Paijo, pria kampung yang hidupnya berubah setelah mengadu nasib ke Jakarta.
Senjata andalannya adalah Alvarez.
***
Sedikit bocoran, Paijo hidupnya mesakke kek pemeran utama di sinetron jam lima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CACING ALASKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Luka yang Tersenyum
Claudia mengenal bahasa tubuh lebih baik daripada bahasa lisan. Sebagai wanita yang telah bertahun-tahun mengamati pria datang dan pergi dalam hidupnya, ia tahu kapan seseorang menyembunyikan sesuatu. Dan malam ini, Paijo menyembunyikan banyak.
Bukan dalam bentuk kebohongan terang-terangan. Tapi dalam senyuman yang dipaksakan, dalam tatapan yang menerawang saat salah satu tamu pesta memeluk lengannya, dan dalam nada bicaranya yang tak lagi ringan seperti dulu.
Claudia mencatat semuanya. Dengan matanya yang tajam seperti belati.
“Bosan?” tanyanya saat pesta mulai sepi, dan Paijo duduk sendiri di dekat minibar, memainkan gelas kosong.
Paijo menggeleng. “Tidak, hanya sedikit capek.”
Claudia berjalan pelan, hak stilettonya memecah keheningan karpet mahal. Ia berdiri di hadapan Paijo, menyandarkan tubuhnya ke pinggiran meja, menatap pria itu tanpa berkedip.
"Capek bukan gaya kamu," katanya pelan. “Kamu Paijo. Atau… siapa sekarang? Joe? Alvarez?”
Paijo terdiam. Nama-nama itu, saat disebut bersamaan, terdengar seperti vonis.
Claudia menyeringai kecil, sinis namun indah. “Dulu kamu datang padaku dengan mata lapar. Sekarang kamu menatapku seperti aku hanya... salah satu tamu dalam keramaian.”
“Aku tetap profesional, Madam,” jawab Paijo. Suaranya pelan, nyaris terdengar defensif.
“Profesional?” Claudia tertawa lirih. “Kamu bukan aktor bayaran, Jo. Kamu legenda. Mereka memesanmu bukan karena kamu tampan atau kuat. Tapi karena kamu... haus. Dan sekarang kamu kenyang.”
Paijo menunduk. Claudia benar. Dahulu, ia mendekati dunia ini dengan kelaparan akan uang, kekuasaan, dan penerimaan. Tapi sekarang, satu tatapan dari Suzy bisa membuatnya berpikir dua kali tentang semua ini.
Claudia menunduk sedikit, suaranya berubah pelan, hampir rapuh. “Siapa dia?”
“Apa maksud Madam?”
“Jangan bermain bodoh.” Claudia menghela napas panjang. “Ada yang mengubah kamu. Kamu jadi lebih pelan, lebih lembut... lebih berat. Kamu mulai memandang dunia ini seperti beban. Dulu kamu menikmatinya.”
Paijo tak menjawab. Ia hanya memandangi pantulan dirinya di kaca minibar, seolah mencoba mencari siapa dirinya sebenarnya sekarang.
Claudia berdiri tegak. Nada suaranya kembali dingin. “Kamu pikir kamu bisa keluar dari dunia ini begitu saja?”
Paijo menatapnya. “Saya tidak tahu.”
Claudia mencondongkan tubuh ke arahnya. “Kamu bukan pria biasa, Paijo. Dan perempuan yang kamu pikir bisa kamu bahagiakan… dia mungkin tidak akan tahan menghadapi sisi gelap kamu.”
Untuk pertama kalinya malam itu, Paijo membalas tatapannya. Tidak marah, tidak juga takut—melainkan jujur.
“Kalau dia tahu siapa saya sebenarnya, dan tetap tinggal… mungkin itu berarti saya memang layak dicintai.”
Claudia terdiam.
Dalam diam itu, untuk pertama kalinya, dia merasa... kalah.
Bukan karena kehilangan kekasih. Tapi karena sadar, ia sedang kehilangan kendali atas seseorang yang tak pernah ia sadari telah menjadi lebih dari sekadar boneka indah dalam pesta-pestanya.
Claudia tidak langsung menyuruh asistennya menyelidiki. Ia terlalu cerdas untuk bergerak dengan gegabah.
Ia memilih metode lama yang lebih elegan dan memuaskan: observasi.
Malam itu, ia masuk ke ruang kerjanya yang hanya ia sendiri yang tahu kode pintunya. Sebuah ruangan dengan jendela tinggi dan koleksi parfum langka, arsip foto, dan komputer dengan jaringan pribadi.
Ia duduk di depan laptop. Menyeruput anggur putih dari gelas kristal, lalu mulai mencari satu demi satu foto-foto pesta, undangan, catatan tamu, bahkan unggahan media sosial yang diam-diam ia arsipkan sejak mengenal Paijo.
Dan di antara ratusan gambar, ia menemukan satu yang membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.
Foto Paijo duduk di kafe kecil, di seberang seorang wanita muda berambut panjang, mengenakan blouse putih dan jeans sederhana. Mereka tidak terlihat mesra. Tidak menyentuh. Tapi tatapan wanita itu... membuat Claudia tidak tenang.
Tatapan yang melihat Paijo bukan sebagai pria eksotis atau trofi sosial. Tapi... manusia.
Claudia menatap layar dengan intens. Lalu memperbesar wajah gadis itu.
