NovelToon NovelToon
Melting The Pilots Heart

Melting The Pilots Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Pernikahan Kilat / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Kaya Raya / Romansa
Popularitas:5.5k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

“Bagaimana jika cinta bukan dimulai dari perasaan, melainkan dari janji terakhir seorang yang sekarat?”

Risa tidak pernah membayangkan dirinya akan menikah dengan kekasih sahabatnya sendiri—terlebih, di kamar rumah sakit, dalam suasana perpisahan yang sunyi dan menyakitkan. Tapi demi Kirana, satu-satunya sosok yang ia anggap kakak sekaligus rumah, Risa menerima takdir yang tak pernah ia rencanakan.

Aditya, pilot yang selalu teguh dan rasional, juga tak bisa menolak permintaan terakhir perempuan yang pernah ia cintai. Maka pernikahan itu terjadi, dibungkus air mata dan janji yang menggantung di antara duka dan masa depan yang tak pasti.

Kini, setelah Kirana pergi, Risa dan Aditya tinggal dalam satu atap. Namun, bukan cinta yang menghangatkan mereka—melainkan luka dan keraguan. Risa berusaha membuka hati, sementara Aditya justru membeku di balik bayang-bayang masa lalunya.

Mampukah dua hati yang dipaksa bersatu karena janji, menemukan makna cinta yang sebenarnya? Atau justr

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6

Pagi itu, matahari baru setengah mengintip dari balik tirai saat Mama mengetuk pintu kamar Aditya.

Risa yang sudah terbangun lebih dulu segera membuka pintu dengan senyum lembut.

“Ris, ikut Mama yuk ke pasar. Mau belanja buat masak siang ini,” ajak Mama dengan semangat.

“Oh, iya Ma. Boleh.”

Risa mengenakan jaket tipis dan menggulung rambutnya seadanya.

Ia menyusul Mama ke garasi, lalu mereka berdua berangkat naik mobil kecil yang biasa dipakai untuk keperluan harian.

Di dalam perjalanan, Mama banyak bercerita. Tentang pasar yang dulu sering ia datangi bersama mendiang nenek Aditya, tentang bahan makanan favorit Aditya waktu kecil, dan… tentang harapannya sebagai seorang ibu.

“Risa,” ujar Mama tiba-tiba sambil menoleh sedikit,

“Mama tuh senang banget lihat kalian. Tapi Mama pengen cepat-cepat timang cucu, loh.”

Risa tercekat. Senyum di bibirnya nyaris menghilang, tapi ia segera memaksakan senyum tipis.

“Hehe… semoga saja, Ma.”

“Iya dong. Aditya itu kalau sudah jadi ayah, Mama yakin dia bakal berubah. Dia cuma butuh alasan buat lebih sering di rumah.”

Ucapan Mama membuat dada Risa terasa sesak. Ia hanya bisa mengangguk pelan. Matanya menatap ke luar jendela, melihat deretan toko yang mereka lewati namun pikirannya jauh, melayang ke kenangan, ke janji, dan ke cinta yang tidak pernah tumbuh.

Di pasar, Mama sibuk memilih sayur dan daging, sementara Risa membantu membawakan kantong belanjaan.

Tapi senyum di wajahnya tetap tak mampu menyembunyikan perasaan yang terus menghantui hatinya.

Setelah selesai berkeliling pasar, Risa masih terdiam. Wajahnya tenang, tapi di dalam hatinya, ada gelombang yang tak bisa dia redam.

Pikiran itu terus menghantui tentang Aditya, tentang pernikahan mereka yang hanya sekadar formalitas.

Tentang bagaimana, sampai hari ini, Aditya belum menunjukkan peran sebagai seorang suami bukan hanya secara lahir, tapi juga batin.

Mama yang memperhatikan perubahan wajah Risa, tiba-tiba menggandeng tangan menantunya itu.

“Ayo, kita mampir sebentar ke toko pakaian. Mama lihat kamu belum punya daster yang nyaman di rumah ini, kan?”

Risa tersenyum kecil, menahan rasa haru di hatinya.

“Ah, nggak usah repot-repot, Ma…”

“Ini bukan soal repot, Sayang. Kamu sekarang bagian dari keluarga Mama. Sekali-kali dimanjakan nggak apa-apa,” ujar Mama sambil menarik Risa ke dalam toko batik kecil di pojok pasar.

Mama memilihkan daster batik berwarna biru laut dengan motif bunga. Lembut dan adem, cocok dipakai di rumah.

