ELINA seorang guru TK yang tengah terlilit hutang warisan dari kedua orangtuanya terus terlibat oleh orang tua dari murid didiknya ADRIAN LEONHART, pertolongan demi pertolongan terus ia dapatkan dari lelaki itu, hingga akhirnya ia tidak bisa menolak saat Adrian ingin menikah kontrak dengannya.
Akankah pernikahan tanpa cinta itu bisa berakhir bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6: Lampu Redup dan Dinding Rahasia
Adrian berdiri di depan jendela besar di kamarnya, membiarkan cahaya bulan menyelinap masuk melalui tirai tipis yang belum ia tutup. Kemeja putihnya sudah lepas, kini hanya mengenakan kaus dalam hitam dan celana panjang bahan, namun tubuhnya tetap terasa tegang.
Segelas wine yang tadi ia tuang tak disentuh, dibiarkan mendingin di atas meja.
Pikirannya tidak bisa berhenti memutar kembali kejadian tadi... tatapan mata Elina yang keras kepala dan kalimat terakhirnya sebelum masuk ke dalam rumah itu:
"Aku akan mengganti semua uang yang anda keluarkan hari ini, meskipun butuh waktu seumur hidup!"
Sebuah tawa kecil, pahit, keluar dari bibirnya. Wanita itu... benar-benar keras kepala. Bahkan ketika ia sudah membayar semua utangnya, Elina masih merasa perlu mempertahankan harga dirinya. Bukan marah, bukan menangis atau bersyukur berlebihan, hanya... diam dan tegar.
Itu yang membuatnya resah.
Ia duduk di sofa kulit dekat perapian, menyandarkan tubuh ke belakang dan menatap langit-langit. Bayangan wajah Elina masih menempel di pelupuk matanya. Gadis itu bukan tipe wanita yang biasanya menarik perhatiannya. Terlalu sederhana, terlalu biasa... dan justru itu yang membuatnya tidak bisa mengalihkan pandangan.
Dia bukan Karien. Elina tidak akan meninggalkan anaknya demi sorotan kamera atau gelar supermodel internasional. Dia tidak seperti wanita-wanita lain yang mengejarnya untuk kekayaan atau nama belakangnya. Dia... bahkan menolak uang darinya.
Adrian mengusap wajahnya. Ini tidak boleh dibiarkan terlalu jauh. Dia tahu dirinya. Dan dia tahu luka di masa lalunya belum benar-benar sembuh. Dia tidak punya ruang untuk perempuan lain dalam hidupnya. Tidak lagi.
Tapi mengapa wajah itu terus menghantuinya?
Dia menatap pintu kamar putrinya. Claire pasti sudah tertidur, memeluk boneka kelinci kesayangannya. Anak itu menyukai Elina. Terlalu menyukai.
"Ini hanya sementara," gumam Adrian, entah untuk dirinya sendiri atau untuk keyakinan yang mulai goyah.
Namun, jauh di lubuk hatinya, dia tahu: Elina bukan hanya wanita yang ingin dia bantu. Tanpa ia sadari, Elina telah menjadi seseorang yang ingin ia lindungi... meski belum tahu bagaimana caranya.
...****************...
Langit senja menggantung muram di atas kepala Elina saat ia melangkah keluar dari sekolah, tasnya berat berisi lembaran tugas murid dan setumpuk kekhawatiran. Utang-utang itu masih menghantui, dan sekalipun Adrian telah membantu sekali, Elina bertekad untuk tak lagi bergantung pada orang lain.
Ia mulai mencari pekerjaan tambahan. Tapi menjadi guru TK di siang hari membuatnya tak punya banyak pilihan selain malam. Restoran? Penuh. Kedai kopi? Gajinya tak seberapa. Dan malam itu, ketika ia berjalan sendirian melewati trotoar yang berkilau oleh hujan, suara seseorang memanggil dari arah belakang.
"Elina? Ini kamu, kan?"
Elina menoleh. Seorang wanita dengan lipstik merah mencolok dan mantel kulit menyapanya dengan senyum ramah.
"Renata?"
