NovelToon NovelToon
Gadis Dari Utara

Gadis Dari Utara

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Romansa Fantasi / Fantasi Wanita / Pengawal / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: moonlightna

SEASON 1!

Di balik luasnya wilayah utara, setelah kematian Duke Xander. Desa Valters hampir punah dan hancur.

Desa Valters desa yang tidak mengetahui titisan Xander...

Daren... seorang gadis berambut perak, di buang dan dibesarkan sebagai prajurit di barak utara yang ilegal. Tanpa identitas ia tidak tahu siapa dirinya, hanya tahu bahwa hidupnya adalah tentang bertahan.

Namun, saat pasukan Kekaisaran menyerbu barak utara. Ada nama yang dibisikkan. Xander Estelle. Ada mata-mata yang mulai memperhatikannya. Dan di ujung dunia, dari reruntuhan wilayah Utara yang dibekukan oleh sejarah, sesuatu yang mengerikan mulai bergerak.

Hidupnya mulai bergerak menuju takdir yang tak pernah ia minta. Tapi mungkinkah hidupnya juga akan berubah… menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar bertahan?

Di tengah perubahan hidup dan pengakuan darahnya, adakah sosok yang membuatnya semakin kuat? seseorang yang menantangnya untuk berdiri, meski dunia ingin menjatuhkannya?

Happy reading 🌷🌷

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moonlightna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

MATA YANG TAK MAU TUNDUK

"Semuanya! tolong cepat berbaris!" teriak seorang prajurit senior yang terdengar di lorong kamar barak.

Fajar belum sepenuhnya datang ketika lonceng barak berdentang tiga kali, nyaring dan dingin seperti cambuk besi. Kabut pagi masih bergantung di pelataran pelatihan, mengaburkan batas antara tanah keras dan langit kelabu.

Daren berdiri paling ujung dari barisan kadet. Napasnya menggumpal di udara dingin, rambut peraknya masih basah karena ia menyiramkan air sumur ke kepalanya sebelum keluar. Seragam abu-abu istana menempel ketat di tubuhnya yang mungil namun kaku karena otot-otot yang terlatih untuk bertahan.

"Barisan! Tegak!"

Suara pelatih utama, Jenderal Aldren Dravellin, pria bertubuh besar dengan satu mata dan bekas luka di wajahnya, rambutnya berwarna coklat pekat rapi. Suaranya sangat menggelegar. Suara itu memantul di tembok pelatihan seperti seruan perang.

Namun saat tatapan Aldren menyapu barisan, ia berhenti pada satu titik. Pada Daren.

Ia menatap mata itu. Mata biru yang sama seperti milik orang yang pernah di kenalnya. Duke Xander Estelle. Mata yang tak mau tunduk.

Dari kejauhan Komandan Kanel datang dengan langkah tegap dan mantap, mendekat pada Aldren.

"Latih mereka dengan baik," Kata Aldren lalu pergi berlalu meninggalkan tempat pelatihan itu.

Kanel tidak Mendengarkan perkataannya, ia berdesis kecil lalu melangkah ke barisan mereka.

“Kau,” ucap Kanel, tanpa menyebut nama.

“Majulah. Kau akan kulatih sendiri.”

Desis bisik terdengar di antara barisan. Beberapa prajurit muda tampak saling menyikut dan berbisik dengan nada sinis.

"Budak dari Utara itu... dapat perlakuan khusus?"

"Atau komandan itu sudah gila?"

Tapi Daren hanya melangkah maju tanpa bicara.

Langkahnya tidak gemetar. Hanya matanya yang semakin menyempit, membaca medan seperti membaca luka lama.

Latihan Dimulai

Latihan pagi itu berbeda dari biasanya. Kenel tidak menggunakan metode umum. Ia menjatuhkan pedang kecil ke tanah di depan Daren, lalu melemparkan sebuah tameng kecil.

“Ambil.”

