Bagaimana rasanya, jika kalian sebagai seorang anak yang di abaikan oleh orangtuamu sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muliana95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 6
"Ini, Ibu belikan baju untukmu. Jadi, jangan pernah katakan kalau Ibu selalu melupakanmu. Ini Ibu ingat." ujar Ella memberikan paper bag untuk Adira.
Adira menerima paper bag yang diberikan oleh Ibunya. "Makasih Ibu." ucap Adira.
"Kamu suka?" tanya Ella.
"Pasti suka Bu, apalagi Ibu yang pilihkan." jawab Adira.
Vania melihat adegan dua orang depannya hanya bisa memutar mata malas. Dia cemburu jika Adira bisa merebut hati orangtuanya.
"Bagaimana dengan hasil olimpiade mu?" tanya Vania sinis. Dia berharap jika Adira tidak berhasil, dan otomatis semua pujian dari orangtuanya hanya tertuju untuknya.
"Aku lolos untuk ikut ke tingkat kabupaten." sahut Adira bahagia.
"Wah benarkah? Ibu bangga pada kalian berdua. Kak Vania juga lolos. Makasih ya." kata Ella senang.
"Selamat ya Kak." ucap Adira senang.
"Heum ..."
"Vania ..." tegur Ella.
"Iya, selamat juga untukmu. Aku masuk kamar dulu. Karena capek habis dari salon dan belanja." pamer Vania.
Adira juga memasuki kamarnya. Dia menatap baju-baju yang dibelikan Ibunya. Juga ada tas dan sepatu.
"Makasih Ibu..." batin Adira senang.
Keesokan harinya, Adira datang ke sekolah masih mengunakan ojek sedangkan Vania di antarkan oleh Ibunya. Karena beda arah, itulah alasan Ella untuk tidak mengantarkan Adira.
"Ehhh, pemenang lomba udah datang." seru salah satu siswi yang merupakan rival Adira. Dia juga mengikuti lomba olimpiade, namun kalah.
"Bagaimana rasanya? Dibanggakan satu sekolah? Pasti senangkan?" ucapnya remeh. "Tapi jangan senang dulu. Tandinganmu di kabupaten pasti lebih sulit dari yang kamu bayangkan." lanjutnya lagi.
"Udah? Sekarang aku tanya sama kamu, bagaimana rasanya malu akibat kalah? Apalagi kamu kan udah pamer sana-sini dengan mengatakan kalau kamu akan menang!" cibir Adira.
"Lancang kamu ya." lanjut siswi tersebut bernama Kesya, dia hendak menampar Adira.
"Jangan main-main denganku. Atau mau aku sebarkan, jika selama ini kamu merayu guru kimia?" bisik Adira menahan tamparan Kesya.
"Kamu ..." tunjuk Kesya.
"Simpan saja energimu untuk guru tersebut." cibir Adira berjalan menuju bangkunya.
Kesya geram, sekaligus penasaran. Bagaimana bisa hal yang ditutupi serapat mungkin bisa diketahui oleh Adira.
Adira mengetahui hal tersebut saat dia jalan-jalan di alun-alun bersama Ayahnya. Dia melihat tak jauh dari tempat ia duduk, jika Kesya sedang bersandar di bahu guru tersebut. Dan bahkan sesekali sang guru mengecup pucuk kepala Kesya.
Yang Adira tahu, jika Kesya merupakan gadis yatim. Dan guru tersebut masih muda, juga belum menikah. Namun, kalau disekolah hubungan mereka layak seperti seorang guru dan murid.
...🍁🍁🍁🍁🍁...
Tanpa memberitahu Ayah dan Ibunya, sepulang sekolah, Vania mengajak gengnya untuk datang kerumahnya . Dia ingin mengadakan pesta kecil-kecilan untuk merayakan kemenangannya.
"Bu Mar, tolong siapkan cemilan untuk aku dan teman-teman. Dibawa ke kamar ya Bu."
"Emang ada acara apa Vania?" tanya Bu Mar.
"Udahlah, gak usah banyak tanya. Yang penting siapin aja apa yang aku katakan. Pembantu aja, sok belagu." ujar Vania kesal.
