Ettan Naraya tak pernah menyangka, jika kepulangannya ke kampung halaman untuk menjenguk adik kembarnya, berubah menjadi pernikahan dadakan untuknya.
"Bu, ngga mungkin aku menikahi Fatmala, aku punya kekasih!" ujar Ettan geram.
"Ibu mohon Ra, demi menjaga nama baik keluarga kita Nara, Fatma ... hamil," lirih Mayang.
Bak petir menyambar, Ettan terkejut mendengar penuturan sang ibu. Ia tak menyangka jika adiknya yang terlihat alim dan pemalu itu berani menghamili seorang gadis, yang tak lain adalah keponakan dari orang kepercayaan keluarga mereka.
Ettan Naraya seorang lelaki berpendirian teguh harus terjebak dalam situasi rumit kisah asmara adiknya. Terlebih lagi dia harus mengusut misteri tentang kematian adik kembarnya.
Mampukah Ettan Naraya memegang teguh prinsipnya sebagai lelaki?
Dan mebongkar kasus kematian adiknya?
Ikuti lika liku kisah mereka, jangan lupa tinggalkan Fav, like dan komen ya untuk dukung saya, terima kasih.
Follow juga
Fb:Vi Redwhite
IG :@vi_redwhite
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hamil
Aku mengikuti keinginan ibu untuk menjenguk Fatmala di rumah sakit.
Ibu berkata bahwa biaya rumah sakit harus diurus oleh kami. Karena bagaimanapun Fatmala bekerja untuk keluarga kami.
Di dalam mobil, aku bertanya pada ibu tentang hubungan Nathan dan Fatmala.
"Bu, apa hubungan Bara dengan Fatmala sangat serius?" tanyaku.
Ibu menghembuskan napasnya, "Ibu ngga tau mereka sedekat apa, tapi Bara pernah bilang kalo 'dia itu menjalin kasih dengan Fatma', tapi akhir-akhir ini Bara seperti agak menjauhi Fatmala," jelas Ibu.
"Mungkin mereka sedang bertengkar Bu," balasku.
"Ibu ngga tau Ra."
"Apa Bara pernah bilang mau serius sama Fatma Bu?"
Ibu menoleh menatapku, "Engga, Bara belum bilang mau serius sama Fatma."
"Kenapa kamu tanya kaya gitu Ra?"
Aku ragu-ragu, apa harus memberitahunya perihal Fatmala yang dengan berani masuk ke kamar mendiang adikku.
"Engga pa-pa Bu, cuma kayaknya Fatma kehilangan banget," biar lah aku memilih berdusta dari pada membuat ibuku ke pikiran.
Kami sampai di rumah sakit, aku menurunkan ibu di pintu masuk rumah sakit, agar dia tak perlu berjalan jauh dari tempat parkir.
Kami sudah tahu di mana letak ruangan Fatmala, jadi kami memutuskan untuk langsung menuju ruangannya tanpa perlu bertanya kepada resepsionis.
Saat kami sampai di depan ruangannya, terdengar suara Paman Wira yang sedang membentak Fatmala. Aku tidak tahu ada apa.
Ibu bergegas masuk tanpa mengetuk pintu. Aku mengikutinya dari belakang.
Huft ... kuhembuskan napas, ternyata Fatmala baik-baik saja. Namun sepertinya gadis itu sedang menangis.
Dia di rawat di kelas dua, di mana tersedia ranjang lain di sebelahnya. Pantas saja Paman Wira membentaknya, ternyata tak ada siapa pun selain mereka di kamar ini.
"Ada apa Wira?" tanya Ibuku sambil memeluk Fatmala yang menangis di atas ranjangnya.
"Hemm, Itu Bu Mayang ...," terlihat sekali Paman Wira seperti enggan menjelaskan.
Ibuku beralih menatap Fatmala. "Ada apa Fatma?" Fatmala hanya bisa menggeleng, tubuhnya bergetar hebat.
Paman Wira memilih meninggalkan kami. Wajahnya sangat kusut. Aku memilih mengikuti pria paruh baya itu. Mungkin dia akan mengatakan masalahnya, jika hanya ada kami berdua.
"Paman."
"Huft!" Dia menyugar rambutnya gusar, sepertinya tengah memikirkan sesuatu.
"Ayo kita ke kantin," ajakku.
Kami berjalan beriringan, tak ada percakapan selama perjalanan kami.
Saat sampai aku memesan dua cangkir kopi untuk kami berdua.
"Paman, bisakah Paman menjelaskan padaku seluk beluk perkebunan?"
Paman menatapku, "perkebunan baik-baik saja, Nathan mengurusnya dengan baik, apa kamu mencemaskan nasib perkebunan?"
"Iya, aku tidak tau menau mengenai perkebunan Paman, tapi bagaimanapun, sepertinya aku harus mulai turun tangan. Bisakah Paman membantuku?"
"Tenang saja, Paman yakin kamu mampu."
Aku memilih topik membahas mengenai perkebunan dari pada harus menanyakan apa yang tengah dia pikirkan.
Bagiku itu terlalu ikut campur. Aku bersedia mendengarkan jika memang dia ingin menceritakan masalahnya.
Sebenarnya aku ingin menanyakan lagi bagaimana dulunya Nathan mengurus perkebunan. Namun, entah kenapa aku agak enggan bertanya dengan Paman Wira. Lebih baik aku menanyakan pada Ibu nanti.