Setelah itu, mereka mampir ke pedagang es buah. Mama tahu, itu favorit Risa—dulu Kirana sering membelikannya saat mereka sedang lelah setelah belanja.

“Untuk menantu Mama yang manis,” kata Mama sambil menyerahkan semangkuk es buah segar.

Risa menatap es itu dengan mata berkaca-kaca. Ia menahan air mata sambil tersenyum, menerima dengan dua tangan.

“Makasih, Ma…”

Dan saat itu, untuk sesaat, Risa merasa dicintai. Meskipun bukan dari suaminya… tapi dari seorang ibu yang tulus.

Sesampainya di rumah, Risa segera berganti pakaian dan mengenakan daster batik baru pemberian Mama.

Bahannya lembut, warnanya cerah, dan entah mengapa… membuatnya merasa sedikit lebih hangat di tengah dinginnya hati yang belum tersentuh cinta.

Di dapur, ia langsung membantu Mama memotong sayur dan menyiapkan bumbu.

Wajahnya tampak lebih segar, dan untuk pertama kalinya sejak pernikahan itu, tawa kecil keluar dari bibirnya.

Mama memandang Risa sambil tersenyum puas.

“Cantik sekali menantu Mama hari ini. Daster itu kayak dibuat khusus buat kamu.”

Risa tertawa kecil, pipinya memerah.

“Ah, Mama bisa aja.”

Di ruang tengah, Aditya yang baru turun dari kamar menghampiri dapur dengan niat mengambil minum.

Tapi langkahnya terhenti sejenak ketika matanya menangkap sosok Risa dalam daster batik biru itu.

Rambutnya di kuncir rapi, tangannya sibuk di dapur, dan senyumnya… begitu tulus.

Sesuatu terasa berbeda.

"Cantik juga ya…" batinnya berbisik tanpa sadar.

Ia baru akan berpaling ketika suara Papa memecah keheningan dari balik meja makan sambil tertawa.

“Dit, air liurmu netes tuh. Jangan cuma melototi istri sendiri!”

Wajah Aditya langsung merah padam.

“A…apa sih, Pah!”

Mama ikut tertawa geli, sementara Risa menunduk malu, pura-pura sibuk memotong wortel.

Di balik tawa dan godaan ringan itu, ada sesuatu yang perlahan mulai berubah.

Setelah makanan hampir selesai dimasak, Mama mengerutkan kening sambil memeriksa bumbu di meja dapur.

“Aduh, Risa… ternyata Mama lupa beli lada tadi di pasar,” ucapnya menepuk jidat.

“Nggak apa-apa, Ma. Biar aku aja yang beli ke warung,” jawab Risa sigap sambil melepas celemek.

Sebelum ia sempat melangkah keluar dapur, suara Aditya terdengar dari ruang makan.

“Aku antar aja.”

Risa spontan menoleh. Mama pun menatap Aditya dengan alis terangkat dan senyum mengembang.

“Tentu saja kamu yang antar, Dit. Masa Papa yang nganterin menantu?” ledek Papa dari ruang tengah.

Aditya nyengir, sementara wajah Risa berubah sedikit gugup.

“Ayo,” ucap Aditya singkat sambil mengambil kunci motor.

Perjalanan ke warung terdekat terasa canggung. Mereka berdua duduk di atas motor tanpa banyak bicara.

Angin sore menerpa wajah mereka, membawa aroma dari dapur yang masih tertinggal di rumah.

Sesampainya di warung, Aditya turun duluan.

“Ladanya berapa banyak?” tanyanya datar.

“Secukupnya aja,” jawab Risa pelan, matanya tak menatap langsung.

Setelah membayar, Aditya menyerahkan kantong plastik kecil berisi lada itu ke tangan Risa. Jari mereka sempat bersentuhan. Hanya sebentar. Tapi cukup untuk membuat jantung Risa berdetak lebih cepat.

“Makasih udah mau antar,” katanya akhirnya.

Aditya hanya mengangguk kecil, namun kali ini pandangannya tak sekeras biasanya.

Perjalanan pulang tetap sunyi. Tapi di antara diam mereka, ada sesuatu yang menggantung—entah harapan, atau mungkin perasaan yang perlahan mulai mencair.

Dalam perjalanan pulang dari warung, motor yang mereka tumpangi tiba-tiba mengeluarkan suara aneh.

Aditya menepikan motornya di pinggir jalan, lalu mencoba men-starter ulang. Tapi mesinnya hanya menggeram sebentar lalu mati total.

