KETOS ALAY yang sedang mengincar murid baru disekolahnya, namu sitaf pria itu sangat dingin dan cuek, namun apakah dengan kealayannya dia bisa mendapatkan cinta Pria itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayinos SIANIPAR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 9
KESEDIHAN DI RUMAH
Yah, seperti beberapa hari kemarin, rumah Hanifa dimasuki malaikat pencabut nyawa, dan mau berharap apa di rumah ini? Ketenangan? Yah, tidak mungkin dong.
"Nifa, lo kok belum masak sih?" ujar Silvi membentak. Rasanya Hanifa ingin sekali marah ke semuanya. Di sekolah Hanifa sebisa mungkin menghindari perempuan setan ini, tapi di rumah tidak bisa.
"Lo sengaja mau buat kami mati kelaparan?" sahut Mama Silvi, anak sama mama sama saja.
"Lo kok jahat banget sih sama kami?" ucap Mirna tepat di depan muka Nifa. "Ini buat lo yang sudah berniat jahat." "Plak!" Tamparan lagi-lagi mendarat di pipi kirinya. Badan Hanifa mulai bergetar.
"Dan ini buat lo yang sudah malas-malasan." Silvi menyiram air ke badan Hanifa. Siraman air kulkas yang membuat badan Nifa kedinginan.
"Sekarang lo masak, tanpa ganti baju!" perintah Mirna tanpa ada rasa kasihan sedikit pun. Bahkan setan sekalipun takluk melihat sifat orang ini.
"Dan setelah itu lo antarkan barang ini ke alamat rumah ini," sebuah kotak ping dan alamat rumah yang tertera di kertas itu. Hanifa menarik secarik kertas itu dan melihat alamat itu.
"Baaaiikk," ujar Hanifa dengan patuh. Sayang sekali anak ini tidak bisa mengadu ke papanya.
"Ya sudah sana," Silvi pun mendorongnya dengan kuat hingga badannya tergelincir. Hanifa hanya bisa menangis tanpa suara dan memasak dengan keikhlasan. Hidupnya makin hancur saat Silvi hadir di kehidupannya, entah apa yang terjadi pada gadis itu hingga sangat membenci Nifa.
"Nifa sayang, kamu lagi ngapain?" Tiba-tiba Tante Mirna berbuat baik kepada Hanifa. Apa-apaan ini? Kenapa tiba-tiba manusia setengah iblis ini memanggil sayang? Akting?
"Kak Nifa kalau mandi, mandi saja jangan sambil masak dong, Kak, biar Silvi saja yang masakin, Kakak mandi saja," ucap Silvi dengan mata yang sangat tajam namun sok berkata-kata manis, hingga membuat Nifa nurut padanya. Tatapan tajam setajam pisau.
"Pantesan mereka pura-pura baik, ternyata Papa pulang, munafik, sangat munafik, aku benci mereka berdua, sangat benci," gerutu Nifa dengan kesal dalam hatinya. Gadis itu pun mandi dan langsung segera mengganti bajunya yang dingin itu.
"Ayo makan, sayang," ucap Mirna dengan sangat lembut. Hanifa hanya menatapnya sinis. Rasanya Hanifa ingin membalaskan semua perbuatannya.
"Pah, Pah, berapa hari di rumah?" tanya Hanifa mengabaikan Mirna dan mengajak papanya berbicara.
"Mungkin satu minggu, sayang," jawab Papa Hanifa. Hanifa merasa sedih karena papanya hanya sebentar di rumah.
"Nifa boleh ikut Papa kerja enggak?" tanya Hanifa berharap walaupun dia tahu jawabannya tentu tidak. Namun setidaknya papa akan sadar kalau anaknya merasa tidak nyaman di rumah ini.
"Loh, memangnya Nifa tidak sekolah?" tanya Papa Hanifa ke gadis kecilnya. Tatapan kedua Silvi dan Mirna itu semakin tajam ke Hanifa, namun Papa Hanifa terlalu fokus pada wajah gadis kecilnya itu sehingga tidak memperhatikan kedua Silvi dan Mirna yang ada di situ. Hahaha.
"Iya Nifa, memangnya lo mau lihat gue memegang piala sekolah kita?" ujar Silvi pada Hanifa. Yah, Hanifa dan Silvi selalu saingan ranking, Namun Hanifa tahu kemampuan Silvi itu tidak seberapa, bahkan buktinya dia selalu memegang juara umum. Silvi hanya menggunakan kekuatan wajah dan tebar-tebar pesona.
"Tapi Nifa mau sama Papa terus," ucap Nifa dengan nada yang manja, menghiraukan adik tirinya itu berbicara. Dasar sok asyik lo, Silvi.
