Althea hanya ingin melupakan masa lalu.
Tapi takdir membawanya pada seorang Marco Dirgantara ,CEO Dirgantara Corp sekaligus mafia yang disegani di Eropa.
Kisah cinta mereka tidak biasa. Penuh luka ,rahasia dan bahaya.
Bab 25 - Pilihan Marco
Udara di dalam kamar hotel itu terasa tebal. Sunyi, tapi penuh percikan yang siap meledak kapan saja. Althea masih terbaring di ranjang king size dengan rambut acak dan napas belum sepenuhnya stabil, selimut putih mewah menutupi tubuhnya. Cahaya matahari sore dari jendela besar hanya menambah kontras seolah mengintip sisi kelam yang baru saja mereka lewati.
Marco berdiri di dekat jendela, punggungnya tegak, rokok menyala di tangan. Mata elangnya menatap keluar kota Amsterdam yang sibuk, tapi rahangnya mengeras. Dia tidak bicara, tapi aura di tubuhnya jelas dia sedang berpikir keras, dan itu jarang berakhir baik.
Percakapan nya dengan Reno tadi cukup membuat ny cemas dan kepikiran.
Althea yang sempat mendengar obrolan mereka hanya bisa menelan ludah. Menahan air mata yang memdesak keluar. Althea mencoba untuk duduk, tapi tubuhnya masih terasa lemas. bagian inti kewanitaan nya terasa sakit dan perih. “Kamu Benar-benar Monster Marco!” suaranya pelan, tapi cukup untuk memecah keheningan.
Marco menoleh setengah, tatapan dinginnya mengiris. “Kamu pikir aku harus berbelas kasih penuh kelembutan setelah apa yang kamu lakukan dengan Jay?”
Nada suaranya tajam, dan Althea tersentak. Dia mencoba menjelaskan, “Itu nggak seperti yang kamu pikir....”
“Cukup.” Marco mematikan rokok di asbak kristal. Langkahnya pelan tapi mantap menuju ranjang, lalu dia berdiri tepat di depan Althea. Tangannya terulur, meraih dagu wanita itu, memaksanya menatap. “Jangan uji kesabaranku, Althea.”
Ada sesuatu di matanya ,bukan sekadar marah, tapi juga tekanan yang datang dari luar. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar rasa cemburu.
"Aku bukan Wanita yang bisa kau perlakukan seenaknya Tuan Marco! meski kau suamiku ,namun caramu seperti memperkosa seorang JALANG! teriak Althea.
Marco tersentak dengan kata-kata Althea ,namun ia hanya diam.
"Dan jika kau berpikir aku melakukan hubungan yang tidak-tidak dengan Jay ,Baiklah! maka aku AKAN MELAKUKAN SEPERTI YANG KAU TUDUHKAN!geram Althea.
Mendengar kalimat terakhir Althea ,mata Marco melebar. Ia semakin merema dagu itu ,hingga Althea meringis menahan sakit.
Tok...tok....tok....tok
.
Ketukan di pintu memecahkan momen menegangkan itu. Marco tidak melepas tatapannya, tapi berkata datar,
“Siapa..”
Saya Tuan. Reno...
Marco melepas kasar dagu Althea dan berjalan keluar menuju ruang tamu dari kamar tersebut ,dan membuka pintu untuk Reno.
Reno melangkah masuk, ekspresinya tegang.
“Kita punya masalah.”
Marco mendengus. “Kapan kita nggak punya masalah?”
Reno menghela napas, menatap sekilas ke arah pintu kamar, lalu kembali pada Marco. “Tuan muda Leon ada di pusat kota. Ia Bersama Luke dan Patricia.”
Tubuh Marco menegang seketika. Mendengar nama itu lagi bagaikan memanggil setan di masa lalu. Althea mencoba mengintip ,dan ia merasakan perubahan aura di ruangan itu, seolah oksigen tiba-tiba lenyap.
“Mereka ingin bertemu anda, tuan Marco,” lanjut Reno. “Dan Momy Tere ... dia ada bersama mereka.”
Althea menatap Marco, mencoba membaca ekspresinya. Tapi pria itu hanya berdiri kaku, tangan mengepal. “Keluar,” katanya datar pada Reno.
Begitu pintu tertutup, Marco menatap pintu kamar. Althea beringsut perlahan ke tepi ranjang. Dan benar saja ,Marco melihat Althea lagi namun kali ini ada badai di matanya. “Kita pulang.”
“Aku masih ingin disini ,kau saja Pulang!” Althea memberontak. Dan ia juga mencoba menahan untuk tidak bertanya tentang apa yang ia dengar tadi. Marco hanya diam mendengar jawaban istrinya. Namun sedetik kemudian, Marco menarik Althea untuk berdiri, dan membungkus tubuh polosnya dengan mantel tebal.
