Yang sudah baca novelku sebelumnya, ini kelanjutan cerita Brayn dan Alina.
Setelah menikah, Brayn baru mengetahui kalau ternyata Alina menderita sebuah penyakit yang cukup serius dan mengancam jiwa.
Akankah mereka mampu melewati ujian berat itu?
Yuk baca kelanjutan ceritanya 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon omen_getih72, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
"Ma, jangan diledekin terus, aku yang jadi korban cubitan," gurau Brayn terkekeh. "Kalau nanti aku disuruh tidur di luar gimana?"
"Kakak!" bantal yang tadinya menutup wajah kini digunakan untuk memukul punggung suaminya.
Gelak tawa kembali memenuhi ruangan itu.
"Urusan itu kamu bisa belajar ke Ayah mertuamu yang sudah expert menghadapi istri. Entah sudah berapa kali tidur di luar, berapa kali diusir dari rumah. Ilmunya sudah dikuasai semua." Joane kembali tertawa setelah mengucapkan kalimat itu.
"Puas-puasin!" ucap Bagas ikut tertawa.
"Kalau aku tidak galak, tidak berubah dia!" sambung Maya.
"Tapi salut loh, bisa merubah Bagas yang tadinya astaghfirullah jadi alhamdulillah," tutur Pak Vino.
"Alhamdulillah bertemu jodoh yang tepat." Bu Resha menambahkan.
"Seperti Alina bertemu jodoh yang masyaallah. Tadinya susah suruh dia menutup aurat. Sekarang sudah mulai pakai hijab." Maya membelai puncak kepala putrinya.
"Cantik loh kalau pakai hijab seperti ini. Suami pasti tambah sayang," tutur Bu Resha.
"Kalau Brayn sih, Alina dalam bentuk apapun dia pasti sayang. Sudah bucin sejak SMA." Raka menatap Brayn yang melotot ke arahnya.
"Jadi karena itu Kakak mendekati Ayahnya dulu, biar bisa dapat anaknya?" Zahra turut menggoda.
"Kakakmu kan sudah dekat dengan Om Bro-nya sejak balita," tutur Pak Vino. "Masih terbayang Bagas dan Joane jadi pasiennya Brayn."
"Haha, sekarang dokter bohongannya jadi dokter beneran," ucap Joane mengenang masa kecil Brayn di ingatan.
Pak Vino melirik Zayn yang malam itu lebih banyak diam.
Ia hanya menyimak di sudut ruangan sambil sesekali ikut tertawa, lalu kembali memainkan ponselnya.
"Ada hal serius yang mau Papa tanyakan ke kamu. Tapi, nanti saja di rumah. Kamu tidak ke mana-mana lagi habis ini, kan?" bisik Pak Vino.
"Iya, Pa."
Suasana malam itu terasa hangat.
Usai makan malam, satu persatu anggota keluarga mulai meninggalkan rumah. Hingga hanya tersisa sang pemilik rumah.
Brayn disambut Alina dengan cubitan saat memasuki kamar.
Lelaki itu pun hanya terkekeh menahan tangan istrinya yang menyerupai capitan.
"Apa sih anaknya Om Bro! Orang baru masuk kamar sudah dicubit saja!"
"Aku malu tahu, Kak. Kakak sih keluar kamar tidak pakai celana. Mereka jadi berpikir kita habis ngapa-ngapain!"
"Memang kita habis ngapa-ngapain, kan? Apanya yang salah, sudah halal juga."
"Aku malu sama Ayah! Kakak bilang hanya lima menit, tahunya satu jam!"
"Tidak apa-apa, sedang usaha kasih Om Bro cucu biar tidak kesepian. Nanti bisa rebutan cucu sama Papa. Kata orang... orang tua akan lebih sayang ke cucunya ketimbang anaknya sendiri. Kebayang tidak bagaimana nanti posesifnya Papa dan Om Bro kalau punya cucu?"
Nada pesan masuk mengalihkan perhatian sang dokter.
Meraih benda pipih itu, ia membuka layar dan membuka pesan yang baru saja masuk.
Namun, Senyum tipis yang menghiasi bibir lelaki itu perlahan menghilang.
"Kenapa, Kak?" tanya Alina menyadari perubahan wajah suaminya.
"Dari Rafa. Katanya ... Mia pendarahan."
**
**
Alina berjalan di sebelah Brayn yang menggandeng tangannya erat.
Tiba di depan sebuah ruangan, suasana tegang terasa begitu pekat.
Airin duduk di sebelah Gilang dengan tatapan kosong. Larut dalam lamunannya sendiri.
Begitu pun dengan dengan kedua anaknya yang lain dan sang mertua.
