Anindya Semesta hanyalah gadis ingusan yang baru saja menyelesaikan kuliah. Daripada buru-buru mencari kerja atau lanjut S2, dia lebih memilih untuk menikmati hari-harinya dengan bermalasan setelah beberapa bulan berkutat dengan skripsi dan bimbingan.
Sayangnya, keinginan itu tak mendapatkan dukungan dari orang tua, terutama ayahnya. Julian Theo Xander ingin putri tunggalnya segera menikah! Dia ingin segera menimang cucu, supaya tidak kalah saing dengan koleganya yang lain.
"Menikah sama siapa? Anin nggak punya pacar!"
"Ada anak kolega Papi, besok kalian ketemu!"
Tetapi Anindya tidak mau. Menyerahkan hidupnya untuk dimiliki oleh laki-laki asing adalah mimpi buruk. Jadi, dia segera putar otak mencari solusi. Dan tak ada yang lebih baik daripada meminta bantuan Malik, tetangga sebelah yang baru pindah enam bulan lalu.
Malik tampan, mapan, terlihat misterius dan menawan, Anindya suka!
Tapi masalahnya, apakah Malik mau membantu secara cuma-cuma?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semesta 10.
Pagi-pagi sekali, Anindya sudah nongkrong di pinggir jalan depan rumahnya. Belum mandi, hanya cuci muka dan gosok gigi. Yang dikenakan pun masih baju tidur semalam, lecek dan terdapat remahan nugget.
Si mager itu rela bangun lebih pagi dan nongkrong di sana hanya untuk memastikan, apakah Malik betulan sudah tidak marah. Anindya merasa perdamaian mereka terlalu mudah, tanpa perlu melalui pertumpahan darah.
Cukup lama Anindya menunggu. Posisi duduknya pun sudah berkali-kali berubah. Dari yang awalnya nongkrong, bersila, sampai selonjoran. Caca juga tahu-tahu menyusul, lari keluar rumah dan setia menunggu di samping adiknya. For your information saja, Papa bersikeras menganggap Caca adalah anak pertama. Meski secara teknis Anindya lahir lebih dulu, Caca tetap dianggap abang karena ia berbulu. Eh, tidak, tidak. Sebenarnya tidak ada alasan khusus. Memang inginnya Papa saja begitu. Mari kita biarkan saja.
"Woof! Woof!"
"Apa?" Anindya bertanya malas. Mulai bosan juga dia menunggu seperti anak hilang begini.
"Woof! Woof!" Caca terus menggonggong. Anindya tidak mengerti apa yang coba anjing itu katakan. Dia belum belajar bahasa hewan.
"Apaan, sih? Bisa pakai bahasa manusia aja, nggak? Kamu kan udah lama tuh jadi anak Papa, masa bisanya cuma gonggong doang?"
"Woof! Woof! Woof!" Tetap saja, Caca hanya bisa menggonggong, bahkan lebih keras.
Anindya memutar bola mata malas. Memang mau berharap apa? Kalau Caca tiba-tiba bisa bahasa manusia, dia juga yang akan repot. Bisa-bisa anjing itu betulan dibagi jatah warisan.
"Nggak tahu, aku nggak ngerti kamu ngomong apa." Daripada pusing, Anindya memilih menyerah. Tapi saat ia mengangkat bokongnya dari tanah dan hendak beranjak, ujung celana tidurnya malah digigit oleh Caca. Anjing itu menariknya, memintanya ikut seakan ada hal penting yang ingin ditunjukkan.
"Ee ... mau ke mana?"
Caca tak menggubris dan tetap menarik celana Anindya. Ia baru berhenti di depan rumah Malik, bertepatan dengan munculnya sang lelaki tampan, mapan, nan rupawan dari pintu utama. Kontras dengan penampilan Anindya, lelaki itu sudah rapi dengan jas dan kemeja. Wangi parfumnya menyebar, memikat siapa saja yang mengendus--termasuk Caca. Gigitannya di celana Anindya seketika lepas. Anjing itu kini duduk patuh dengan lidah menjulur-julur. Ujung-ujung bibirnya tertarik, seperti sedang tersenyum.
Sementara Malik, lelaki itu tampak kebingungan mendapati tamu sepagi ini. Padahal dia sengaja berangkat ke kantor lebih awal karena tahu Anindya suka bangun siang. Lha kok yang mau dihindari malah muncul di depan mukanya begini.
"Ngapain?" tanyanya datar.
Anindya menunjuk moncong Caca, tatapannya bengis. "Caca tuh! Dia yang narik Anin ke sini."
Malik melirik Caca. Anjing berwarna cokelat itu masih geming. Dari tatapannya, ia seolah ingin berkata, bukan, bukan aku. Perempuan gila ini memang mau ketemu kamu.
Lalu coba tebak, Malik akan lebih percaya siapa? Pengakuan Anindya atau tatapan Caca yang dia artikan sendiri?
Benar, seratus! Malik lebih percaya pada Caca. Atau lebih tepatnya, percaya pada asumsinya sendiri.
"Ada apa? Saya harus berangkat ke kantor nih. Kalau nggak penting-penting amat, nanti aja kita bicara."