Marco ! Aaawwwwssss sakit. Althea kembali merintih ketika Marco menariknya berdiri. Althea mengumpat suaminya kali ini ,karena sudah menyiksanya.
Tiba-tiba.... syutttt..... Marco menggendong tubuh Althea ala bridal style. Membuat Althea terpekik kaget sekaligus spontan mengalungkan tangan nya keleher Marco.
Di perjalanan, suasana di mobil terasa tegang. Marco menyetir dengan kecepatan tinggi, rahangnya terkunci. Althea hanya bisa diam, memeluk dirinya sendiri.
Mereka tiba di Mansion ,disambut para maid dan para bodyguard. Marco terus berjalan masuk dengan kembali menggendong tubuh Althea ke dalam kamar mereka. Dan begitu masuk, Marco menjatuhkan Althea diatas ranjang mereka, melepas mantel ditubuhnya sendiri ,kemudian berjalan ke minibar, menuangkan whiskey.
“Cukup Althea,” katanya, masih membelakangi. “Aku nggak punya waktu untuk drama kecil di antara kita sekarang.”
“Aku nggak ngerti Marco ,maksud kamu apa?” suara Althea pecah.
Marco berbalik, melangkah cepat, dan dalam hitungan detik tubuhnya sudah membungkus Althea, mendorongnya ke arah sandaran ranjang.“Kamu nggak perlu ngerti. Yang perlu kamu tahu dan kamu ingat ,mulai sekarang kamu nggak akan ke mana-mana tanpa aku ,Mengerti?!”
Althea menatapnya, matanya berkaca. “Kalau kamu mau aku diam di sini, lalu kenapa kamu terus menyeretku dalam semua ini?”
Marco tidak menjawab ,ia meraih bibir Althea ,mencium dengan keras, penuh tuntutan. Ciuman itu lebih seperti klaim, campuran rasa marah, takut, dan keinginan. Tangan Marco bergerak cepat, seolah ingin memastikan dia benar-benar miliknya, di tengah semua tekanan yang datang.
Ketika mereka terpisah, napas Marco berat. “Besok aku akan ketemu mereka. Kalau semuanya berjalan buruk...” dia tidak melanjutkan.
Althea menggenggam tangannya. “Kamu nggak sendiri.”
Marco memejamkan mata, seolah kalimat itu menyakitinya lebih dari yang diharapkan.
Entah siapa yang memulai ,namun malam itu, mereka terjerat dengan suasana panas, intens, dan sedikit gila. Bukan hanya tentang gairah, tapi juga rasa takut kehilangan.
---
Keesokan harinya, ruang pertemuan di lantai atas hotel milik Marco terasa seperti medan perang tanpa senjata. Leon duduk di ujung meja, senyum tipis di bibirnya. Luke duduk di sisi kanan, sementara Patricia dengan gaun merah menyala duduk di sisi kiri.
Momy Tere duduk anggun di samping Patricia, tatapannya ke arah Marco penuh tekanan.
“Marco Dirgantara.” Leon membuka percakapan, suaranya dalam. “Kita semua tahu apa yang dipertaruhkan di sini. Dan satu-satunya cara menyelesaikan ini adalah kamu melanjutkan pertunangan dengan Patricia.”
Althea tidak ikut karena Marco bilang ,ini hanya pertemuan keluarga. Althea pun lebih memilih ke kantor dan bekerja seperti biasanya.
Marco menatap Leon tajam. “Kamu pikir aku akan tunduk begitu saja?”
Momy Tere angkat bicara. “Ini bukan tentang masalah tunduk, Marco. Ini tentang menjaga apa yang telah dibangun keluargamu. Dan aku tidak akan membiarkan seorang perempuan....” tatapannya beralih cepat dengan sinis, “yang tidak jelas itu menghancurkannya.”
Luke menambahkan, suaranya datar tapi mengancam, “Kamu tahu konsekuensinya Kak ,kalau kamu memutuskan pertunangan ini.”
"Althea." Tanpa Suara Luke mengucapkan nama itu ,yang hanya dilihat oleh Marco.
Marco mengetatkan rahangnya. Dan ruangan itu menegang. Semua mata tertuju pada Marco. Dia terdiam lama, lalu berkata pelan, tapi tegas, “Baik. Aku setuju.”
Patricia seketika membeku di tempat. Kata-kata terdengar indah namun sekaligus menyakitkan. Dia berdiri, melangkah mendekati Marco yang sama sekali tidak bergerak dan menyambutnya ,meski setiap serat tubuhnya mengejarnya.
Leon tersenyum tipis, seperti sudah memenangkan permainan.