Teman lama dari masa kuliahnya. Dulu mereka sempat dekat sebelum hidup menuntun mereka ke jalan berbeda. Renata kini bekerja di sebuah klub malam di pusat kota... bukan sebagai penghibur, tapi sebagai manajer bagian reservasi dan pelayanan VIP.
Mereka berbincang cukup lama di kedai kecil, dan Renata mendengarkan cerita Elina dengan mata berkaca-kaca.
"Kamu masih sekuat dulu... Tapi dunia memang kejam sama orang baik," ucap Renata lirih, kemudian menatapnya penuh pertimbangan. "Kalau kamu mau, aku bisa tawarkan kerja paruh waktu. Di klubku. Bukan jadi pramusaji, tenang... hanya sebagai resepsionis. Di meja depan. Menyambut tamu VIP, mencatat pemesanan, sesekali menuangkan minuman. Tidak kotor."
Elina terdiam. Klub malam? Dunia yang tak pernah ia sentuh, bahkan hindari. Tapi suara hatinya mengingatkan: ini untuk membayar utangnya, untuk hidup yang lebih baik.
"Aku tahu kamu pasti ragu. Tapi kamu butuh uang, bukan?"
Elina menggigit bibir. Tangannya mengepal di pangkuan.
"Aku... pikirkan dulu ya. Tapi terima kasih, Renata."
Renata mengangguk dan menyelipkan kartu namanya.
"Kalau kamu berubah pikiran, pintu selalu terbuka."
Malam itu, Elina pulang ke rumah kecilnya dengan kepala dipenuhi pilihan: harga diri atau kenyataan hidup? Dalam keheningan kamarnya, ia menatap langit-langit, memeluk dompet yang semakin tipis, dan berkata pada dirinya sendiri:
"Selama aku tidak melanggar diriku sendiri... mungkin ini hanya jalan sementara."
...****************...
Malam itu, udara dingin menusuk, tapi tangan Elina tetap berkeringat saat ia berdiri di depan sebuah gedung berlampu temaram bertuliskan "Velvet Room" dengan huruf emas yang mencolok. Pintu kaca berlapis ornamen besi itu terasa asing, dan untuk sejenak, Elina hampir mundur.
Namun bayangan utang pada Adrian dan tagihan-tagihan yang menumpuk menguatkannya.
Renata menyambutnya di dalam dengan senyum lebar. "Kamu datang juga. Aku tahu kamu gadis pemberani."
Klub itu tak sebrutal yang dibayangkan Elina. Tak ada musik menggelegar seperti di film, hanya alunan jazz lembut dan kilau lampu gantung kristal yang memantulkan cahaya seperti bintang. Para tamu duduk santai, berdiskusi, menyesap anggur, dan menyembunyikan kehidupan nyatanya di balik jas mahal.
Elina mengenakan kemeja hitam lengan panjang dan rok pensil gelap... seragam staf depan yang sopan namun tetap anggun. Rambutnya dikuncir rapi, riasan minimalis hanya untuk menyamarkan kelelahan.
"Tugasmu di sini cuma menyambut tamu, mencatat reservasi, dan kadang membantu mengantar pesanan ke ruang VIP. Tidak lebih," jelas Renata. "Dan kalau ada tamu yang mulai lancang... kau cukup tekan bel ini. Kami punya petugas keamanan."
Elina mengangguk pelan, menenangkan degup jantungnya.
Jam pertama berlalu dengan tegang, tapi tanpa insiden. Beberapa tamu memandanginya penasaran, namun ia tetap tenang dan profesional. Seorang pria tua yang duduk di sudut bahkan memberinya tip karena sopan santunnya.
Saat tengah malam mendekat, Elina mengantar sebotol wine ke ruang VIP di lantai atas. Ia mengetuk, dan dari dalam terdengar suara.
"Masuk."
Pintu terbuka perlahan, dan ia menunduk sedikit saat masuk. Namun langkahnya terhenti, tatapannya bertemu dengan seseorang yang tidak pernah ia bayangkan akan melihatnya di tempat seperti ini.