"Hmm, putri Papa, sudah dewasa sifatnya masih begitu-begitu saja," ucap Noval yang gemas melihat tingkah anaknya seperti anak bayi.
"Ya sudah kita makan saja yuk, biar kenyang," ajak Noval mengubah pembicaraan mereka. Dia sangat bingung kenapa anaknya ini tiba-tiba seperti ini.
"Habis ini kita jalan-jalan ke mal yuk, Pah," ajak Silvi pada Noval selaku papa tirinya.
"Boleh juga, kamu ikut ya," ujar Noval menyetujui ide anak tirinya itu. Noval juga tidak lupa mengajak Hanifa untuk ikut.
"Enggak, Pah, Hanif mau ke rumah teman," tolak Hanifa pada papanya. Padahal Hanifa pengin sekali menghabiskan waktu berdua dengan papanya, namun dia enggan melakukannya karena ada Mirna dan Silvi.
"Ya sudah kalau begitu kamu mau nitip apa?" tanya Papa Hanifa itu lembut ke anak perempuannya itu.
"Enggak ada, Pah, semuanya sudah dimiliki Nifa kok, Pah," ucap Nifa menjawab papanya. Nifa bukanlah tipe yang royal akan kekayaannya. Bahkan dia rela menabung uang jajannya untuk keperluan lainnya padahal dia bisa saja minta ke papanya. Tapi dia tidak pernah melakukan hal itu.
"Nifa ke kamar dulu mau siap-siap ya, Pah," Hanifa pun mengganti bajunya dan pergi, rasanya dia muak dengan semuanya itu. Dia pun berjalan bingung entah mau ke mana. Karena dia sudah terlanjur bohong ke papanya untuk pergi ke rumah temannya.
"Tante Deva?" ujar Nifa saat melihat seorang wanita paruh baya sedang kesakitan di jalan. "Tante kenapa?" ujarnya khawatir.
"Kamu bisa antarkan Tante ke rumah Tante enggak?" tanya wanita paruh baya itu yang sedang terduduk dan memegang dadanya yang sakit. Hanifa dengan cepat membantu wanita paruh baya itu untuk bangkit berdiri.
"Bisa kok, Tan," Nifa pun membawa Tante Deva ke rumahnya, di mana Deva adalah mamanya Desti, teman sekelasnya Nifa. Setelah beberapa lama, akhirnya mereka sampai di rumah Desti.
"Mama, kenapa, Ma?" tanya Desti yang bingung melihat keadaan mamanya. Desti langsung memeriksa keadaan mamanya dan menyuruh pembantu untuk membawakan minuman.
"Mama sakit kepala, Nak, sama ngerasa sesak di dada Mama," ujar wanita paruh baya itu kepada anaknya.
"Ya sudah di kompres saja, Tante, soalnya Tante demam banget nih," ucap Nifa yang juga ikut panik.
"Gue ambil kompresan dulu ya," ujar pembantu Desti yang sembari memberi minuman.
"Ya sudah, cepatlah sana," perintah Desti ke pembantunya.
"Des, ada tamu kayaknya, mendingan lo ke depan sana," ujar Nifa kepada Desti, dan Nifa mulai mengompres Tante Deva dengan sangat lembut. Deva sangat suka melihat ketulusan Hanifa. Sedangkan tamu yang datang adalah Farel.
"Eh, Farel, lo ngapain ke sini?" tanya Hanifa bingung kepada Farel.
"Tante kenapa?" Bukan menjawab pertanyaan Nifa, malah menanyakan pertanyaan kembali pada Hanifa. Tante Deva pun hanya menjawab bahwa dia hanya lagi tidak enak badan saja.
"Farel, ini buku-bukunya, sumpah keren-keren banget tahu, gue suka semuanya, lo baik banget deh sudah mau meminjamkan buku ceritanya," ujar Desti memberi pujian ke pria sombong itu.
"Buat lo apa sih yang enggak," ujar Farel bercanda. Sepertinya Hanifa belum pernah melihat Farel seramah ini ke perempuan. Sumpah demi apa, seorang Farel yang super cuek dan dingin saat menghadapi Nifa dan orang lain tapi kenapa sama Desti dia baik banget? Muka Nifa yang mulai cemberut dan kesal.
"Loh, jahat banget sih, Rel, sama gue, apa sih salah gue, sampai enggak bisa miliki pasangan yang spesial sedikit pun," batin Nifa lirih. Menurut gue, Farel enggak salah, Nif, lo saja yang bego. Hahaha.
"Gue pulang dulu ya, Des, takut dicari sama bokap?" ujar Farel lembut dan berpamitan. Setelah pergi jauh, Hanifa juga berpamitan dan menyuruh Desti untuk melakukan kompres berulang-ulang.
"Makasih sudah menolong Mama gue ya," ucap Desti dan Hanifa pun berpamitan pulang.