"Baik." jawab Bu Mar.
Tak berapa lama, Adira juga pulang sekolah. Dia telat karena ojek yang biasa di naikinya tidak datang untuk menjemputnya.
"Bu Mar," panggil Adira lesu.
"Eh, kenapa pucat sekali?" tanya Bu Mar khawatir.
"Gak apa Bu, cuma kecapean dan lemas aja."
"Kamu demam nak." memegang dahi Adira.
"Bu, kok belum di antar sih." teriak Vania dari pintu kamarnya.
"Eh iya, bentar Vania."
"Oya, kamu jangan sesekali keluar dari kamar. Karena aku gak mau jika teman-temanku tahu jika aku punya adik. Apalagi adiknya modelan kamu." ucap Vania menghampiri Adira. "Kamu dengar kan?" mencengkram bahu Adira.
"Sudah
Hari sudah sore, Afandi dan Ella baru saja tiba di rumah. Saat mereka tiba, tidak terlihat ada Adira di ruang keluarga. Hanya ada Vania yang sibuk dengan ponsel pintarnya.
"Adira mana? Ibu bawakan martabak manis."
"Yee kesukaanku. Makasih Bu." ucap Vania. "Adira kayaknya dikamar deh Bu, dari tadi habis pulang sekolah gak keluar-keluar. Padahal tadi ada temanku datang kesini, mereka juga ingin bertemu sama Adira saat aku menceritakan kalau aku punya seorang adik, yang juga menang olimpiade." bohong Vania.
"Kok Adira gitu sih. Ya sudah kamu makan aja sendiri. Nanti kalau ia lapar pasti keluar dari kamarnya." ujar Ella kesal.
Saat mereka memulai untuk makan malam, Adira tak kunjung keluar dari kamarnya. Namun, tak satupun diantara mereka yang mengingat Adira. Apalagi Vania yang sibuk bercerita tentang guru-guru yang bangga terhadapnya disekolah.
Menyadari Adira tak juga kunjung keluar kamar, Afandi hendak melihatnya.
"Ayah mau kemana?" tanya Vania melihat Ayahnya bangkit.
"Mau lihat Adira dulu." sahut Afandi.
"Udahlah Yah, mungkin dia merasa bersalah sama Vania, karena tadi dia kan gak keluar saat teman Vania datang." larang Ella.
Akhirnya Afandi pun, kembali ke tempat semula.
Karena sudah kelaparan, Adira keluar dari kamarnya menuju dapur. Dia melewati Ayah, Ibu dan juga Vania yang berada diruang keluarga.
"Kamu sakit? Kok pucat gitu." tanya Afandi.
"Halah, itu pasti karena kelaparan." sahut Ella. Bahkan dia tidak menatap Adira.
"Oo benarkah? Ya udah kamu makan aja dulu." ucap Afandi melanjutkan tontonannya. Sedangkan Vania hanya tersenyum sinis.
Adira melihat nasi yang berada di magicom, hanya sedikit. Dan tersisa satu potong ikan. Untuk sayur mayur sudah habis. Karena sangat lapar, Adira pun makan dengan menu tersebut.
Setelah makan, Adira pun ikut nimbrung bersama keluarganya. Namun, Vania langsung pura-pura sesak saat melihat kedatangan Adira. Dia tidak mahu jika orangtuanya memperhatikan Adira yang masih pucat.
"Dira, ambilkan inhaler di kamar Vania." ujar Ella panik, begitu juga dengan Afandi.
"Cepetan, kok lelet amat sih." teriak Ella.
Setelah memberikan inhaler Adira pun memasuki kamarnya, dia menyayangkan dirinya yang hanya demam. Masih dengan doa yang sama, Adira berharap keajaiban agar dia merasakan sakit.
"Sudah Yah, Bu... Aku gak apa-apa. Mungkin karena kecapean aja karena kedatangan teman-teman." lirih Vania.
"Makanya, kenapa Ibu melarang kamu membawa teman-teman, karena Ibu gak mau kamu kenapa-napa sayang." memeluk Vania, sembari mengelus lembut punggungnya. Dan Vania hanya tersenyum karena kemenangannya.
Rasany ngk enk bget