Luna harus memilih antara karir atau kehidupan rumah tangganya. Pencapaiannya sebagai seorang koki profesional harus dipertaruhkan karena keegoisan sang suami, bernama David. Pria yang sudah 10 tahun menjadi suaminya itu merasa tertekan dan tidak bisa menerima kesuksesan istrinya sendiri. Pernikahan yang telah dikaruniai oleh 2 orang putri cantik itu tidak menjamin kebahagiaan keduanya. Luna berpikir jika semua masalah bisa terselesaikan jika keluarganya tercukupi dalam hal materi, sedangkan David lebih mengutamakan waktu dan kasih sayang bagi keluarga.
Hingga sebuah keputusan yang berakhir dengan kesalahan cukup fatal, mengubah jalan hidup keduanya di kemudian hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SAFIRANH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Ruang makan itu terasa begitu canggung, saat Bu Galuh tampak begitu sibuk menata beberapa sendok dan piring di atas meja. Semua harus tampak rapi dan serasi di mata wanita paruh baya itu, tanpa adanya kekurangan sedikitpun.
Rasa canggung itu semakin terasa, saat Bu Galuh menoleh ke arah menantu pertamanya yang baru saja menarik kursi untuk duduk.
“Maria,” panggil Bu Galuh tajam, meski terdengar lembut. “Lekas siapkan makanan untuk Ayahmu di kebun. Ambilkan dua macam lauk ini dan juga sayurnya jangan lupa yang banyak, ya.”
Maria yang sudah hampir duduk, terpaksa harus bangkit kembali dengan senyum yang sangat dipaksakan. “Baik, Bu,” ucapnya.
Doni yang melihat sikap sang Ibu kepada istrinya itu mulai angkat bicara. “Bu, biarkan Maria makan terlebih dahulu. Makanan untuk Ayah, nanti biar aku saja yang antar.”
Mendengar ucapan putra sulungnya, membuat Bu Galuh tak senang. Alisnya tampak terangkat, bersiap untuk melontarkan ucapan pedasnya. “Jika begitu, maka sama saja kamu menyuruh Ayahmu untuk makan-makanan sisa. Dimana rasa hormatmu pada orang tua!”
Doni menarik nafas panjang. Sebenarnya ia lelah menghadapi emosi Ibunya yang memang sering terasa begitu menyakitkan. Tapi, ia tetap memasang wajah tenang agar tidak terbawa amarah.
“Aku tidak bermaksud seperti itu, Bu,” ujar Doni berusaha mengalah pada Ibunya.
Hening sesaat. Hingga sebuah suara isakan pelan terdengar, dan itu berasal dari Bu Galuh.
“Astaga, Doni…Kamu memang tidak pernah sayang sama Ibu,” ucap Bu Galuh dengan suara bergetar yang dibuat-buat. Tangannya mulai menyeka air mata yang entah telah mengalir di wajahnya sejak tadi. “Dari dulu hanya David yang bisa memahami perasaan Ibu,” lanjutnya.
Merasa terpanggil, David yang sejak tadi hanya diam, kini mulai mendekat. Mengusap pundak Ibunya, agar merasa lebih tenang. “Mas, jangan seperti itu. Kasihan, Ibu.” ucap David pada Doni.
Bukan hanya David, Maria yang sejak tadi juga diam, kini mulai angkat bicara. Wanita itu dengan kesadaran penuh berlari dan menghampiri ke arah Bu Galuh dan berlutut tepat di hadapannya.
“Ibu, maafkan sikap Mas Doni, ya. Aku yakin, jika dia tidak bermaksud untuk menyakiti perasaan Ibu,” ucapnya penuh keyakinan. Seketika itu pula Maria langsung menoleh ke arah suaminya dengan tajam, lalu berucap. “Mas, cepat minta maaf sama Ibu!”
Doni menatap istrinya penuh kecewa. Padahal setiap kali disuruh oleh sang Ibu, malam harinya Maria akan mengeluh dan mengatakan jika dirinya begitu tertekan tinggal di rumah ini. Tapi kenapa, setiap kali berada di hadapan sang Ibu, ia seketika berubah menjadi pribadi yang sangat penurut.
“Kamu harus tahu, jika Ibu telah memberikan semuanya pada kita. Ibu adalah hal terpenting di dalam rumah ini,” Maria melanjutkan ucapannya. Nadanya tegas, penuh peringatan.
Mendengar hal itu, senyum kemenangan langsung terbit di wajah Bu Galuh. Ia kembali menyeka air mata yang sudah mengering, menatap ke arah putra sulungnya hanya untuk menegaskan jika semua orang di rumah ini memang harus patuh pada keinginannya.
Doni menggelengkan kepala, lalu kembali menuangkan air putih ke dalam gelas. Tak mau ikut berkomentar lebih jauh, maupun ikut ambil bagian dalam drama yang tak akan pernah ada habisnya.
Sang istri, bukannya berterima kasih karena sudah dibela, wanita itu justru berbalik ikut menyerang dan menyudutkan prinsipnya. Maka dari itu, Doni selalu tak bisa memahami jalan pikiran Maria.
“Oh ya, dimana istri dan anak-anakmu?” tanya Bu Galuh pada David, merasa jika ada beberapa anggota yang belum ada di ruang makan.
“Ah…mereka di kamar, aku akan segera memanggilnya, Bu,” jawab David yang mulai bergegas pergi.
