NovelToon NovelToon
Demi Apapun Aku Lakukan, Om

Demi Apapun Aku Lakukan, Om

Status: sedang berlangsung
Genre:Dikelilingi wanita cantik / Duda
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Naim Nurbanah

Kakak dan adik yang sudah yatim piatu, terpaksa harus menjual dirinya demi bertahan hidup di kota besar. Mereka rela menjadi wanita simpanan dari pria kaya demi tuntutan gaya hidup di kota besar. Ikuti cerita lengkapnya dalam novel berjudul

Demi Apapun Aku Lakukan, Om

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5

Salsa menatap Lina yang sudah berdiri di depan pintu rumah utama dengan rasa penasaran terselip di wajahnya.

“Tante Lina, ya?” sapanya lembut di pagi Minggu yang tenang itu. Lina mengangguk pelan sambil melangkah masuk. Ada sesuatu yang berbeda dari penampilannya, wajahnya masih menebar keramahan, tapi matanya seperti membawa cerita yang tak mudah terucapkan.

“Iya, benar! Kamu Salsa, kan? Wah, kamu sudah besar dan makin cantik saja,” Lina tersenyum hangat sambil membelai pipi kanan lalu kiri anak muda itu dengan lembut. Salsa merona, memegang tangan Lina yang masih menyentuh pipinya.

“Terima kasih, Tante. Tante baru pulang dari luar negeri, ya? Ayah bilang Tante ke luar negeri, jadi sudah hampir setahun Tante nggak ke sini.” Suaranya bergetar kecil, ada harap yang ingin tahu di balik kata-katanya. Lina mengerutkan kening, tapi senyumnya tidak pudar. Hatinya bergetar halus mendengar Marcos ternyata sempat bercerita soal kepergiannya kepada putrinya. Rasanya dia benar-benar berarti di mata pria itu.

“Hem, kok rumahnya sepi, ya? Mana ayah Marcos?” Lina melangkah masuk ke ruang tengah, duduk santai di sofa seolah tempat itu sudah lama jadi rumah kedua baginya. Ia memandang sekeliling dengan mata penuh selidik, tapi juga seakan mencari kedekatan yang lama hilang.

Salsa menunduk pelan, suaranya pelan dan terbata. "Ayah semalam tidak pulang. Aku ditemani teman kuliah, tapi dia sudah pulang sebelum tante Lina datang ke sini." Matanya tak lepas menatap lantai seolah mencari keberanian.

Lina tersenyum tipis, mencoba menutupi rasa canggung. Ia melangkah mendekat, suaranya hangat, "Oh begitu. Kalau begitu, gimana kalau kita masak-masak yuk? Sambil nunggu ayah Marcos datang, kita buat makanan kesukaan beliau."

Tiba-tiba tangan Lina mengecup ujung jari Salsa, berharap kedekatan itu bisa menembus tembok dingin di antara mereka. Dalam hatinya, Lina membayangkan Marcos yang selalu tampak memesona, kaya, dan penuh perhatian. Meski tahu sulit mengikat pria seperti dia, Lina bertekad merangkul putri semata wayangnya dengan lembut.

Pagi itu di sebuah kamar hotel yang remang, Wanda masih terbaring di ranjang bersama seorang pria dewasa. Badan mereka saling menempel, seperti baru saja terbangun dari tidur panjang yang melelahkan. Mata Wanda sudah terbuka, matanya menatap wajah maskulin pria itu dengan tatapan hangat penuh harap. Tangannya perlahan menyusuri pipi pria tersebut, mengusap lembut seolah ingin mengabadikan momen kebersamaan ini.

Om Marcos, duda tampan yang selama ini menjadi pelindungnya, selalu membuat Wanda merasa istimewa. Hatinya berdebar membayangkan jika suatu saat nanti pria itu benar-benar menjadi miliknya. Namun dalam benaknya terselip keraguan, seperti bisikan halus yang mencoba menahan rasa berharap.

“Jangan terlalu ngarep, Wanda. Om Marcos sudah begitu baik memberimu segalanya, bahkan uang untuk kebutuhanmu. Adikmu, Salwa, sedang berjuang di kampus, membangun masa depan. Sementara kau, malah memilih jalan yang jauh lebih sulit,” pikir Wanda sambil terus mengusap rahang keras pria itu, merasakan hangatnya kulit di ujung jarinya.

