paling cepatnya adalah dengan menjadi pendamping Raja. Tapi tak lama Serein langsung menggeleng, mengusir pemikirannya. Jangan sampai ia masih memiliki tujuan yang sama seperti kehidupan yang dulu.
“Tidak… Maaf…”
Suara tangisan itu membuat mereka berdua menoleh hampir bersamaan. Suara isak itu berasal dari kerumunan orang yang mulai ramai.
Serein dan Rara bergabung, menyibak kerumunan dan melihat seorang anak laki-laki berlutut di depan seorang pria paruh baya bertubuh besar.
“Dasar pencuri! Ingin jadi apa kau ke depannya, HAH?!” bentak pria itu keras.
“Ma-maaf… aku belum makan apa pun se-sejak pagi…” jawab anak itu dengan suara terbata, tubuh kurusnya gemetar.
“Lalu kau pikir bisa seenaknya mencuri?! Sepertinya orang tuamu tidak mendidikmu dengan baik!”
Semua orang menatap ngeri bagaimana pria paruh baya itu memberikan pukulan di punggung remaja laki-laki, dua sampai tiga pukulan terdengar.
Serein jelas tidak tega melihat apa yang terjadi saat ini, ia ingin melerai namun Rara langsung menahan tangannya, menggeleng.
“CUKUP!”
Kedatangan dua prajurit dengan seragam resminya menghentikan pria paruh baya yang hendak kembali melayangkan pukulannya.
“Jangan melakukan kekerasan pada anak di bawah umur, Tuan!” Kecam salah satunya, sementara rekannya yang mengenakan slayer di wajah terlihat membelakangi kerumunan.
“Kalian membela pencuri ini?!” si pria paruh baya menolak mundur.
“Dia berada di bawah perlindungan pemerintah. Kami akan mengganti kerugian yang ia timbulkan,” tegas sang prajurit.
Perlahan, kerumunan mulai bubar. Pria kasar itu menerima sejumlah uang sebagai ganti rugi, sementara bocah yang dipukuli dibimbing menjauh oleh salah satu prajurit.
Serein masih berdiri di tempatnya. Matanya terpaku pada prajurit berslayer yang sejak awal membelakangi arah kerumunan. Bukan tanpa alasan Serein memperhatikannya, belakang punggung itu, terasa familiar. Dan seolah merasakan tatapan, pria itu perlahan menoleh.
Serein tertegun. Ia yakin tidak salah lihat. Sorot mata merah itu—ia mengenalinya.
Netra mereka saling bertemu dalam diam. Dan seketika, waktu terasa berhenti bagi Serein.
...****************...
tbc.