Sementara Joane dan Rina duduk di sisi kursi yang lain. Entah sedang membahas apa, yang pasti keduanya tampak dipenuhi rasa khawatir.
"Bagaimana Mia, Bunda?" tanya Brayn mendekat ke arah Airin.
Alina langsung duduk di sisi Airin dan menggenggam tangannya.
"Masih ditangani dokter di dalam, Nak," jawab wanita itu dengan suara lirih.
"Bagaimana Mia bisa pendarahan, Bunda?" Alina menatap Airin dengan mata berembun.
"Kata Rafa, Mia mau ke kamar mandi dan tiba-tiba perutnya sakit. Begitu dilihat sudah ada darah menetes, Rafa langsung bawa ke rumah sakit."
"Ya Allah." Alina menarik napas.
Hatinya ikut ngilu membayangkan apa yang dirasakan Mia saat ini.
Beberapa menit berselang, perhatian mereka teralihkan pada pintu ruangan yang terbuka, disusul dengan kemunculan Rafa dari balik pintu.
Serta-merta Gilang dan Joane bangkit, mendekat ke arah Rafa yang tampak lesu. Wajahnya sedikit pucat dan kening berkeringat.
"Gimana, Raf?" pertanyaan Gilang langsung mengarah pada kondisi cucu pertama di keluarga mereka.
"Mia dan janinnya baik-baik saja, kan?" Joane menimpali.
Namun, selama beberapa saat Rafa diam. Ujung matanya basah, yang seolah mewakilkan jawaban dari semua pertanyaan yang ada.
Mata lelaki itu terpejam dengan hela napas berat.
"Ayah, kondisinya Mia stabil. Tapi, janinnya tidak bisa bertahan. Kata dokter... harus dikeluarkan."
"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun." Kalimat penuh duka itu refleks keluar dari mulut keduanya.
Tak ada lagi kata yang terucap selain pelukan saling menguatkan.
Di belakang mereka Airin, Rina dan mertuanya pun saling memeluk satu sama lain.
Harapan mereka tentang hadirnya anggota keluarga baru pupus sudah.
Gilang beranjak memasuki ruangan tempat putrinya sedang ditangani, sementara Joane memeluk putranya.
Pemilik tubuh tegap itu memang terlihat tegar dan tangguh dari luar, namun dari dalam ia sangat rapuh.
"Yang tabah, Nak. Kalian masih muda dan masih banyak kesempatan untuk punya anak lagi. Yang penting Mia baik-baik saja."
Rafa hanya mengangguk, menahan sesak yang kian erat menghimpit dada.
"Insyaallah, Ayah."
Ia menoleh ke arah mertuanya. Melihat Airin dan Rina terisak-isak saling memeluk, Rafa mendekat dan berlutut di hadapan keduanya.
"Bunda, Ibu ... maafkan aku. Aku tidak menjaga Mia dengan baik."
Airin yang masih menangis itu segera mengusap lelehan air mata, lalu memeluk sang menantu.
"Tidak, Nak. Kamu sudah menjaga Mia dengan sangat baik selama ini. Jangan menyalahkan diri sendiri. Tidak akan ada yang bergerak di bumi ini tanpa seizin Allah."
"Semoga ini adalah jalan yang terbaik untuk kalian. Yang ikhlas, Nak. Kalian tidak berjodoh di dunia, insyaallah akan berkumpul lagi di akhirat yang kekal," sambung Rina, mengusap bahu putranya.
"Insyaallah, Bu."
Tindakan operasi pun dilakukan untuk mengeluarkan bayi yang sudah berusia enam bulan itu.
Di depan ruang operasi mereka menunggu.
Rafa sendiri memilih pergi ke mushala yang terdapat di dalam rumah sakit untuk menenangkan hati.
Tak tertahan, air mata mengiringi setiap sujudnya.
Segala kenangan berputar di ingatan, bagaimana ia melantunkan doa setiap malam menjelang tidur untuk buah hatinya.
Detak jantung memburu janin kecil itu bahkan masih terekam di ingatan beberapa hari lalu, saat ia menemani Mia memeriksakan kandungan, juga gerakan-gerakan kecil yang selalu muncul pada permukaan perut.
Rafa mengusap air mata sesaat setelah melantunkan doa.
Ketika menoleh, ia mendapati Brayn dan Raka di belakang sedang menunggunya.
"Operasinya sudah selesai. Kata Ayahmu harus segera dimakamkan," ucap Raka.
**********
**********
taunya mimpi Thor....
Alhamdulillah kalau masih baik2, saja...😅
biar sama" introspeksi terutama buat miaaaa
double up donk
gak mau denger tapi kedengeran