Daren memungut keduanya.

“Sekarang tahan posisimu selama sepuluh menit. Tanpa bergerak. Jika kau jatuh, ulangi dari awal.”

Daren memosisikan kuda-kudanya. Lutut menekuk, tangan kanan menggenggam pedang, tangan kiri menopang tameng. Tidak sempurna, tapi stabil. Seperti batu kecil yang ditanam paksa di lereng curam.

Menit pertama mudah. Tapi saat waktu merayap dan suara tawa mengejek di sekitarnya makin keras, tangan Daren mulai bergetar.

“Bukan cuma tubuhmu yang diuji hari ini,” gumam Kanel pelan, hanya bisa didengar oleh prajurit di barisan depan. “Tapi harga dirimu.”

Dan Daren tidak jatuh.

Latihan kali ini sangat tegas namun tidak sekeras pelatihan dulu, saat di barak utara.

Setelah latihan pagi berakhir dan para kadet diizinkan beristirahat, dua penjaga mendatangi Daren yang sedang membasuh wajahnya di dekat sumur.

“Daren Estelle. Putra Mahkota memanggilmu.”

Daren menoleh. Tidak terkejut. Tapi hatinya mengetat.

Ia digiring ke ruang pelatihan privat istana, tempat berlatih para bangsawan tinggi dan pengawal kerajaan. Di sana, berdiri Gerald Valen Therando, dengan jubah latihan berwarna hitam dan pedang istimewa tergantung di pinggangnya.

Ruang itu sunyi, hanya suara langkah Daren yang menggema saat ia melangkah masuk. Gerald menatapnya dari balik rambut peraknya yang sedikit berantakan karena latihan sebelumnya.

“Kau tidak tunduk padaku?” tanya Gerald, dingin.

“Semua yang masuk ruangan ini tunduk.”

Daren menatap lurus ke arahnya. “Saya dilatih untuk berdiri, bukan membungkuk.”

Gerald nyaris tersenyum. Tapi tak ia tunjukkan.

Ia melemparkan sebuah kayu pendem, tongkat latihan.

“Buktikan pada dunia bahwa kau memang pantas berdiri.”

Daren menangkap tongkat itu tanpa ragu.

Duel pertama mereka dimulai.

Gerald tidak menahan diri. Tapi Daren tidak mundur.

Dan saat tongkat kayu mereka beradu di tengah ruangan, dentingnya lebih nyaring dari suara politik yang selama ini bergema di dalam istana.

"Aku… menyerah!" seru Gerald dengan napas terengah, tubuhnya tergeletak di atas lantai latihan yang keras.

Daren berada di atasnya, lututnya nyaris menindih dada sang putra mahkota. Rambut peraknya berantakan, pipinya memerah karena panas, dan keringat menetes dari dagunya.

Gerald menatap gadis kecil itu dari bawah, mata merahnya memicing kesal, tapi juga tak bisa menyembunyikan rasa kagumnya.

Daren buru-buru bangkit, mundur satu langkah dan menunduk kaku. “Maaf,” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan yang tertahan antara rasa bersalah dan lelah.

Langkah-langkah cepat terdengar menghampiri mereka.

“Akhirnya tumbang juga, Yang Mulia!” seru suara riang dari arah gerbang pelatihan.

Dua pemuda remaja seumuran Gerald muncul. Jaden Aldric berambut hitam legam, rapi, dengan ekspresi tajam dan sikap tenang seperti mata pedang yang baru diasah. Satunya lagi, Benson Veynor, berambut merah menyala seperti nyala api yang liar, tersenyum lebar, dengan langkah lebar dan tangan yang menyangkut di balik leher.

“Kalau kau dikalahkan gadis sekecil itu, sebaiknya tak usah ikut turnamen musim panas!” canda Benson dengan nada menggoda. “Apa dia nyubitmu di tulang rusuk atau meninju harga dirimu?”