Anindya merengut. "Nggak pa-pa," jawabnya pendek.
"Kalau gitu, coba minggir, saya mau lewat." Dan Malik betulan berjalan begitu saja melewati tubuh Anindya.
Sikap dingin Malik membuat Anindya kembali julid. Di belakang punggung Malik, ia mulai senam bibir. Tangannya terkepal, meremas-remas, lalu dua jari tengah diacungkan. Nahas, adegan yang terakhir tertangkap mata Malik sebab lelaki itu tiba-tiba berbalik.
Malik hanya mengangkat sebelah alisnya dan itu kian terasa menyebalkan.
"Jangan gangguin Oma dulu," kata Malik, jauh dari topik soal jari tengah Anindya yang masih mengacung padanya. "Nanti agak siangan aja kamu mainnya. Sehabis makan siang atau sore sekalian juga lebih bagus."
Anindya menurunkan dua jari tengahnya, "Saya masih boleh main ke sini?" tanyanya memancing.
"Emang kalau saya bilang enggak, kamu bakal nurut?" Malik menyerang balik.
Anindya tidak menjawab, dia kesal. Langit selalu punya cara membuatnya kicep dan terlihat seperti anak ingusan.
"Terus," Malik membungkuk sedikit. Anindya menahan napas. "Mandi dulu sana, kamu bau nugget."
Mata Anindya membola, nyaris copot. Wajahnya seketika memerah. Bukan malu, tapi marah! Enak saja dikatai bau nugget!
"Nggak, ya! Anin wangi, walaupun belum mandi!"
Malik menegakkan kembali badannya, memandang Anindya sebentar lalu berbalik. "Itu kan menurut kamu, menurut saya kamu bau."
"Anin nggak bau!" seru Anindya kesal. Kakinya mengentak-entak heboh.
"Jangan teriak-teriak, nanti kamu digeruduk warga." Malik berucap enteng. Mulai tergelitik melihat muka Merona yang merah dan terlihat konyol.
Tidak lama kemudian, Yudhis datang dengan mobil kantor. Lelaki itu menurunkan kaca jendela, tersenyum ramah menyapa Malik dan Anindya.
Seakan enggan membiarkan Yudhis terlalu lama ada di sana, Malik segera membuka pintu mobil bagian belakang dan berkata, "Ayo buruan jalan. Telat sedikit aja bisa kejebak macet kita."
Yudhis mengangguk patuh. Kaca mobil dinaikkan lagi setelah ia mengucapkan selamat tinggal pada Anindya melalui tatapan mata. Mobil pun melaju meninggalkan TKP. Meninggalkan jejak pertikaian yang belum selesai.
...🌲🌲🌲🌲🌲...
Tak hanya sekali Yudhis memeriksa keadaan Malik dari rear-view mirror. Lelaki itu biasanya langsung tenggelam dalam pekerjaan begitu masuk ke dalam mobil, tapi pagi ini berbeda. Malik tampak bersandar menopang kepala, matanya terpejam. Meski tak biasa, Yudhis tak berani banyak bertanya. Ia hanya terus melajukan mobilnya dalam keadaan senyap.
Karena mereka berangkat jauh sebelum jam kantor, jalanan masih cukup lengang. Hal tersebut tentu memudahkan Yudhis. Ia tak harus putar otak mencari jalan alternatif demi sampai di kantor tepat waktu, apalagi jika sedang dikejar deadline meeting dengan klien.
Menempuh jarak sekitar 11 kilometer, 4 kilometer lagi sebelum sampai kantor, Yudhis membelokkan kemudi tanpa meminta persetujuan Malik terlebih dahulu. Tujuannya adalah sebuah coffee shop dari salah satu brand kopi ternama. Malik tidak mengonsumsi kopi, tapi suka cinamonroll yang dijual di sana. Yudhis rutin membelikannya setiap pagi.
Mata Malik terbuka perlahan saat menyadari laju mobil melambat dan akhirnya berhenti. Ia menoleh sebentar ke luar, lalu lanjut memejamkan mata setelah menyadari di mana mereka berhenti.
"Tolong tambah cheese danish satu," ucapnya masih dengan mata terpejam.
Yudhis yang sudah membuka pintu, menoleh ke belakang. "Ada lagi?" tanyanya.
"Nggak ada, itu aja."
Tak bertanya lagi, Yudhis langsung keluar mobil dan bergegas masuk. Sebenarnya dia biasa memesan lewat drive thru, tapi pagi itu antreannya sudah panjang dan dia malas menunggu.
Sementara Yudhis pergi menjalankan tugas, Malik mulai kembali dilanda gelisah. Merona terus Menari-nari di kepalanya. Bukan hanya soal tingkah polahnya yang penuh gebrakan tak terduga, tapi juga perubahan mood yang terlalu ekstrem. Malik khawatir mereka akan sering ribut. Takut kalau pondasi yang dia susun dari masih belia justru runtuh sehingga membuatnya lebih mudah hilang kendali.
"Alah, mbuh lah." Akhirnya, dia hanya bisa bergumam pasrah.
Bersambung....