Lian shen ,seorang pemuda yatim yang mendapat kn sebuah pedang naga kuno
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dwi97, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tangga Seribu Bayangan
Angin dingin menusuk tulang, membawa bau logam dan kelembaban kuno ketika Shen dan Lin Feng berdiri di hadapan sebuah tangga raksasa yang menjulang ke kegelapan. Tangga itu seolah tak berujung, terbuat dari batu hitam berlumut, sementara di setiap anak tangganya tampak bayangan samar manusia yang bergerak sendiri tanpa tubuh.
“Aku tidak suka tempat ini,” gumam Lin Feng, memegang erat pedangnya. “Bayangan itu... mereka seperti mengawasi kita.”
Shen mengangguk perlahan. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ada sesuatu pada tangga ini, sesuatu yang menguji bukan hanya kekuatan tubuh, tapi juga keteguhan hati. Ia menatap ke atas. Hanya kegelapan yang menelan pandangan.
“Tak ada jalan lain,” katanya. “Kita harus mendaki.”
Langkah pertama terasa berat. Begitu telapak kaki Shen menjejak batu, bayangan di anak tangga bergeser. Sosok itu menatapnya dengan wajah samar—wajah Shen sendiri. Mata hitam kosong, mulut menyeringai bengkok.
Shen terhuyung, dadanya sesak. Bayangan itu berbisik, “Kau pengecut. Kau tak akan pernah cukup kuat melindungi siapa pun.”
Tangan Shen bergetar. Suara itu menusuk hatinya, mengingatkan pada kegagalannya di masa lalu, ketika keluarganya hancur dan ia tak berdaya.
“Shen?” suara Lin Feng menggema, membuatnya tersadar.
Ia menggeleng, menarik napas panjang. “Aku baik-baik saja.” Tapi dalam hati ia tahu, tangga ini menunjukkan sisi tergelap dari setiap orang yang melangkah.
Lin Feng mulai mendaki di belakangnya. Tak lama, ia pun berteriak tertahan. Wajahnya memucat. “Tidak... kau bohong... semua orang yang aku sayangi mati karenaku...”
Shen menoleh cepat. Bayangan di hadapan Lin Feng menyerupai ibunya, tubuhnya berlumuran darah. Lin Feng hampir terjatuh ke belakang, matanya dikuasai ketakutan.
“Feng! Itu ilusi! Lawan dengan hatimu!”
Shen meraih tangannya tepat waktu, menariknya kembali ke anak tangga. Lin Feng gemetar, keringat dingin mengalir. “Aku... aku hampir percaya...”
“Jangan dengarkan mereka,” ucap Shen tegas. “Tangga ini menelan orang yang terjebak pada penyesalannya sendiri.”
Mereka terus naik. Setiap langkah membawa bayangan baru: sahabat yang mati, saudara yang mengkhianat, masa lalu penuh darah. Ada saat ketika Shen hampir berhenti—ketika bayangan ayahnya muncul, menatapnya dengan kecewa.
“Kau hanya anak yang gagal, Liang Shen. Bahkan pedang naga tidak akan mengakuimu.”
Tubuh Shen membeku. Namun ia menggenggam pedangnya erat, cahaya emas samar menyala di bilahnya. “Aku bukan lagi anak yang sama. Aku akan memilih jalanku sendiri.”
Bayangan itu hancur seperti kaca retak. Untuk pertama kalinya, tangga bergetar.
“Shen...” Lin Feng menunjuk ke atas. “Lihat!”
Di kejauhan, di puncak tangga, cahaya samar merah berkedip seperti obor. Namun jaraknya masih jauh, seolah tak terhitung anak tangga.
Mereka melanjutkan pendakian. Tubuh mulai lelah, napas terengah. Bayangan terus menghantui, namun setiap kali mereka goyah, keduanya saling menopang.
Akhirnya, setelah entah berapa lama, mereka mencapai puncak. Bayangan terakhir menghadang—dua sosok hitam menjelma seperti cermin diri mereka, lengkap dengan pedang.
“Ini ujian terakhir,” desis Shen.
Pertarungan pun pecah. Bayangan mereka bergerak dengan kecepatan dan teknik yang sama, seolah membaca pikiran. Pedang Shen beradu dengan bayangan dirinya, kilatan emas melawan hitam. Sementara Lin Feng bertarung melawan sosok yang menggunakan gaya bertarungnya sendiri.
Darah mengalir, napas berat, tapi Shen menolak menyerah. Ia mengingat sumpahnya—untuk melindungi, untuk melawan takdir. Dengan teriakan penuh tekad, ia menggabungkan kekuatan pedangnya dengan cahaya naga yang menyala dari inti hatinya.
Satu tebasan emas memecah bayangan itu menjadi ribuan pecahan. Lin Feng, mengikuti keberanian Shen, juga menghancurkan bayangannya dengan serangan terakhir.
Tangga bergetar hebat. Semua bayangan lenyap. Hanya keheningan dan cahaya merah di ujung jalan.
Shen menatap ke depan, napasnya berat namun matanya mantap. “Kita berhasil melewati Tangga Seribu Bayangan. Tapi ini baru permulaan.”
Lin Feng menyeringai lelah. “Kalau ini permulaan... aku tidak sabar melihat akhirnya.”
Mereka berdua melangkah masuk ke cahaya merah yang menunggu.