Prince play boy tingkat dewa yang sudah terkenal dengan ketampan nya, cukup dengan lirikan nya mampu membuat para kaum hawa menjerit histeris meminta Prince untuk menikahi mereka.
Suatu hari Prince mendapatkan tantangan untuk memacari siswi terjelek disekolah nya selama seminggu, namun jika ia menolak hukuman yang harus ia terima yaitu memutuskan semua pacar nya yang sudah tidak terhitung jumlah nya.
Prince mau tak mau menerima tantangan teman nya yaitu memacari adik kelas nya yang di cap siswi terjelek disekolah.
Berniat untuk mempermainkan adik kelas nya, Prince justru terjebak oleh permainan nya sendiri.
bagaimana kelanjutan nya, langsung cek sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulismalam4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Petunjuk
Pagi itu, Prince duduk di taman belakang sekolah. Tempat yang biasanya mereka pakai buat kabur dari kelas, ngobrol hal-hal nggak penting, dan kadang cuma buat saling diam sambil nyemil es krim .
Tapi hari ini… kursi di sebelahnya kosong. Dan sudah terlalu sering kosong.
Tangan Prince menggenggam selembar foto lusuh—foto candid Margaret yang diam-diam dia ambil saat gadis itu tertidur di ruang UKS waktu pelajaran olahraga. Waktu itu Margaret bilang, “Jangan fotoin gue pas jelek, lo,” tapi senyumnya waktu ngomel justru bikin foto itu jadi kesayangan Prince.
"Yang..." gumamnya pelan,
“Gue gak tahu harus nyari lo ke mana lagi…”
Langkah kaki mendekat. Karin duduk di sampingnya, membawa dua botol air mineral.
“Lo gak bisa terus nyalahin diri sendiri, Prince.”
“Tapi gue janji jagain dia, Rin.
"Gue janji... tapi dia ilang.”
Karin menunduk, wajahnya juga mulai pucat. Mereka sudah kehabisan arah. Setiap jejak yang mereka kira petunjuk, cuma jalan buntu. Polisi pun—entah kenapa—terlalu tenang. Terlalu pasif.
“Gue mimpiin dia semalam,” bisik Prince.
“Dia pake jaket biru, yang gue beliin pas ulang tahun. Duduk di pojok kamar, senyum ke gue... tapi gak ngomong apa-apa.”
Karin meliriknya. “Mimpi bisa jadi tanda.”
“Atau cuma pikiran gue yang udah terlalu rusak,” jawab Prince getir.
Angin meniup pelan rambut prince yang baru tumbuh.
Matanya sembab, tapi tidak menangis. Karena tangisan Prince sekarang bukan lagi air mata—tapi diam.
“Lo tau nggak... bahkan suara Margaret mulai ilang dari kepala gue.
Dulu dia selalu marah ngeliat gue telat' tiap hari, sekarang… hening.”
"2 bulan Rin, sudah 2 bulan dia hilang"
“Gue takut...
takut suatu hari gue gak inget lagi suara dia.”
Karin menahan air mata, lalu meremas bahu sepupunya itu, Karin memegang tangan sepupu nya itu yang penuh tatto.
“Lo gak sendiri, Prince. Gue juga sayang dia.”
Prince menarik napas panjang, menatap langit.
“Kalau ada satu orang di dunia ini yang tahu di mana dia...
tolong, tunjukin. Sebelum gue kehilangan semua akal sehat gue.”
Di kejauhan… Arkan berdiri di balik jendela kelas lantai dua.
Menatap Prince yang duduk di taman, dari kejauhan, tanpa satu ekspresi pun.
Diam.
Mata itu kosong, tapi tajam.
Dan dalam pikirannya…
“Lo gak akan bisa rebut dia lagi, Prince. Karena sekarang dia udah...
milik gue sepenuhnya.”
_____________
Hari itu mendung. Seperti biasa, Prince duduk di sudut kantin bersama Bian, Gio, Andrew, dan Karin. Hanya suara sendok menabrak gelas, obrolan kecil di meja lain—dan diam yang menggantung di antara mereka.
Hingga...
Tring!
Notifikasi masuk di ponsel Prince. Nomor tak dikenal.
[Nomor Tidak Dikenal]
"Jika kau ingin menemukan Margaret... lihat ke arah utara. Kota di antara kabut. Dia hidup. Tapi tak lama."
Prince membaca berulang kali. Tangannya sedikit gemetar.
“Lo lihat ini,” gumamnya, memberikan ponsel itu ke Karin.
Karin membaca cepat. Wajahnya menegang.
“Ini... bukan spam. Ini serius.”
Gio mencondongkan tubuh, penasaran. “Siapa yang ngirim? Lo punya kecurigaan?”
Prince menggeleng. “Nomor asing. Gak tersimpan. Dan bukan gaya orang-orang yang pernah dekat sama kita.”
Andrew bersandar. “Tapi aneh banget. Kalimatnya kayak... sengaja dibuat dramatis.”
