NovelToon NovelToon
ASMARALARAS

ASMARALARAS

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Terlarang
Popularitas:693
Nilai: 5
Nama Author: Kidung Darma

Novel roman. Bara cinta terlarang gadis pesindhen.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kidung Darma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 6

Pada malam yang tenang, bulan menggantung rendah di langit dan angin berembus lembut dari arah sawah, terdengar suara gamelan mengalun dari pendhapa milik Ratmoyo. Malam itu, Ratmoyo bersama para anggotanya tengah mengadakan latihan rutin sebagai persiapan untuk tanggapan wayang yang akan digelar di rumah Pak Lurah, dua hari mendatang.

Latihan seperti ini sudah menjadi tradisi. Bila waktu senggang tersedia, mereka akan berkumpul setiap lima belas hari sekali. Bukan hanya sekadar menjaga kekompakan, tapi juga sebagai wadah untuk menempa generasi muda agar lebih matang dalam memainkan alat-alat gamelan.

Ratmoyo percaya, tanpa latihan yang cukup, tabuhan bisa terdengar gagap dan kaku saat di hadapan penonton. Maka dari itu, ia tak pernah lelah membimbing para pemuda desa yang tergabung dalam kelompok karawitan itu—dengan sabar, telaten, dan penuh rasa cinta pada kesenian.

Malam itu, mereka membawakan berbagai macam gendhing pewayangan. Dari gendhing ageng yang sakral dan megah, gendhing tengahan yang anggun, hingga gendhing alit yang lincah. Tak ketinggalan playon dan gendhing perang yang menghentak, ketawang yang teduh, serta lancaran yang enerjik. Semua dimainkan dengan sepenuh jiwa.

Suasana pendhapa terasa hidup oleh denting kenong, kendhang, dan gema gong yang bersahutan. Di sela-sela tabuhan, Ratmoyo sesekali memberikan petunjuk atau koreksi kecil, memperbaiki nada yang meleset, menyempurnakan irama yang tergelincir.

Bagi mereka, latihan ini bukan sekadar kewajiban, melainkan bagian dari perjalanan jiwa. Sebuah ikhtiar menjaga warisan leluhur, agar suara gamelan tak pernah padam, dan kisah pewayangan tetap hidup di hati generasi penerus.

Asmarawati bersama rekan-rekan sindennya turut larut dalam irama latihan yang digelar malam itu. Di bawah sorotan mata tajam Sundari—ibunya sekaligus guru yang tak pernah mengenal ampun—mereka melatih suara, menyelaras nada, dan menata napas agar larut sejiwa dalam harmoni gamelan yang menggema dari bilik pendhapa. Suara-suara itu dilatih untuk senantiasa selaras, mengalun tepat pada simpul irama, membaur dalam tiap gebyar dan jeda.

Menjadi sinden wayang adalah seni yang tak sekadar menyanyi—ia adalah laku hidup. Dan di zaman kini, beban seorang sinden tak lagi sesederhana masa silam. Selain ia dituntut menguasai tembang-tembang Jawa klasik nan rumit, yang liriknya seperti mantra dari langit, penuh bahasa kawi yang tak lagi lazim di telinga. Ia harus bersuara nyaring melengking, kadang seperti mencekik, kadang merayap lirih merintih—semuanya harus pas, tak boleh meleset walau setitik.

Tak hanya itu. Sinden masa kini juga dituntut tampil anggun, luwes menari, pandai bersolek dan menyusun kata. Lirih ucapnya mesti mengalun seperti puisi, sopan dan menggoda dalam takaran yang seimbang. Bahkan, di tengah arus zaman, ia juga harus mahir menyanyikan lagu-lagu campursari, hingga dangdut koplo yang menderu-deru.

Tak terkecuali Asmarawati. Ia digembleng dalam kawah candradimuka milik Sundari—sinden sepuh yang dikenal keras hati, teguh pada pakem, dan tak memberi celah pada kelonggaran. Setiap tembang harus tepat letak dan cengkoknya. Tak ada ruang untuk membantah, sebab sekali salah langkah, bisa runtuh seluruh tatanan rasa.

Bersama Sundari, belajar tidak hanya soal suara, tapi juga tentang keteguhan hati. Sebab sinden sejati bukan hanya tentang perempuan bersuara indah, tetapi juga tentang adab perilaku yang tak boleh di langgar. Sebagai penjaga warisan budaya yang mengalun di antara gending-gending gamelan.

