Sri dan Karmin, sepasang suami istri yang memiliki hutang banyak sekali. Mereka menggantungkan seluruh pemasukannya dari dagangan bakso yang selalu menjadi kawan mereka dalam mengais rezeki.
Karmin yang sudah gelap mata, dia akhirnya mengajak istrinya untuk mendatangi seorang dukun. Lalu, dukun itu menyarankan supaya mereka meletakkan celana dalam di dalam dandang yang berisikan kaldu bakso.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Rey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MALAM RITUAL
Malam kini menepi, suasana jalanan mulai sepi. Karmin membonceng istrinya melewati perkampungan yang mulai minim penduduk. Setelah melewati Dusun Pla*san, ada jalanan makadam menuju lereng Gunung Kawi. Di kanan kiri masih ada beberapa rumah kuno yang berdiri di antara ilalang dan pepohonan besar.
Jalanan menuju lereng Gunung Kawi ini memanglah berbatu dan penuh kerikil. Hawa dingin pun mulai merambah dan menusuk ke dalam sumsum. Pun aura mistis juga mulai terasa kental. Bau dupa menguar dimana-mana, menandakan ada ritual di setiap bilik yang memang hal lumrah di tempat itu.
"Dingin, Mas." Sri mengeratkan pelukan di pinggang suaminya.
"Sabar, sebentar lagi sampai," kata Karmin.
"Dari tadi tak sampai-sampai, Mas."
"Sabar, jalannya kan memang rusak." Karmin mencoba memberi pengertian kepada istrinya yang mulai lelah.
Jalannya memanglah tak mulus. Ban motor bebek Karmin harus berulang kali selip dan masuk ke dalam lubang bekas bebatuan. Jaman sudah canggih, tapi gelap malam di tempat ini masih terasa mencekam. Malam yang gulita mulai terlihat temaram berkat percikan cahaya rembulan yang enggan menampakkan diri dengan sempurna.
Semakin masuk, lampu jalanan semakin berkurang. Namanya juga memasuki area pegunungan. Penduduk yang tinggal pun hanya mereka-mereka yang sudah paruh baya. Para anak muda sudah pasti berkelana ke kota. Yang tersisa hanyalah mereka yang pasrah pada usia, atau ... mereka yang menghamba pada perjanjian dengan yang tak kasat mata.
Karmin membelokkan motornya ke latar sebuah rumah sederhana yang berdindingkan separuh bambu dan separuh batu bata. Lampu berwarna kuning menggantung di teras rumah itu. Rerimbunan pohon rambutan nampak menambah kesan horor meskipun tak nampak sosok menakutkan. Mistis, itulah hal pertama yang ditangkap oleh desir darah di dalam dada.
"Nah, ini sudah sampai, Dek."
Bau menyan sudah pasti semakin menyeruak, menguasai keadaan yang kian mencekam. Tak jauh dari tempat Karmin dan Sri berada, ada jalanan makadam yang bercabang menuju sebuah pertigaan dengan jalanan tanah yang rusak parah. Di sana memang nampak lebih ramai. Ada beberapa orang berlalu-lalang meskipun sudah gulita. Itu adalah jalan menuju tempat pencarian lelaku pesugihan Gunung Kawi.
Orang bilang, itu jalanan menuju pesarean. Entah apa korelasi antara kuburan dengan pencarian pesugihan? Yang pasti, kuburan itu sangat diyakini bisa membantu urusan ekonomi.
Sedari dulu, Karmin memang tak berminat pergi ke tempat pesugihan yang terkenal itu. Dia tidak mau mendulang bencana. Kabarnya, praktek pesugihan bisa membuat pelakunya dilanda karma dan musibah. Karmin mendengar itu dari kawannya yang bernama Saturi yang bekerja menjadi makelar pesugihan.
"Aku tidak mau kalau melakoni pesugihan. Takut mati mengenaskan." Itulah kata-kata yang selalu terucap dari bibir Karmin.
Ya, tempat pesugihan itu berupa pesarean alias makam leluhur yang konon sakti mandraguna. Di sana, setiap tamu akan dipersilahkan memilih, mau pesugihan monyet, babi ngepet, kandang bubrah, uang balen, menyusui tuyul, atau pesugihan buaya, ular, ikan bandeng, dan lain sebagainya.