Hingga kopi kami habis, obrolan kami hanya percakapan ringan saja, tak ada tanda-tanda dia ingin menceritakan permasalahan yang tengah di pikirkannya.
Setelahnya, kami memutuskan untuk kembali ke ruang rawat Fatmala. Semoga ibu sudah berhasil menenangkan gadis itu.
Saat aku masuk, ibu dan Fatmala tampak saling berdiam diri. Lantas ibu bangkit dan menyeretku keluar ruangan.
"Ada apa Bu?" tanyaku bingung.
"Nara ... Fatmala hamil," ucapnya melirih di akhir kalimat.
Aku hanya menaikkan sebelah alisku. "Lalu? Jangan bilang itu ... anak Bara," ucapku terjeda karena enggan menyebut nama mendiang adikku.
Ibu hanya mengangguk dan kembali terisak. Aku kembali memeluknya.
Ya Tuhan, masalah apalagi ini. Aku benar-benar tak menyangka jika adikku yang terlihat lugu itu bisa menghamili seorang gadis.
Lalu bagaimana nasib Fatmala dan calon keponakanku nanti. Kepalaku kembali berdenyut nyeri memikirkan berbagai cobaan yang saat ini tengah mendera keluarga kami.
Ibu menguraikan pelukannya. Dia menatapku dengan sendu.
"Nara ... Ibu mohon menikahlah dengan Fatmala," pintanya.
Sontak aku bergeming. Menikah? Apa aku tidak salah dengar?
"Bu!" kataku sedikit keras, tapi setelah melihat ibu terkejut, aku kembali merendahkan nada suaraku. "Kenapa harus aku Bu? Aku sudah punya kekasih, dan Ibu tau itu," jelasku.
"Ibu tau, tapi apa kamu tega mendiang adikmu di per olok orang-orang? Sudah cukup menyedihkan adikmu berpulang dengan cara yang tragis, apa perlu menambah bebannya menjadi bahan gunjingan lagi akibat kelakuannya?"
Aku mengerti maksud ibu, tapi apa aku sanggup menikahi Fatmala. Gadis yang sama sekali tak aku cintai.
Aku menyugar rambut, pikiranku kalut, permintaan ibuku membuat kepalaku sakit.
Aku memilih mendudukan tubuhku di depan ruang rawat inap Fatmala. Aku butuh sandaran, masalah datang terlalu bertubi-tubi dan menghantamku.
"Maafkan Ibu Nara, tapi hanya ini cara satu-satunya menyelamatkan nama baik keluarga kita, nama baik adikmu, juga nama baik Fatmala," jelas ibuku. Dia duduk di sebelahku menepuk punggungku pelan.
"Aku ngga mengenalnya, Agama jelas melarangku untuk menikahi Fatmala Bu!"
"Ibu tau, hanya sekedar untuk menutupi kesalahan mereka saja, Ibu mohon," ucap Ibuku dengan pandangan sendu.
Jelas aku tak tega mendengar permohonan ibuku. Tapi menikahi Fatmala jelas bukan keinginanku.
Tiba-tiba wajah Sherly datang di benakku. Aku memikirkan gadisku. Gadis yang sudah menemaniku selama lima tahun ini.
Kami sudah berjanji akan melangsungkan pernikahan tahun depan. Lalu bagaimana nasib percintaan kami.
"Bu, apa ngga ada cara lain? Aku akan menghidupi Fatmala dan juga anaknya. Tapi aku mohon, ngga harus menikah juga."
"Gimana Sherly Bu, aku udah janji akan menikahinya," lanjutku.
Ibu menarik napas dan menghembuskannya secara perlahan. "Baiklah, hanya untuk status anak adikmu, jangan sampai dia nanti menjadi bahan gunjingan tetangga, Ibu ngga sanggup bayanginnya Nara."
"Aku tetap menikahinya?"
"Hanya sampai bayi itu lahir, gimana?" tawar Ibuku.
Aku memikirkan perkataan ibuku. Memang benar apa yang ibuku katakan tidak mungkin selamanya Fatmala bersembunyi, saat bayi itu lahir, pasti nasib keponakanku satu-satunya dari Nathan akan menjadi bahan gunjingan.
Maafkan aku Sherly, aku tidak bermaksud menghianatimu, aku harus menolong adik dan juga keponakanku. Semoga kamu mau mengerti.
Kupejamkan mata, kusanggah kepalaku menggunakan kedua lengan yang bertumpu di lutut. Akhirnya aku mengangguk pasrah.
"Terima kasih Nara. Kamu memang anak ibu yang paling baik, terima kasih."
Tak henti-hentinya ibu mengucapkan terima kasih atas kesediaanku menikahi Fatmala.
"Ibu harus tepati janji, setelah Fatma melahirkan, aku akan ... menceraikan Fatmala," tercekat dengan kata yang sama sekali tak pernah aku bayangkan sebelumnya.
Ibu tersenyum, lantas menggandeng tanganku untuk kembali masuk ke dalam ruangan Fatmala.
"Fatma, Nara akan menikahimu," ucap ibuku yang membuat Fatmala dan Paman Wira menatap ke arahku.
.
.
.
Tbc.
itu lh q suka nya klw bc novel yg udh end ...
bisa bc terooosss smpe siapp