"Kalian semua harus belajar dengan sungguh-sungguh!" suara Sundari terdengar tegas namun mengalun penuh wibawa, memecah suasana malam yang dihiasi denting gamelan.

"Ingatlah, menjadi sinden bukanlah perkara ringan. Tak cukup hanya bersuara merdu. Kalian harus bisa menyenandungkan cakepan-cakepan klasik dengan rasa, dengan jiwa. Tapi juga harus mampu membawa tubuh dengan anggun, lembah manah, dan menjaga laku, menata tutur kata yang santun."

Perempuan-perempuan muda itu mengangguk penuh hormat. Suara mereka hampir serempak,

"Nggih, Mbakyu!"

Sundari melanjutkan petuahnya, matanya menyapu wajah-wajah muda yang masih mencari bentuk. Termasuk wajah anaknya sendiri, Asmarawati, yang duduk bersimpuh di barisan depan.

"Kini zaman telah bergeser. Tuntutan semakin berat. Kalian tak hanya diminta nyuwara tembang pewayangan. Kadang kalian juga harus melagukan campursari, bahkan dangdut koplo. Tak jarang kalian harus menyatu dengan arus, tetapi kalian harus tetap menjaga akar budaya kalian. Itulah beban yang harus kalian tanggung. Tapi di situlah letak kehormatan kalian sebagai sinden."

Jawaban lirih namun mantap pun terdengar dari mereka semua,

"Siap, Mbakyu..."

"Dewa tirta, wantahe awungu nendra

Prataruna panggah alabuh negara."

Latihan malam itu terus berjalan dengan tertib dan khidmat. Tak ada suara yang mengganggu, kecuali sahutan lirih para jangkrik di luar pendhapa, seolah turut menyatu dalam irama malam. Gamelan mengalun lembut, kadang menghentak, kadang mendayu, membentuk irama yang seakan memanggil arwah masa lalu.

Ki Ratmoyo bersama beberapa senior lainnya memimpin jalannya latihan dengan penuh kesungguhan. Tiap isyarat tangannya seolah menjadi komando yang tak terbantahkan. Di bangku goyang sebelah pintu, duduk seorang kakek tua berambut perak yang mulai menipis—dialah Ki Sanusi, dalang sepuh yang kini telah lama menepi dari panggung pertunjukan. Tubuhnya renta, tapi sorot matanya masih menyala tajam, menyimpan lautan pengalaman.

Sambil mengisap rokok siong yang mengepul pelan di sela jemarinya, Ki Sanusi mengamati jalannya latihan dengan saksama. Sesekali ia bersuara, melontarkan wejangan atau arahan yang pendek namun padat makna—seperti petuah dari kitab yang tak tertulis. Para murid mendengarnya dengan khusyuk, tak seorang pun berani menyela.

Di sisi panggung, para wiyaga—para penabuh gamelan—masih penuh semangat dalam balutan peluh dan kesungguhan. Mereka duduk bersila dengan tubuh tegak, tangan-tangan mereka menari di atas bonang, saron, dan kenong dengan gerakan yang sudah terlatih.

Di barisan paling depan, Jupri memainkan kendangnya dengan cekatan. Jemarinya menari-nari lincah di kulit kendang, membentuk ritme yang menghidupkan tubuh para sinden dan penonton imajiner dalam benaknya. Sementara di sudut paling belakang, Pak Sumarto menabuh kempulnya dengan tenang. Pada akhir gendhing, ia menyentuh gong besar itu dengan lembut namun mantap, menghasilkan suara gandem yang membelah sunyi malam—sebuah penutup yang agung bagi tiap simfoni.

Latihan malam itu bukan sekadar persiapan pentas. Ia adalah laku. Adalah pemujaan dalam bentuk tabuhan dan tembang. Dan di dalamnya, setiap orang menemukan dirinya kembali.

Dalam dunia kesenian tradisional, para wiyaga—penabuh gamelan—seringkali menjadi tokoh paling sunyi sekaligus paling nelangsa. Mereka harus begadang semalam suntuk, menyatukan tenaga dan rasa demi menghidupkan sebuah pementasan. Tubuh mereka lelah, peluh membasahi, namun semangat tetap mereka jaga, karena bagi mereka, seni adalah laku hidup, bukan sekadar pengisi waktu.

Namun, nasib berkata lain. Upah yang diterima tak sebanding dengan tenaga yang tercurah. Apalagi bagi para buruh seni kampung yang tak punya nama besar, tak dikenal layar kaca, tak tersentuh sorotan panggung besar. Sekali pentas, bayaran yang mereka terima mungkin hanya cukup untuk menyambung hidup dua atau tiga hari. Kadang malah lebih sedikit dari itu.