Karmin pernah diantarkan oleh Saturi ke sana. Dia diminta agar melongok ke dalam sebuah sumur tua untuk melihat tumbal apa yang diminta oleh si demit yang akan diajak bekerjasama. Karmin gemetar saat melihat wajah Ghea, anak semata wayangnya ada di sana. Dia tidak akan menjadi ayah yang tega mengorbankan anak demi harta.
"Kenapa demitnya meminta Ghea? Kenapa tidak Sri saja?" Kala itu, Karmin berseloroh sekenanya.
Jadi, Karmin saat itu memutuskan untuk pergi ke dusun lain yang bersebelahan dengan tempat praktek pesugihan itu. Karmin mendatangi Mbah Samijan, tentu saja atas saran dari sahabatnya juga, Saturi. Saturi juga mengantarkan Karmin malam itu, dan Karmin pun setuju dengan syarat yang diminta oleh sang dukun.
Lamunan Karmin tentang perjalanannya saat pertama kali diantar Saturi ke rumah Mbah Samijan buyar saat dukun itu sudah berdiri di tengah pintu dengan senyum mengembang lebar.
"Kirain gak bakalan datang, Min?" Si dukun bersua.
"Pasti datang, Mbah. Saya butuh uang banyak, heheheh." Karmin nampak cengengesan, seperti biasanya.
"Bagaimana? Ada hasil gak, Min?" tanya Mbah Samijan.
"Banyak, Mbah. Bakso saya laris manis berkat kolor mangkak itu," sahut si cungkring Karmin.
"Masuklah. Aku akan mengasah kolor itu agar bakso kalian semakin laris manis." Si dukun pun nampak tertawa-tawa.
"Baik, Mbah."
Karmin dan Sri segera masuk dan duduk di ruang tamu Mbah Samijan dengan ekspresi berbeda. Karmin nampak senyam-senyum dengan perasaan dan pikiran bahagia. Sedangkan Sri nampak gelisah tanpa sebab.
"Minumlah ini!" Mbah Samijan memberikan dua gelas berbeda kepada sepasang suami istri itu.
"Ini jahe hangat untuk Sri, dan ini kopi pahit untuk Karmin," tandasnya.
"Kenapa berbeda, Mbah?" Sri nampak mengernyitkan kening. Dia agak risau.
"Jahe hangat diramu khusus agar kamu memiliki stamina yang mak greng dan mak nyoss saat ritual berlangsung nanti. Sedangkan kopi pahit ini diramu khusus untuk Karmin, agar suamimu terus terjaga dan tidak mengantuk selama prosesi ritual dan persembahan di kamar nanti." Dukun itu menjelaskan dengan sangat serius.
Lagi, Sri menurut. Dia tidak merasakan suatu keganjilan sama sekali. Tak ada yang perlu dicurigai dari gelagat si dukun. Wanita itu meminum wedang jahe anget yang disuguhkan oleh sang empunya rumah hingga tandas. Sri tidak sadar jika dirinya telah masuk ke dalam perangkap si dukun.
"Karmin ... apakah istrimu sudah mandi kembang di rumah?" Dukun tua itu mendongak.
"Sudah, Mbah." Karmin mengangguk pasti. Dia juga sangat bersemangat.
"Bagus. Sekarang, masuklah ke dalam kamar, Sri," titah si dukun.
Sri nampak risau, dia menggigit bibirnya berulang kali. Dadanya juga mulai berdebar. "Sekarang, Mbah?"
"Iya. Mau lekas dimulai gak ritualnya?" Dukun itu melirik sinis.
"Ayo, manut. Nanti aku menyusul. Kan ada Mas, Dek. Jangan khawatir ya, hehehe." Karmin menepuk bahu istirnya dengan senyum hangat. Mencoba meredakan rasa gundah di dada sang istri.
Lagi lagi, Sri manut. Dia mengangguk dan beranjak dari duduknya. Sejurus kemudian, dia menoleh lagi.
"Tapi, Mas Karmin menyusul ke kamar, kan?" Wajahnya nampak risau.
"Woiya, pasti, Dek." Karmin meyakinkan. Seulas lengkungan tipis tergores di ujung bibirnya.
Wanita itu pun masuk ke dalam kamar yang disediakan oleh sang dukun. Dia duduk di tepi r*njang dengan perasaan gelisah yang kian membuncah di dalam dada.