Ada perasaan campur aduk di dada Wanda; senang tapi juga tertekan, bangga sekaligus malu pada dirinya sendiri. Semua ini terasa begitu berat untuk dia hadapi sendirian.

Pria itu masih terlelap di tempat tidurnya, napasnya tenang membelah keheningan kamar. Wanda pelan turun dari ranjang, langkahnya ringan namun wajahnya sudah berseri. Dia segera mengangkat telepon hotel di meja samping, jari-jarinya gesit menekan nomor pesanan. Setelah mandi, Wanda menunggu pelayan datang dengan meja dorong penuh makanan dan minuman yang sudah ia pesan.

“Oke, biar aku yang bayar,” suara om Marcos tiba-tiba mengisi ruangan.

Ia menyodorkan dompet tebal ke tangan Wanda dengan senyum hangat. Wanda menerima, menghitung tagihan dan menyerahkan uang pada pelayan tanpa ragu.

Saat makanan tersaji rapi, Wanda duduk di tepi tempat tidur. “Kamu sudah mandi?” tanya Tuan Marcos dengan suara lembut, tangannya meraih handuk besar yang tergantung.

Tiba-tiba Wanda bergerak mendekat dari belakang, melingkarkan tangan erat di pinggang pria itu. Napas hangatnya menyentuh lehernya, matanya penuh harap ingin mengulang momen semalam yang manis. Tuan Marcos tersenyum lebar, matanya berbinar menyambut pelukan tulus itu.

Wanda berdiri di depan Tuan Marcos, matanya berkilau campur malu saat pria itu meraih tangannya yang memeluk pinggangnya erat. Suasana tiba-tiba berubah hangat, seperti seorang ayah yang sedang menatap putrinya yang kini mulai tumbuh remaja. Wanda malah melingkarkan tangannya ke leher Tuan Marcos, dengan ujung kaki berjinjit, mencoba mengecup bibir tebal pria itu yang lebih tinggi darinya.

“Terima kasih banyak, Om. Om sudah bantu aku banget, bisa bayar kuliah aku dan adik, juga kasih jajan buat adik,” suaranya pelan, penuh haru dan lega. Wanda menatap pria itu dengan penuh rasa syukur.

Tuan Marcos membalas dengan senyum lebar, matanya menyiratkan rasa puas dan hangat. “Syukur kalau uangnya benar-benar buat biaya kuliah kamu dan adik. Om senang bisa bantu.”

Tuan Marcos melepas pelukan Wanda dengan pelan, suaranya agak tergesa, “Oh iya, aku harus mandi dulu.”

Ia lalu melangkah ke kamar mandi, melepaskan lilitan handuk yang selama ini menutupi tubuhnya. Air shower mengalir deras, membasahi kulitnya yang mulai dibersihkan dengan gerakan terburu-buru. Tak lama, Wanda mengikuti masuk, diam-diam berdiri di balik pancuran air yang mengalir.

“Tunggu, Wanda,” gumam Tuan Marcos, sedikit terkejut melihat wanita itu ikut di bawah air yang sama. Wanda meraih botol sabun cair dan mulai menggosokkan perlahan ke punggung Marcos. Senyumnya hangat dan penuh tawaran.

“Biar aku saja yang mandiin, Om Marcos.”

Suara gemericik air memenuhi ruangan kecil itu. Marcos menelan ludah, mencoba menahan detak jantung yang tiba-tiba makin cepat, berusaha keras menjaga jarak agar perasaan tidak terjerumus. Dalam diam, pikirannya sudah melayang pada rumah yang menanti, secepat mungkin ingin ia kembali ke sana.

Wanda melirik Tuan Marcos dengan mata berbinar, berusaha menyelipkan senyum nakal.

"Wanda, jangan lagi menggoda aku. Ini harus beneran mandi, oke?" Tuan Marcos terkekeh, tapi suara itu menyimpan nada peringatan lembut. Wanda menggigit bibir bawahnya, pipinya langsung merona merah saat mencoba membujuk,

"Tapi om, Wanda mau..."

Tuan Marcos menggeleng pelan, wajahnya serius tapi penuh perhatian. "Tidak! Lain kali saja. Bukannya tadi malam kita sudah begadang sampai pagi? Sisakan tenaga untuk yang lain, ya. Hari Minggu ini kamu boleh ajak adikmu jalan-jalan. Nanti aku kasih uang jajan, bagaimana?"