Sinden pun senasib. Suaranya mengalun membawa jiwa pertunjukan, namun sering juga harus berdandan dari koceknya sendiri. Make-up, sanggul, kebaya, semuanya dibawa sendiri.

Hanya dalang yang sedikit lebih baik nasibnya. Sebagai tokoh sentral, ia bukan hanya pengatur jalannya cerita, tapi juga pengatur alur keuangan. Ia yang menentukan berapa bayaran yang pantas untuk tiap kru. Setiap posisi ada nilainya, setiap peran ada harganya. Tapi tetap saja, semua masih bergantung pada banyaknya tanggapan.

Kalau ramai tanggapan, mungkin bisa sedikit tersenyum. Tapi kalau sepi, ya sudah... sami mawon. Pekerjaan ini tak bisa dijadikan sandaran pasti. Ia tak menjanjikan kemapanan, tapi di dalamnya terpatri cinta—cinta pada budaya, cinta pada warisan, dan cinta pada suara gamelan yang tak pernah mati.

---

Bila kamu ingin versi untuk monolog tokoh, voice over dokumenter, atau esai sastra, aku bisa bantu sesuaikan juga.Berikut adalah versi puitik dan reflektif dari paragrafmu, dengan bahasa yang lebih dalam namun tetap mempertahankan makna aslinya:

Dalam dunia kesenian tradisional, para wiyaga—penabuh gamelan—seringkali menjadi tokoh paling sunyi sekaligus paling nelangsa. Mereka harus begadang semalam suntuk, menyatukan tenaga dan rasa demi menghidupkan sebuah pementasan. Tubuh mereka lelah, peluh membasahi sarung, namun semangat tetap mereka jaga, karena bagi mereka, seni adalah laku hidup, bukan sekadar pengisi waktu.

Namun, nasib berkata lain. Upah yang diterima tak sebanding dengan tenaga yang tercurah. Apalagi bagi para buruh seni kampung yang tak punya nama, tak dikenal layar kaca, tak tersentuh sorotan panggung besar. Sekali pentas, bayaran yang mereka terima mungkin hanya cukup untuk menyambung hidup dua atau tiga hari. Kadang malah lebih sedikit dari itu.

Sinden pun senasib. Suaranya mengalun membawa jiwa pertunjukan, namun sering harus berdandan dari koceknya sendiri. Make-up, sanggul, kebaya, semuanya dibawa sendiri—karena honor yang diterima nyaris tak cukup untuk menutup biaya penampilan.

Hanya dalang yang sedikit lebih baik nasibnya. Sebagai tokoh sentral, ia bukan hanya pengatur jalannya cerita, tapi juga pengatur alur keuangan. Ia yang menentukan berapa bayaran yang pantas untuk tiap kru. Setiap posisi ada nilainya, setiap peran ada harganya. Tapi tetap saja, semua masih bergantung pada banyaknya tanggapan.

Kalau ramai tanggapan, mungkin bisa sedikit tersenyum. Tapi kalau sepi, ya sudah... sami mawon. Pekerjaan ini tak bisa dijadikan sandaran pasti. Ia tak menjanjikan kemapanan, tapi di dalamnya terpatri cinta—cinta pada budaya, cinta pada warisan, dan cinta pada suara gamelan yang tak pernah mati.

Maka dari itu, para kru kesenian Ki Ratmoyo—yang jumlahnya dua puluh tiga orang—tak pernah menaruh harap berlebihan pada dunia seni yang mereka geluti. Jadi tukang menabuh kempul, memainkan bonang, atau jadi pembalung hanyalah jalan sampingan. Selebihnya, mereka sadar: hidup menuntut kepastian yang lebih kuat daripada sekadar suara gamelan yang berdenting di malam hari.

Seperti Ratmoyo sendiri—sang dalang sekaligus pemimpin rombongan—yang selain mengatur lakon dan jalannya cerita, juga nyambi bisnis bakulan alat gamelan dan wayang. Ia menjual wayang, kenong, gong, dan perangkat gamelan lainnya, yang ia ambil langsung dari para pengrajin. Lalu menjualnya kepada penggiat seni yang lain.

