Tumbuh dewasa di bawah asuhan sebuah panti sosial, membuat Vanila berinisiatif untuk pergi keluar kota. Dengan bekal secarik kertas pengumuman lowongan kerja di salah satu usaha, yang bergerak di bidang cuci & gosok (Laundry).
Nahas, biaya di Kota yang cukup tinggi. Membuat Vanila mencari peruntungan di bidang lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anggika15, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 6 (Obsesi)
"Kamu masih tidak mau menerima tawaran saya?" Teriak Edgar seraya menyembulkan kepalanya dari arah dalam mobil yang terus bergerak.
Mobil berjalan dengan kecepatan sangat rendah, melaju tepat di belakang Vanila yang masih terus berjalan tanpa merasa lelah.
“Jangan munafik, saya tahu kamu sedang melawan dirimu sendiri!” Edgar memberi isyarat agar Irgi menghentikan mobilnya, ketika di waktu yang sama Vanila menghentikan langkah kaki.
Pria itu keluar dari dalam mobil, dia berdiri menyandarkan punggungnya sambil menyesap rokoknya dalam-dalam hingga ujungnya berpendar, kemudian meniupkan asapnya di udara. Sementara mata birunya mengarah pada gadis itu dengan sorot tajam.
“Apa saya terlihat sangat rendah di mata anda?”
Dia menatap sosok itu yang sedang berdiri menyandarkan punggung pada mobil mewah di belakangnya, lalu mendongak menatap awan cumulonimbus yang sudah terlihat berkumpul disertai kilatan cahaya petir.
“Saya memang miskin, tapi saya tidak serendah wanita-wanita yang sering datang hanya untuk memuaskan anda lalu pergi setelah mendapatkan uang.”
Hembusan angin terasa semakin kencang, menerpa wajah Vanila sampai membuat mata gadis itu sedikit memicing.
"Oh ya!?" Edgar berbicara lagi dengan suara rendahnya dan setengah menggeram.
Dia sedikit menjauhkan diri dari mobil, berdiri sampai tubuh tingginya semakin terlihat jelas. Kemudian berjalan mendekati Vanila perlahan-lahan, dengan kedua tangan yang ia sembunyikan di balik saku celana setelah menjatuhkan dan menginjak puntung rokoknya tadi.
“Pergilah dan cari wanita lain, saya tidak mau.”
"Katanya butuh uang sebanyak lima juta. Dan saya memberikanmu setengah miliar, lalu kenapa malah menolak? Bukankah yang saya tawarkan lebih dari yang kamu butuhkan, cantik?" Dia tersenyum penuh arti, dengan suara rendah dibuat selembut mungkin.
“Saya tidak tertarik!”
“Really?” Edgar terdengar mengejek.
Vanila benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Bayangkan saja, hati dan pikirannya mulai tak sejalan, apalagi menyangkut uang yang jelas sangat Vanila butuhkan sekarang.
‘Jangan Vanila, tujuanmu pergi ke kota itu baik. Bukan untuk menjatuhkan harkat dan martabatmu sebagai seorang perempuan, uang 500 juta itu tidak sebanding dengan apa yang sudah kamu jaga selama ini!’ Batinnya bermonolog.
“Saya tidak butuh, saya tidak tertarik. Bahkan saya menyesal karena sudah meminta bantuan kepada pak Irgi, saya kira tawaran dia cukup baik tapi ternyata tidak sama sekali.”
"Oh ya, kamu tidak butuh uang Vanila? Lalu bagaimana dengan nasibmu disini? Sisa uangmu tidak akan mampu membuat siapapun memberikan sebungkus makanan, atau membuat mereka membukakan pintu sekedar hanya untuk bermalam!” Suara Edgar terdengar semakin rendah.
Tangan Edgar bergerak hampir menyentuh rambut Vanila, akan tetapi segera gadis itu tepis dengan kasar.
“Jangan kurang ajar!”
“Baiklah, baik. Tapi ini lima ratus juta, cantik!”
Dia memang diam, namun kepalanya terasa sangat berisik dengan tawaran Edgar. Satu diantaranya berusaha terus berpaling, sementara yang lain memintanya untuk menerima tawaran emas itu.
"Kamu dapat melakukan apapun dengan uang yang saya berikan. Membayar kamar kost, biaya untuk membuat kartu identitas juga biaya hidup sehari-hari." Edgar berbicara lagi setelah jarak keduanya benar-benar sangat dekat.
Vanila mendongak untuk menatap wajah tegas dengan sorot mata tajam yang juga tengah menatapnya.
Tiba-tiba saja setetes air terjatuh di keningnya, membuat kepala gadis itu semakin terangkat.
"Katakan. Berapa harga yang harus aku berikan sekarang?" Edgar kembali berbicara.
Entahlah, rasanya pesona gadis di hadapannya benar-benar membuat Edgar gila. Banyak wanita di luar sana, bahkan dirinya tinggal tunjuk mau yang bagaimana dan sudah pasti takan ada penolakan sama sekali.
"Saya memang membutuhkan uang, Bapak Edgar yang terhormat. Uang pinjaman, yang akan saya bayar dengan uang kembali. Bukan dengan hal lain apalagi sesuatu yang menyangkut dengan harga diri saya!" jawab Vanila dengan penuh penekanan di setiap kata-katanya.