Karin sudah membuka laptopnya, mencoba lacak jejak IP pengirim.
“Dibypass. Terlalu bersih. Reroute dari jaringan luar negeri. Siapa pun ini... dia tahu caranya tetap tak terlihat.”
“Tapi kalimat ini,” gumam Prince, ‘Dia hidup. Tapi tak lama.’
“Seolah dia tahu kondisi Margaret sekarang.”
Karin menatap Prince. "Prince lo ingetkan kata dokter waktu margaret masih di rumah sakit, dia hanya punya waktu 3 bulan dan sekarang dia sudah hilang 2 bulan"
Hening sesaat.
Bian menatap Prince. “Kita gak punya petunjuk lain. Mungkin... ini jalan satu-satunya.”
Prince menatap Karin. “Lo bisa bantu? Temuin kota yang mereka maksud?”
Karin berpikir sejenak, lalu mengangguk.
“Kalau ‘kota di antara kabut’, kemungkinan besar yang dimaksud adalah Argapura di majalengka. Kota yang memang sering diselimuti kabut terutama pagi hari.”
Gio bangkit. “Lo serius mau ke sana?”
Prince menatap tajam.
“Gue gak bisa nunggu. Kalau ini bener… Margaret butuh gue sekarang.”
Andrew menambahkan, “Kita bisa bawa perlengkapan. Kamera, GPS, HT. Buat jaga-jaga.”
Semua mengangguk.
____________
Malam itu, ruang belajar rumah Karin menjadi pusat persiapan diam-diam.
Peta terbuka di atas meja. Laptop menyala dengan peta digital. Di sekelilingnya duduk Prince, Karin, Gio, Andrew, dan Bian. Semua wajah serius.
“Argapura,” ujar Karin sambil menunjuk titik kecil di utara.
“Jarak sekitar lima jam dari sini, kalau lewat jalur bypass. Tapi jalannya sempit dan kabut pagi bisa nutup visibilitas.”
“Kita jalan jam tiga subuh,” tambah Prince.
“Sampai sana pagi. Kita sewa penginapan dulu, baru mulai keliling. Gue gak peduli seberapa samar petunjuk ini—kalau ada satu persen kemungkinan Margaret ada di sana, gue bakal cari.”
Bian melemparkan ransel ke lantai.
“Gue udah siap. HT, baterai cadangan, lampu senter, dua pisau kecil, dan jam tangan survival.”
Andrew nyengir. “Gila, lu kayak mau masuk hutan.”
“Kita gak tau medan di sana,” balas Bian dingin. “Gue cuma gak mau salah langkah.”
Karin membuka halaman baru di laptopnya.
“Gue bakal bawa laptop dan modem eksternal. Kalo kita nemuin sinyal atau jaringan aneh, gue bisa lacak dari sana.”
Prince berdiri, menyender di dinding.
“Kita gak bisa bilang ini ke siapapun. Termasuk keluarga kita, guru, bahkan polisi.”
Gio mengangkat alis. “Kenapa?”
“Karena gue rasa ada yang nutup-nutupin kasus ini,” ujar Prince pelan.
“Gue gak punya bukti, tapi dari sikap polisi dan cara mereka nge-handle laporan Margaret yang menghilang… semuanya terlalu tenang. Terlalu bersih.”
Semua saling pandang. Tak ada yang membantah.
“Kita cuma bisa percaya sama diri kita sendiri,” lanjut Prince.
Lalu…
Tring.
Notifikasi pesan masuk lagi ke ponsel Karin.
Sebuah gambar—peta jalur lama ke Liora, dan sebuah titik merah yang diberi label: “Dia dekat sini.”
“Dia kirim peta sekarang?” tanya Andrew.
“Dia masih bantuin kita,” gumam Karin.
“Tapi gak kasih nama. Gak ada jejak. Gue udah coba jejak ulang via sistem jaringan, hasilnya kosong.”
Prince mengepalkan tangan.
“Gak apa-apa. Selama dia bantu cari Margaret… gue gak peduli dia siapa.”
Sementara itu…
di sebuah apartemen yang tenang…
Arkan duduk di ruang kerjanya, menatap layar CCTV dari ruang pengawasan tempat Margaret dirawat.
Ruang itu gelap, hening. Margaret tertidur. Selimut menutupi tubuh rapuhnya. Mesin infus berdetak perlahan.
Namun—tidak ada layar yang memantau rumah Karin.
Tidak ada rekaman. Tidak ada audio.
Arkan tidak tahu apapun.
Dan itulah yang membuat rencana ini… masih punya peluang berhasil.
Arkan menatap Margaret, lalu berdiri dan menyentuh layar.
“Lo mulai tenang... akhirnya,” bisiknya.
“Dan gue janji… lo gak akan pernah sakit lagi.”
Keesokan dini hari.
Mobil hitam kecil melaju pelan di jalan sunyi.
Di dalamnya, Prince duduk di depan. Tangannya menggenggam erat foto Margaret.
Tunggu gue, Yang… Kali ini gue gak bakal telat.