“Aku kenal wajah ini…” gumamnya.
Ia berdiri. Mendekati rak parfum dan membuka laci tersembunyi di baliknya. Dari dalamnya, ia mengeluarkan sebuah bingkai foto kecil—berdebu. Ia usap perlahan.
Seorang gadis kecil dengan senyum malu-malu berdiri di samping Claudia muda. Wajah yang kini telah tumbuh menjadi dewasa.
Claudia menghela napas berat. Ia memejamkan mata.
"Tidak mungkin..."
Bukan karena dia yakin. Tapi karena dia takut benar.
Keesokan harinya, Claudia memanggil asistennya, Nita.
"Cari tahu siapa wanita ini," katanya sambil menyerahkan hasil cetak foto dari layar laptop semalam.
Nita mengangguk. Tapi sebelum keluar ruangan, ia menatap Claudia sejenak. “Nyonya… yakin ingin tahu?”
Claudia tak menjawab. Hanya berkata pelan, “Kadang... yang kita butuhkan bukan jawaban. Tapi kepastian untuk menahan diri.”
Namun suaranya goyah. Tangannya masih menggenggam foto kecil Suzy kecil dalam bingkai tua. Dan di lubuk hatinya yang paling dalam, Claudia tahu—kalau ini benar, maka badai yang sebenarnya baru saja mulai.
...****************...
*Flashback on*
Sore itu langit Jakarta sedikit sendu. Angin berhembus pelan, menggoyang dedaunan pohon palem di halaman sebuah butik seni kontemporer di bilangan Kemang. Tempat itu tenang, tenar di kalangan kolektor diam-diam dan sosialita yang enggan terlihat terlalu mencolok.
Suzy datang mengenakan dress warna krem sederhana, rambutnya digelung santai. Ia tak terlalu niat menghadiri pameran seni ini, hanya menemani salah satu temannya yang membatalkan janji di menit terakhir. Tapi ia tetap masuk. Daripada pulang ke apartemen dan termenung lagi.
Sementara itu, Claudia datang beberapa menit kemudian. Dengan penampilan elegan seperti biasa: rambut disanggul sempurna, blazer putih, dan anting berlian kecil yang tidak berusaha mencuri perhatian, tapi menyilaukan jika kau tahu nilainya.
Mereka bertemu… tepat di depan lukisan berjudul “Wounds That Smile”. Sebuah kanvas besar berisi coretan merah dan hitam, yang bagi sebagian orang terlihat seperti sembarang garis abstrak. Tapi bagi Suzy, itu seperti potongan hatinya sendiri.
“Lukisan ini... aneh, tapi jujur,” gumam Suzy.
Claudia berdiri tepat di sampingnya, tidak menyadari siapa gadis di sebelahnya. Namun suara itu… mengusik ingatannya.
“Menurutmu, jujurnya di bagian mana?” tanya Claudia, seolah itu obrolan biasa.
Suzy menoleh pelan. Keduanya saling menatap untuk pertama kalinya. Tak ada yang saling kenal. Tapi ada tarikan aneh di antara mereka.
Suzy tersenyum sopan. “Di bagian hitamnya. Di mana seolah-olah semua luka itu ditutupi senyum merah yang sebenarnya palsu.”
Claudia menatapnya. Terlalu lama. Ada sesuatu pada wajah gadis ini… bentuk rahang, cara matanya berkedip. Seperti kenangan yang ingin terkubur, tiba-tiba menggali dirinya sendiri.
“Kamu punya mata yang tajam untuk usia semuda ini,” kata Claudia.
Suzy tertawa pelan. “Orang bilang saya terlalu sensitif.”
“Sensitif bukan kelemahan,” balas Claudia cepat. “Kadang, itu satu-satunya alat bertahan yang kita punya.”
Keduanya diam. Sejenak.
Hingga akhirnya seseorang memanggil Claudia. Asisten pribadi yang menunduk hormat.
Claudia melirik sebentar ke arah Suzy. “Aku harus pergi. Tapi... bolehkah aku tahu namamu?”
“Suzy,” jawab Suzy tanpa curiga.
Claudia menegang sepersekian detik. Tapi berhasil menahan ekspresinya. Ia tersenyum pelan.
“Senang bertemu denganmu, Suzy. Sampai jumpa lagi.”
Suzy mengangguk. “Sama-sama, Bu.”
Claudia melangkah pergi. Tapi jantungnya seolah tertinggal di depan lukisan itu. Satu kata menggaung dalam pikirannya:
Suzy.
Ia tahu benar nama itu. Nama yang ia beri sendiri… sebelum ia dipaksa menyerahkan bayi mungilnya bertahun-tahun lalu.
...🪱CACING ALASKA MODE🪱...
jgn salahkan Suzy aelahh
next nell, semakin menarik 😁😁😁
Tpi bikin greget 😭
Jo terlalu pasrah bet, Jo ga boleh lemah ya kudu kuat lawan dong itu si lambe turah claudia jan mau dijadiin bonekanya😭😭
adududu typoku selalu tidak tau tempat🚶♀️
bagai petir disiang bolong faktanya😱😱
gemes sndiri kan jdinya 😶😶
Lu yg terobsesi sama Paijo peak itu bukan cinta lagi namanya dari mana juga pengorbanan disitu 🤯
yg ada dia tuh yg makin memperkeruh keadaan paijo🚶♀️