Adrian Leonhart.
Duduk di sofa kulit hitam, mengenakan kemeja abu gelap, dengan gelas anggur di tangannya, dan tatapan tajam yang langsung menelisik jantung Elina.
Elina membeku.
Adrian perlahan menegakkan tubuhnya, meletakkan gelas itu di atas meja.
"Elina?"
...****************...
Udara di dalam ruang VIP seketika berubah. Lampu redup tak mampu menyamarkan keterkejutan yang memancar dari wajah Elina. Tangan mungilnya masih menggenggam botol wine, nyaris gemetar. Rasanya ia ingin segera berbalik dan melarikan diri... tapi tubuhnya membeku.
Adrian bangkit dari duduknya. Tatapannya tajam, penuh tanya, bercampur sesuatu yang belum bisa didefinisikan. "Apa yang kamu lakukan di sini?"
Elina menelan ludah, suaranya tercekat. "Aku... aku bekerja. Hanya untuk sementara waktu."
"Hanya untuk sementara?!" Nada suara Adrian turun satu oktaf. Ia melangkah maju, menghampirinya, membuat Elina tanpa sadar mundur selangkah. "Tempat seperti ini... bukan tempatmu."
Elina menggenggam erat botol di tangannya, berusaha menjaga nada bicara tetap tenang. "Aku butuh uang. Aku punya alasan, dan... aku tidak melakukan apa pun yang melanggar." Ia mengangkat dagunya, mencoba terlihat teguh.
Adrian mengerucutkan bibirnya, matanya menelusuri raut lelah Elina. "Berapa banyak yang kamu butuhkan sampai harus datang ke tempat seperti ini, Elina?"
"Cukup banyak untuk bisa hidup. Untuk membayar utang yang menggunung, makan, dan tidak mati kelaparan," jawabnya lirih, nyaris terdengar putus asa. "Tapi aku baik-baik saja. Aku tidak melacurkan diri. Aku hanya staf di meja depan."
Adrian mendekat lagi, menghela nafas berat, "Kamu tidak perlu membayar utang itu kembali... Dan kalau kamu butuh uang, kamu bisa datang padaku!"
"Aku tidak ingin terus bergantung padamu," bisik Elina. "Dan aku sudah bilang akan membayar semua yang kamu keluarkan. Aku hanya... butuh sedikit waktu dan usaha."
Mereka terdiam sejenak. Ketegangan menggantung di antara mereka seperti tirai tipis yang tak mudah disibak. Di luar ruangan, denting gelas dan tawa tamu terdengar samar, tapi di sini, hanya ada dua jiwa yang tersesat dalam batas tipis antara harga diri dan perlindungan.
"Aku akan bicara dengan manajermu. Malam ini jadi malam pertamamu, dan malam terakhirmu di tempat ini," kata Adrian akhirnya, tegas.
Elina menggeleng keras. "Jangan. Jangan permalukan aku. Aku memilih ini, Adrian."
"Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik."
Ia menatap pria itu... mata itu masih menyimpan luka. Tapi di balik dinginnya, ada sesuatu yang menghangat. Sesuatu yang entah sejak kapan mulai menggoyahkan hatinya.
Elina menarik napas panjang. "Kamu tidak bisa selalu menjadi penyelamatku."
Adrian mendekat, hingga jarak di antara mereka cukup untuk membiarkan napasnya bersentuhan dengan kulit Elina. "Tapi kenapa aku ingin selalu menyelamatkanmu?"
Elina menunduk. Ia tak punya jawaban.
Seketika, pintu diketuk dari luar. Suara manajer memanggil, menyadarkan mereka dari percakapan yang terlalu pribadi untuk sebuah ruang bernama bisnis malam.
Adrian menatap Elina satu kali lagi, lalu berbalik, kembali ke sofanya. "Kita belum selesai, Elina."
Dengan tubuh gemetar, Elina membungkuk, meletakkan botol wine di meja, lalu melangkah keluar dari ruangan itu... membawa pertanyaan yang tak bisa ia jawab bahkan untuk dirinya sendiri.