“Kenapa?” tanya Risa pelan.

“Entahlah. Sepertinya mogok. Aki-nya mungkin soak,” jawab Aditya sambil menghela napas.

Ia mencoba lagi. Sia-sia.

Akhirnya, tanpa banyak kata, Aditya menurunkan standar dan mulai menuntun motornya perlahan.

“Kita jalan kaki aja ya,” ucapnya.

“Nggak apa-apa,” Risa mengangguk, dan mulai berjalan di sampingnya.

Langit mulai berwarna jingga. Sore menggantung di atas mereka seperti lukisan yang tenang.

Jalanan kampung yang mereka lalui sepi, hanya terdengar suara burung dan angin kecil yang meniup dedaunan.

Untuk sesaat, diam mereka terasa tidak sesepi biasanya.

“Aku… belum sempat bilang terima kasih,” ujar Aditya akhirnya, tanpa menoleh.

Risa menatapnya heran. “Untuk apa?”

“Untuk tetap bertahan. Untuk nggak pergi.”

Risa tersenyum tipis, menatap ke depan. Langkahnya tetap berjalan tenang.

“Aku pernah janji sama Kirana.”

Aditya terdiam. Nama itu membawa kembali kenangan yang menyesakkan, tapi juga membuat hatinya terasa hangat seperti ada sesuatu yang menghubungkan mereka lebih dalam dari yang pernah ia sadari.

Sampai di rumah, peluh membasahi baju mereka. Tapi senyum kecil muncul di wajah keduanya.

Entah karena lega telah sampai… atau karena langkah-langkah itu perlahan mendekatkan dua hati yang selama ini berjarak.

Sesampainya di rumah, Mama langsung menyambut mereka dari dapur dengan celetukan khasnya.

“Lama sekali kalian. Sampai es buah Mama nyaris cair semua.”

Aditya meletakkan plastik lada di meja makan, lalu menjawab sambil mengelap keringat di lehernya.

“Sepeda mogok, Ma.”

Papa yang sedang duduk sambil membaca koran langsung nyeletuk.

“Jual aja sepeda butut mu itu, Dit. Bikin menantu Papa capek jalan kaki.”

Aditya tertawa tipis, tapi kemudian suaranya sedikit lebih tegas.

“Jangan panggil sepeda itu butut, Pah. Itu hadiah dari Kirana.”

Ruangan jadi hening sejenak. Mama dan Papa saling pandang, lalu mengangguk pelan, mengerti.

Risa yang mendengar nama sahabatnya disebut hanya bisa menunduk, menggenggam jari-jarinya yang dingin.

Sepeda tua itu mungkin tak ada nilainya di mata orang lain.

Tapi bagi Aditya… dan bagi Risa juga, itu adalah bagian dari kenangan yang masih hidup.

Kenangan tentang seseorang yang mengikat mereka dalam ikatan yang tak biasa.

“Maaf, Pah,” lanjut Aditya, “Selama masih bisa diperbaiki, aku akan tetap pakai.”

Papa hanya mengangguk dan kembali pada korannya.

Mama tersenyum tipis. “Kalau begitu, ayo cepat mandi. Makanan sebentar lagi matang.”

Risa dan Aditya saling pandang sejenak, lalu melangkah masuk ke dalam.

Dalam keheningan itu, Risa tahu… sedikit demi sedikit, dinding antara mereka mulai retak.

Dan mungkin, dari celah kecil itu, akan tumbuh sesuatu yang selama ini hanya mereka sangka mustahil.

1
kalea rizuky
lanjut
kalea rizuky
lanjut donkkk
kalea rizuky
keren bgt lo ini novel
kalea rizuky
belom bahagia di tinggal mati
kalea rizuky
ris jangan menyia nyiakan masa muda mu dengan orang yg lom selesai dengan masa lalunya apalagi saingan mu orang yg uda almarhum
kalea rizuky
suami dayuz
kalea rizuky
uda gugat aja ris banyak laki lain yg menerima qm lagian masih perawan ini
kalea rizuky
suka bahasanya rapi
kalea rizuky
cerai aja lah ris hidup masih panjang
gojam Mariput
jahatnya aditya
gojam Mariput
suka....
tata bahasanya bagus, enak dibaca
my name is pho: terima kasih kak
total 1 replies
gojam Mariput
awal yang sedih ...
moga happy ending
my name is pho: selamat membaca kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!