Wanda mengangguk cepat, tapi raut kecewa samar tergambar di sudut bibirnya. Dengan langkah kecil, ia mencoba suara manja lagi, "Om Marcos, lain kali boleh nggak aku main ke rumah om Marcos?"

Jawaban Tuan Marcos terdengar tegas dan tak bisa ditawar, "Tidak boleh!" Wanda menarik bibirnya jadi cemberut, lalu berbalik meninggalkan kamar mandi. Tuan Marcos tetap berdiri di bawah shower dingin, wajahnya tetap hangat meski tubuhnya diguyur air.

Tuan Marcos menatap kosong ke arah shower yang memercikkan air dingin ke wajahnya. Matanya terpejam erat, seolah air itu bisa mencuci sekaligus membawa pergi semua penyesalan yang mengganjal.

"Seandainya saja aku menemukan wanita seperti mendiang istriku dulu," gumamnya lirih, napasnya berat.

Pikiran tentang malam-malam penuh gelisah bersama Wanda dan wanita lainnya tiba-tiba menyeruak, membuat dadanya semakin sesak.

"Mungkin aku sudah bertobat. Tak lagi tersesat dalam kesenangan yang sia-sia."

Hari mulai merunduk, menyisakan sinar jingga yang hangat saat tuan Marcos membuka pintu rumahnya. Dari balik jendela, matanya menangkap sosok Salsa dan Linda duduk santai di taman belakang, asyik dalam percakapan yang terdengar riang. Alis tuan Marcos mengerut samar saat melihat Linda ada di sana, tak disangka. Salsa, yang tiba-tiba berdiri, berlari kecil menghampiri ayahnya, memeluk lengan tuan Marcos dengan manja.

"Ayah," suaranya lembut, penuh harap. Pria itu membalas dengan senyum lebar, bahagia melihat putrinya yang biasanya pendiam menunjukkan sisi lembut seperti ini.

"Kok di rumah saja? Enggak jalan-jalan hari Minggu ini?" tanyanya, nada suaranya mencampur antara penasaran dan hangat. Salsa mengangguk cepat sambil bergelayut di lengan ayahnya,

"Aku sebenarnya mau ngajak ayah nonton. Eh, Tante Lina sudah datang sejak pagi dan dia masak makanan kesukaan ayah, lho. Gimana kalau kita makan dulu, ya?"

Tuan Marcos melempar pandang ke arah Linda yang hanya membalas dengan senyum lebar, matanya bercahaya melihat kehangatan hubungan ayah dan anak itu. Dengan sedikit tertawa kecil, tuan Marcos menggenggam tangan Salsa, "Baiklah, ayo kita makan!"

Lina tersenyum kecil, matanya berbinar saat melihat Tuan Marcos mengambil sendok dan mencicipi masakannya. Di sampingnya, Salsa ikut mengamati dengan penuh antusias, selalu memuji tiap hidangan yang terpajang di meja.

"Ayah, dari satu sampai sepuluh, ayah kasih nilai masakan Tante Lina berapa?" tanya Salsa dengan nada berharap. Pria setengah baya itu melirik sekilas ke arah Lina, bibirnya mengerut pelan.

"Hem, lima deh," jawab Tuan Marcos pelan. Wajah Salsa langsung memerah, protes,

"Ih, kok lima sih? Masakan seenak ini masa cuma lima?" Tuan Marcos lalu tertawa kecil dan mengangkat bahu,

"Ya sudah, kalau gitu sebelas saja." Tawa Lina dan Salsa pun pecah lepas, sejenak suasana menjadi hangat. Namun, di balik senyum itu, Tuan Marcos menyimpan rasa kecewa dalam-dalam. Bersama Salsa yang selalu menyukai Lina, dia menutup rapat perasaannya, sejujurnya, dia sudah lelah dan tak ingin lagi melihat Lina.

1
Ika Syarif
Luar biasa
꧁≛⃝❤️𝐌αgιѕηα❀࿐
Momyyy ..
kau ini punya kekuatan super, yaaakk?!
keren, buku baru teroooss!!🤣💪
Xiao Li: beliau ini punya kuasa lima, sekali seeeetttt... langsung melesat. kagak kek kita yang lelet kek keong🤣
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!