***
Di dalam kamar, Luna duduk bersila di atas kasur bersama putrinya Siena. Bocah perempuan itu tengah bermain bersama dengan boneka miliknya, sementara Luna menyisir rambut panjang sang anak dengan hati-hati.
“Sayang, bagaimana dengan sekolahnya? Apakah kamu menyukainya?” tanya Luna dengan suara penuh kehangatan.
Siena mendongak, lalu mengernyit kecil sebelum menjawab, “Sekolahnya…tidak terlalu besar. Ibu pasti masih ingat, di sekolahku yang dulu, ada lapangan basket dan kolam renang di dalam ruangannya.”
Luna melihat jika Siena sangat antusias saat menceritakan tentang sekolah lamanya di kota besar. Pindah ke lingkungan kecil seperti ini pasti sangat sulit untuk anak sekecil ini. Terdengar jelas ada nada kecewa dari mulut mungilnya.
“Ibu tahu, sayang. Tempat ini memang tak sebesar lingkungan tempat tinggal kita yang dulu, tapi disini udaranya masih sangat bersih, pemandangannya juga bagus,” ucap Luna agar Siena bisa lebih tenang.
Siena terdiam sejenak, tapi mulai mengangguk sambil memeluk boneka kelinci merah mudanya. “Terus…kita mau tinggal disini sampai kapan, Bu?”
“Nanti saat kalian sudah masuk sekolah menengah atas, kita akan kembali ke kota. Dan kalian bisa sekolah lagi di sana, bagaimana?”
Mata Siena mulai berbinar, “Ibu serius?” tapi seketika itu pula wajahnya mendadak berubah menjadi serius. “Tapi…sepertinya kak Sarah sangat suka dengan tempat ini. Dia bahkan mengatakan ingin tinggal di sini selamanya bersama Ayah.”
Luna menahan senyumnya, meski hatinya terasa begitu hancur saat mendengar putri sulungnya sendiri yang tak memiliki hubungan baik dengannya. Anak sekecil itu sudah harus memendam perasaan benci pada ibu kandungnya.
Meski sebenarnya, Luna masih sering bertanya mengenai kesalahannya di mata Sarah. Bocah perempuan itu semakin asing, saat Luna berhasil mendapatkan posisi chef utama di tempatnya bekerja dulu.
Namun Luna sadar, dia adalah seorang Ibu. Dengan kelapangan hati, mencoba menerima semuanya, bibir tipis itu mulai tersenyum. “Ibu bisa mengerti. Dan kembali lagi jika semua keputusan ada ditangan Sarah dan Siena. Ibu akan selalu mendukung keinginan putri Ibu sepenuhnya.”
Siena mengangguk pelan. Bocah perempuan itu tahu jika sang Ibu memang selalu ada untuknya, meski dengan cara yang berbeda.
Tanpa sadar, mata Siena menangkap sesuatu yang tergeletak begitu saja di bawah lantai. Benda berwarna merah itu sepertinya telah tergelincir keluar dari koper milik ibunya.
“Bu, itu apa?” tunjuk Siena ke arah benda tersebut.
Luna menoleh, tangannya meraih benda itu dari lantai. “Ini hadiah dari pelanggan di restoran yang sangat memuji masakan Ibu.”
Siena semakin kagum dengan sosok ibunya, dengan antusias ia mendekat dan mengucapkan. “Bolehkah aku melihatnya, Bu?”
“Tentu saja boleh, sayang,” Luna mulai membuka kotak itu perlahan.
Di dalamnya tampak sepasang cincin berlian yang berkilau, sangat cantik. Dan jelas terlihat jika itu adalah cincin pernikahan. Bukannya merasa senang, Luna justru mengernyitkan dahinya, merasa bingung.
“Ibu, cincinnya sangat cantik,” Siena mendekatkan wajahnya pada benda berbentuk bulat yang berkilau itu. “Tapi kenapa yang satu ukurannya besar sekali?”
Luna masih diam. Ia berpikir apakah pasangan suami istri itu salah dalam memberikannya hadiah. Saat rasa penasaran itu semakin membesar, Luna menyeret koper miliknya, ia membuka benda tersebut dan mengeluarkan barang-barangnya satu persatu. Beberapa barang memang belum sempat ia keluarkan dari dalam sana, termasuk perhiasan juga barang berharga lainnya.
Dan saat itu juga Luna melihat sebuah kotak perhiasan lagi yang bentuk dan warnanya sama persis. Dengan tergesa, Luna membukanya. Di dalam sana tampak sebuah kalung berlian yang tak kalah cantik dari sepasang cincin yang tadi.
Luna meletakkan kotak perhiasan berisi kalung tersebut, lalu beralih pada sepasang cincin yang tadi. Ia mengambil benda itu dari tempatnya, dan menemukan sebuah inisial ukiran berwarna keemasan persis di bawah tempat kotak perhiasan itu.
Disana tertulis huruf A dan M dengan bentuk latin yang tampak mewah. Membuat Luna semakin bingung dibuatnya. Akan tetapi sekelebat ingatan mulai datang menghampirinya.
Saat dirinya datang ke tempat ini, bukankah ia duduk bersama dengan seorang pria asing di dalam kereta? Membuat Luna akhirnya berpikir, apakah kotak perhiasan ini adalah milik pria waktu itu? Dan dia salah mengira saat mengambilnya di dalam kereta.
BERSAMBUNG