Tak lama berselang, Sri mulai menguap dan merasa kantuk mulai menyergap kedua netranya. Dia merebahkan tubuh di atas sebuah kasur kapuk yang cukup empuk dan cukup nyaman, yang rupanya sudah dipersiapkan dengan begitu bersih, rapi, dan wangi. Sri sempat mencium aroma bau pewangi Molto di sprei dan sarung bantal yang cukup harum, hingga tak terasa, matanya mulai tertutup hampir merapat.
"Kenapa aku mengantuk sekali?" bisik hatinya.
Dalam keadaan masih setengah tersadar meski pun matanya sudah tidak kuat untuk dibuka, Sri bisa merasakan ada sebuah tangan yang cukup kasar kulitnya yang mulai meny*ntuh pinggang dan meraba sepasang gundukan di dadanya.
Sri memaksakan diri untuk mengerjap perlahan, sekedar untuk memastikan apakah itu sebuah mimpi ataukah bukan. Dalam keadaan kantuk yang teramat sangat, Sri mulai memicing sipit. H*srat kewanitaannya yang begitu kuat untuk mempertahankan area miliknya dari sentuhan laki-laki, memaksa dia untuk membuka mata dengan sekuat tenaga untuk memastikan apakah itu Karmin.
"Mas Karmin ...?" Sri kembali terheran saat mendapati ruangan itu sudah gelap gulita. Ruangan yang tadi terang benderang, kini sudah berubah menjadi hitam pekat.
Pria itu mulai menungg*ngi tubuh Sri dengan sekuat tenaga. Sri merasakan keanehan dengan sosok yang kini berada di atas tubuhnya. Ini seperti bukan cara main suaminya yang biasanya lembut. Cara main yang saat ini terasa kasar dan payah.
Wanita itu ingin memastikan, tapi ... kedua matanya benar-benar tidak bisa diajak untuk berkompromi. Sri kembali tertidur dan pasrah saat tubuhnya sedang digarap oleh pria yang dia kira adalah Karmin.
Pria itu melakukan segala bentuk gaya yang benar-benar di luar nalar. Sri tidur, tapi dia merasa tubuhnya benar-benar dipakai dengan sedemikian rupa hingga sendi-sendinya terasa lelah tak terkira.
*****
Shubuh menjelang.
"Sri, bangun, Dek." Karmin menepuk halus pipi istrinya dengan sentuhan yang sangat lembut.
"Sri, bangun sayang. Ayo kita pulang." Pria itu mendaratkan sebuah kecupan hangat di kening sang istri. Begitulah cara Karmin memberi perhatian dan rayuan kepada sang istri saat ada maunya.
Sri membuka mata perlahan.
"Aduuhh ... badanku rasanya mau merotol semua. Tulang-tulang dan sendi-sendiku terasa keropos dan linu-linu." Wanita itu memijat pelan area leher dan juga tengkuknya yang terasa sangat capek.
Sri menajamkan mata saat melihat wajah sang suami berada di hadapannya.
"Mas ... semalam itu kamu, kan?" Kedua matanya menyorot tajam ke wajah sang suami.
"Ya iya, dong, Sayang. Semalam ... kamu benar-benar membuatku pu—was meskipun kamu sedang tidur. Anu-mu itu benar-benar legit dan menggigit seperti gadis, meskipun kamu sudah emak-emak." Karmin memejamkan matanya dengan penuh penghayatan.
"Tapi kok mainnya kasar amat? Badanku terasa ngilu semua. Kamu memegang dadaku seperti sedang memerah syusyu kambing saja." Sri mendengkus sebal. Bibirnya meliuk-liuk kesal.
"Itu memang syarat yang diwajibkan oleh si empunya ritual, Sayang." Karmin mencebik.
"Heeemm ...." Sri nampak mengangguk-anggukkan perlahan, meskipun ia belum yakin sepenuhnya dengan jawaban sang suami.
"Sudahlah, ayo pulang. Keburu padang (terang). Nanti anak kita nyariin," kata Karmin.
Lagi dan lagi. Sri manut. Dia beranjak dari kasur yang semalam menjadi tempatnya memu—waskan seorang pria yang dia kira adalah Karmin. Sri melihat ke bawah dan melihat dirinya sudah mengenakan ko—lor berwarna putih yang kemarin ia beli di pasar.