"Kamu butuh uang? Tapi kamu naif, Nona!" Edgar terdengar mengejek.
Vanila hampir membuka mulutnya untuk menjawab, tapi tiba-tiba saja petir menyambar sangat kencang, disertai turunnya tetesan air yang mulai deras.
"Saya memang butuh uang, tapi …." Vanila berhenti berbicara, ketika petir kembali menyambar dan suara nya terdengar semakin keras.
Edgar menyeringai.
Tampaknya dunia sedang mendukung apa yang sedang ingin dia lakukan, sehingga tidak membiarkan Vanila menjawab ucapannya meskipun hanya sedikit.
"Disini hujan, ayo bicarakan di dalam mobil saja?"
Edgar menyambar pergelangan tangannya, berniat menarik gadis itu untuk mendekat pada mobilnya yang terparkir di bahu jalan. Namun Vanila menolak, dia bahkan menyentakkan tangannya dari genggamannya dengan sekali gerakan.
"Tidak, terimakasih!" Vanila menggelengkan kepala.
Edgar memicingkan mata.
"Sungguh? Kamu kembali menolak niat baik saya ya?" Ucapannya terdengar mengejek.
Lalu pria itu menatap keadaan sekitar, dimana tidak ada satu bangunan pun untuk berteduh.
"Hujannya semakin deras dan tidak ada tempat untuk berteduh!" Edgar tersenyum lagi.
Gadis itu kemudian mengikuti arah pandang pria tinggi di hadapannya. "Saya bisa berteduh dibawah pohon, Pak." perlahan dia pun mundur.
Gadis itu sepertinya benar-benar tidak tergiur dengan nominal yang ditawarkan Edgar.
"Terserah, mungkin setelah ini kamu akan mati berdiri dalam keadaan gosong karena tersambar petir." Pria itu balik badan, kemudian berjalan sedikit cepat mendekati mobil mewah miliknya.
Kilat kembali terlihat, disusul gemuruh yang sangat menyeramkan seakan merobek langit kelam di atas sana.
Vanila sempat berpikir, juga menatap keadaan sekitar dimana pohon-pohon besar berdiri. Dan memang tidak ada satu orang pun yang berteduh di area sekitar.
"Astaga Tuhan, apa tidak ada pilihan lain!" Dia langsung berlari menyusul Edgar dengan kepala tertunduk.
"Hanya ikut berteduh di dalam mobil, Van. Setidaknya benda itu akan melindungimu dari serangan petir yang terus menyambar," batinnya, dan dengan gelisah ia terus melangkahkan kaki.
Bugh!!
Vanila menabrak punggung kokoh Edgar, sehingga membuat tubuh kecilnya terjerembab ke belakang.
"Kau menerima tawaranku?" Tanya Edgar saat menoleh dan mendapati Vanila di dekatnya.
"Eee iya, eh bukan! Maksudnya saya …."
"Baik, masuklah dulu. Nanti kita bicarakan lagi, siapa tahu kau berubah pikiran." Edgar tersenyum penuh kemenangan, kemudian dia membuka kan pintu mobil dan membiarkan gadis itu masuk.
***
Suasana terasa hening sepanjang perjalanan, dan tak ada seorang pun yang berniat untuk berbicara. Mereka hanya menatap sekeliling dan berkutat dengan pikirannya masing-masing.
Vanila dengan otaknya yang terus berputar mencari cara untuk menemukan jalan menyelesaikan permasalahan hidupnya, sementara Edgar dengan ide-ide gila yang dia miliki.
Pria itu bahkan tampak tersenyum ketika menemukan banyak cara yang mungkin akan digunakan untuk menjerat gadis itu jika mereka tiba di rumahnya nanti.
"Tunggu, kita akan ke mana?" Vanila menegakkan tubuh ketika dia mengenali jalan yang mereka lewati.
Gadis itu tidak mungkin lupa jika rutenya menuju kediaman Edgar karena area pantai terkenal itu memang tidak sembarangan bisa dimasuki orang.
"Rumah saya. Memangnya ke mana lagi?" Pria itu menjawab.
Kedua bola mata Vanila membulat sempurna, dan dia berusaha membuka kunci pada pintu mobil. Tetapi nihil, benda itu terkunci otomatis dan hanya bisa dibuka oleh pria di balik kemudi.
"Berhenti, Pak Irgi. Saya turun disini saja!" pintanya kepada sopir di depan.
"Pak, Pak Irgi! Saya turun di sini saja!" Dia mengulang perkataannya.
Irgi bergeming, dan dia hanya melirik lewat kaca spion. Lalu meneruskan perjalanan hingga mereka menemukan gerbang tinggi besar berwarna hitam di depan.
"Pak Irgi, saya mau turun di sini!" ucap Vanila lagi dengan suaranya yang bergetar.
Otak di dalam kepalanya tak bisa memikirkan hal lain saat ini kecuali keinginan untuk melepaskan diri. Dia tahu bahwa pria di sampingnya akan melakukan sesuatu.
Apa semua laki-laki berduit memiliki obsesi segila Edgar?
"Pak Irgi! Saya mau turun di sini!" katanya lagi ketika gerbang itu perlahan terbuka, dan mobil yang mereka kendarai memasuki area pekarangan rumah. Kemudian tertutup rapat setelah mereka tiba di dalam sana.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Jangan lupaaaaa😙😙😙