Sementara itu, para wiyaga kerap harus mengorbankan pekerjaan utama mereka demi bisa mengikuti pementasan semalam suntuk. Tak jarang mereka pulang dengan mata sembab dan tubuh ringkih karena semalaman tak tidur. Esoknya, banyak yang kerinan—bangun kesiangan—hingga terpaksa harus cuti atau absen dari pekerjaan tetap mereka. Entah itu sebagai petani, guru honorer, pegawai kantor, atau pedagang kecil di pasar desa.

Namun begitu, tak ada keluh yang benar-benar mereka ucapkan. Tidak juga ada penyesalan. Mereka menjalaninya dengan hati lapang, bahkan bangga.

“Mburuh seni itu bukan profesi,” kata Sujatmiko, salah satu pembalung andalan Ki Ratmoyo, sembari membersihkan debu dari wilahan saron.

“Ini adalah wujud perjuangan. Bukan untuk kemewahan, tapi demi sebuah budaya yang adiluhung dan edipeni. Hidup yang penuh rasa, bukan sekadar angka dan upah.”

*****

Sementara itu, di luar pendhapa yang diterangi temaram lampu jalan dan denting gamelan, melintaslah seorang pemuda di atas motor CB-nya—Wiji Santoso, anak konglomerat yang biasanya dikenal suka ngebut dan ugal-ugalan. Namun malam itu lain. Ia melaju pelan, seperti ada sesuatu yang menahan lajunya, menuntunnya secara tak sadar menuju rumah Ki Ratmoyo.

Ia menoleh, lalu memperlambat laju motornya lebih jauh. Dari seberang jalan, matanya menatap lekat ke arah pendhapa yang tampak ramai oleh suara dan gerak. Sejenak ia berhenti. Mesinnya masih menyala pelan, namun pikirannya seperti berhenti seutuhnya.

Tatapannya menyisir isi pendhapa, mencari-cari sesuatu—atau mungkin seseorang. Dan benar saja, matanya terhenti ketika menemukan Asmarawati. Gadis berkerudung pink itu duduk bersila di hadapan Sundari, bundanya, dengan tubuh tegak dan pandangan khusyuk menekuni lembaran-lembaran kertas berisi lirik cakepan klasik. Suaranya sesekali melengking ringan, terdengar dari luar. Bagi Wiji, itu cukup membuat dadanya berdesir.

Ia tersenyum pelan. Bukan senyum mengejek, tapi senyum yang datang dari ruang batin yang dalam—senyum seseorang yang tahu, bahwa apa yang ia lihat bukan sekadar latihan seni, tapi perjumpaan takdir yang lembut.

Tak ingin terlalu lama berdiri di bawah sorot lampu jalan, Wiji pun lekas memalingkan wajah. Ia menarik nafas panjang, mengembuskannya perlahan. Lalu pergi begitu saja, menyisakan suara mesin motor yang menghilang perlahan di ujung jalan, membawa pikirannya yang entah sedang menuju ke mana.

Malam perlahan melangkah menuju pergantiannya. Langit telah menggantungkan bintang-bintang yang cerah, tanda bahwa waktu istirahat telah tiba. Suara gamelan pun berangsur mereda, tinggal gema gong terakhir yang menggantung di antara tiang-tiang pendhapa.

Latihan malam itu akhirnya usai.

Ki Ratmoyo berdiri di tengah-tengah mereka, suaranya tenang namun penuh wibawa.

"Sudah hampir tengah malam. Latihan kita cukupkan sampai di sini. Dua hari lagi kita bertemu kembali di pementasan. Siapkan diri sebaik-baiknya."

Sundari pun menambahi, dengan suara yang lembut namun tegas, "Dan jangan lupa jaga kesehatan. Kita tidak hanya membawa suara, tapi juga jiwa dalam setiap pentas."

"Nggih..." jawab mereka serempak, hampir bersamaan, dengan nada lirih yang mencerminkan kelelahan sekaligus semangat yang belum padam.

Satu per satu mereka pun membubarkan diri. Ada yang menggulung kabel, merapikan alat, atau sekadar duduk sebentar menghapus peluh. Malam pun menutup tirainya dengan hening. Pendhapa kembali sunyi, menyisakan jejak langkah dan harapan yang tertinggal.

Ki Sanusi perlahan beranjak dari kursi malasnya. Tubuhnya yang renta tampak ringkih diterpa dingin malam, namun sorot matanya masih menyimpan bara semangat hidup yang tak kunjung padam.

"Monggo, Eyang. Sudah larut malam, waktunya njenengan istirahat," ucap Asmarawati dengan lembut, seraya menggandeng tangan kiri kakeknya yang dingin namun hangat oleh kasih.