“Diam, Benson” gerutu Gerald, duduk sambil menepuk debu dari pakaiannya. “Kalau kau merasa lebih baik, coba saja sendiri.”

Benson tertawa keras, lalu menoleh ke Daren. “Kau jago juga untuk sepotong kayu dari Utara.” Tapi tidak terdengar menghina, lebih seperti pujian yang dibungkus kelakar.

Jaden, yang sedari tadi hanya berdiri tenang, akhirnya angkat bicara. “Sudah cukup, Benson. Anak ini tidak main-main. Lihat geraknya... itu bukan gerakan asal coba.” Ia melirik ke arah Daren dengan mata mengukur, lalu mengangguk pelan. “Namaku Jaden.”

Daren hanya menunduk sedikit. Matanya menatap kaki mereka, bukan wajah.

“Dan aku Benson!” tambah si rambut merah bangga, mengedipkan sebelah matanya. “Tapi semua orang memanggilku ‘kepala panas’. Jadi hati-hati kalau bicara denganku.”

Gerald menghela napas, lalu berdiri penuh. “Mereka ini dua pengganggu istanaku,” katanya kepada Daren, “Tapi... mereka juga orang-orang paling bisa diandalkan.”

Jaden dan Benson berdiri di sisi Gerald, keduanya mengenakan baju prajurit muda dengan lambang sayap berkepala singa di dada kiri, simbol pasukan istana. Kelak, mereka akan jadi panglima muda. Tapi hari ini… mereka hanya tiga anak yang saling menakar, mencari tahu: siapa yang akan berdiri bersama siapa saat badai datang.

Dan Daren, yang masih diam dan berkeringat, berdiri di tengah mereka, tak berkata apa-apa, tapi sekali lagi menatap Gerald tanpa takut.

Tok, tok.

Pintu ruangan diketuk pelan.

“Paman,” katanya. Gerald melihat Kanel di balik daun pintu.

“Maaf, Gerald. Daren harus segera beristirahat.” suara tenang tapi tegas milik Kanel. Nada bicaranya sopan, namun tak bisa ditawar.

Tatapan Kanel jatuh pada Daren yang berdiri di antara tubuh mereka yang tinggi dan tegap. wajah gadis kecil itu tampak memerah karena lelah, keringat masih membasahi pelipisnya, dan langkahnya pun sedikit goyah.

“Daren, ikut aku,” ucap Kanel tanpa menoleh lagi.

Daren mengangguk kecil, lalu mengikuti pria itu keluar ruangan. Langkah mereka cepat namun tak terburu, menghilang di balik lorong panjang yang mulai redup cahaya senja.

Begitu pintu tertutup, suara berat penuh sindiran segera terdengar.

“Kenapa kau menantang gadis kecil itu, hah?” tukas Benson, menyilangkan tangan sambil memiringkan kepala, gaya tengil khasnya muncul.

Gerald tidak langsung menjawab.

Jaden yang berdiri tenang di sisi lain ruangan, menambahkan dengan nada datar, “Di barak tadi... dia dilatih keras. Langsung oleh Komandan Kanel. Kau tahu sendiri, itu tidak pernah terjadi sebelumnya.”

Gerald sedikit mengangkat kepala, tatapannya berubah. Terkejut, tapi tak ditunjukkan terlalu jelas. Ia melangkah ke jendela. melihat punggung Daren yang kecil, berjalan pelan di sisi Kanel menuju asrama pelatihan.

Rambut peraknya bergoyang pelan ditiup angin sore. Tubuh kurus itu tampak rapuh, tapi langkahnya tetap lurus dan tak gentar.

Gerald terdiam sejenak, lalu berkata pelan, nyaris hanya untuk dirinya sendiri:

"Anak seusiamu harusnya menangis ketika ditekan seperti ini.”

1
Hatus
Kasihan banget Daren, masih bayi tapi cobaan hidupnya berat banget😭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!