"Kok udah pakai celana dalam?" Sri mengerjap.
"Ya, aku yang memakaikannya setelah kita selesai bermain-main semalam. Nanti kolornya dilepas di rumah, dan kita masukkan ke dalam dandang." Karmin terkekeh.
"Itu yang membuat kolornya berhasiat tinggi, Dek," tandasnya.
Sri pun mendengkus lelah. Dia segera mengenakan pakaiannya yang sudah berserakan di lantai dan bersiap untuk pulang.
"Nanti aku pijitin kalau sampai di rumah deh. Sebagai ucapan terima kasih, hehehe." Karmin terkekeh.
Sepasang suami istri pun itu berpamitan kepada Mbah Samijan, lalu Karmin memberikan salam tempel kepada dukun itu, dan akhirnya mereka pun bergegas pulang meninggalkan kediaman dukun tua itu.
"Benar-benar mak nyuuss!" Mbah Samijan menyeringai girang saat melihat Karmin dan Sri memacu motor meninggalkan halaman rumahnya.
Sayup angin dini hari mulai mengantarkan seorang suami istri itu membelah hari yang masih dini. Sri kembali memeluk pinggang suaminya dengan syahdu. Sedangkan Mbah Samijan nampak tertawa puas sembari menonton tamunya melaju pulang.
"Sri, mi—likmu itu ... aduhai nikmat sekali," ujarnya.
******
Setelah kepergian sepasang pasien sekaligus pelanggannya, Mbah Samijan masuk ke dalam rumahnya dengan tertawa-tawa bahagia. Dia merasa sangat puas dengan permainan semalam yang ia lakukan bersama dengan Sri di atas tempat tidurnya.
Pria tua renta yang tidak memiliki pasangan itu benar-benar memanfaatkan kebodohan Karmin untuk mendulang keuntungan sebanyak-banyaknya. Karmin pun mengiyakan saja ketika Mbah Samijan memberikan syarat yang berat terkait keinginannya untuk menggaet pelanggan bakso dengan cepat.
Memang benar kata sebuah Hadist Nabi, bahwa kefakiran akan selalu mendekatkan manusia kepada kekufuran. Kemiskinan akan selalu mengantarkan manusia kepada sebuah kemaksiatan. Karmin saat ini sedang terlilit hutang hingga hampir menenggelamkan dirinya dalam lembah kehinaan. Itulah sebabnya, akal sehatnya mulai tak berfungsi sehingga ia memantapkan hati untuk bekerja sama dengan dukun yang konon sakti.
"Dasar Karmin bodoh! Mau mau saja aku berikan syarat yang tidak masuk akal. Apakah dia tidak mencintai istrinya yang ginuk-ginuk itu?" Mbah Samijan terkekeh-kekeh seraya menikmati kepulan asap cerutu yang ia nyalakan di bibirnya yang menghitam.
"Kalau dia ingin kaya, sebenarnya dia bisa pergi ke pesarean untuk meminta pesugihan kandang bubrah atau uang balen. Tapi ... dasar Karmin memang tak mau rugi. Dia pasti takut mati ngenes jika melakoni ilmu pesugihan dengan perjanjian sakral di pesarean sana. Itulah kenapa dia datang kepadaku, karena dirasa syarat dariku ini tak akan merugikan dirinya sama sekali, wekekekek." Lagi, dukun itu kembali terkekeh senang.
Lama tidak mendapatkan pelanggan yang mau menyerahkan kehormatan istrinya kepada Mbah Samijan, membuat dukun itu tidak berpikir banyak ketika Karmin mengiyakan permintaannya untuk menyerahkan tu—buh Sri di setiap hari-hari tertentu.
"Setidaknya, aku bisa mendapatkan keniqqmatan secara gratisan. Selain itu, aku juga dibayar mahal karena pekerjaan para perewangan-prewanganku yang mau menarik pelanggan di warung bakso Karmin." Pria itu mengangguk-anggukan kepalanya dengan puwaassh.
"Sri ... Sri ... apem-mu yang tembem itu benar-benar aduhai. Semoga saja bheee—nihku ada yang nyangkut di dalam rahimmu, Sri. Heheheh."