Ki Sanusi tersenyum kecil, gurat-gurat wajah tuanya tampak teduh di bawah cahaya lampu pendhapa.

"Iya, sudah... Kamu juga lekas istirahat, Nduk. Jaga kesehatanmu. Dan tetap semangat menjalankan kesenian ini. Jangan sampai padam api semangatnya."

Asmarawati mengangguk pelan, menyimpan nasihat itu dalam-dalam di hatinya. Dengan tongkat kayu yang setia menemani, Ki Sanusi dituntun masuk ke dalam rumah. Langkah mereka lambat, namun penuh makna.

Pendhapa yang tadi riuh oleh tawa dan tabuhan kini sepi, seperti kembali ke asalnya—menjadi ruang sunyi yang menyimpan gema kenangan. Malam berubah menjadi sunyi yang syahdu. Hanya suara jangkrik yang masih setia bernyanyi dari balik perdu, bersahut-sahutan dengan lolongan anjing malam yang terdengar jauh, atau suara kucing yang bertengkar di sudut-sudut gelap.

Segalanya kembali tenang. Seolah malam sedang memeluk semua yang lelah, sembari menyimpan semangat untuk esok yang penuh cerita baru.

Di dalam kamarnya yang temaram, Asmarawati segera meraih ponselnya begitu tubuhnya bersandar di atas kasur. Jari-jarinya yang masih dingin oleh udara malam membuka aplikasi Instagram. Sebuah notifikasi pesan masuk menyambutnya.

> “Suaramu bagus. Aku tadi melihatmu.”

Pesan singkat itu muncul dari sebuah akun bernama Wiji Putra CB.

Alis Asmarawati langsung berkerut. Ia buru-buru membuka profil pengirimnya. Dan seketika jantungnya berdegup lebih cepat. Di foto profilnya, tampak seorang pemuda berambut agak gondrong, mengenakan jaket lusuh, duduk gagah di atas motor CB klasik warna oranye. Tidak salah lagi, itu adalah Wiji Santoso, anak lelaki dari Kaji Mispan yang rumahnya berada di ujung desa. Pemuda yang... akhir-akhir ini sering ia jumpai.

Dengan jari gemetar, ia membalas pesannya.

> “Melihatku di mana?”

Setelah ia menekan tombol follow, tak lama kemudian balasan datang.

> “Di rumahmu!”

> “Kok aku ndak lihat sampean?” tanyanya lagi, masih tak percaya.

> “Tadi aku lewat depan rumahmu. Nggak sengaja. Terus aku lihat kamu lagi latihan di depan ibumu. Kamu kelihatan khusyuk banget, nyanyi sambil memegangi lembaran kertas. Aku berhenti sebentar di seberang, di bawah pohon pisang kepok. Dari situ aku bisa dengar suaramu... merdu sekali.”

Pesan itu diakhiri dengan emoji senyum lebar, seakan ada binar geli dalam mata si pengirim.

Asmarawati menutup mulutnya dengan telapak tangan. Pipinya bersemu merah, padahal tak ada siapa-siapa di kamar itu selain dirinya sendiri. Ia mengetik balasan sambil menggigit bibir.

> “Aaaaaa... kok gitu sih? Aku jadi malu, to, Mas...”

> “Malu kenapa?”

> “Ya... malu aja.”

Hening sebentar, lalu muncul pesan baru.

> “Sudah tengah malam. Aku yakin kamu capek. Tidurlah. Besok kamu sekolah, kan? Maaf kalau aku ganggu.”

Asmarawati membalas cepat.

> “Oh, ndak, Mas... Sampean ndak ganggu kok. Iya, aku rehat dulu ya... njenengan juga istirahat. Sugeng dalu...”

Setelah itu, ia meletakkan ponsel di atas bantal, tepat di samping kepalanya. Tapi matanya sulit terpejam. Yang ada hanya lamunan tak bertepi. Matanya menatap langit-langit kamar, namun pikirannya melayang jauh—terjebak dalam bayang-bayang seseorang yang malam ini mengirim pesan di Instagram begitu tiba-tiba, seperti pesan yang jatuh dari langit.

Siapakah dia sebenarnya?

Mengapa hadirnya terasa begitu dekat, begitu nyata, padahal selama ini ia hanya sekadar sosok yang kerap ditemui di jalan?

Asmarawati menarik selimutnya, namun yang menggigil bukan hanya tubuh—melainkan hatinya yang mulai merasa terusik oleh rasa yang belum bisa ia beri nama.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!